KEGAGALAN AS DALAM PERDAMAIAN ISRAEL-PALESTINA
Oleh: Andaru
Satnyoto*
The conflict is not fiendeshly hard to resolve; history and culture
make it difficult for both the Israelis and Palestinians to make necessary
choices” (Walter Russell Mead, “Change
They Can Believe In”, Foreign Affairs, January-Pebruary
2009).
Perdamaian
Israel-palestina tampaknya masih sulit dicapai secara komprehensif, seperti
kutipan diatas, bahwa persoalan Israel dan Paletina menyentuh pula soal sejarah
dan kebudayaan serta keyakinan masyarakat Israel dan Palestina yang mendasar.
Hingga saat ini konflik Israel – Palestina (Timur Tengah) masih merupakan salah
satu kawasan rawan untuk gangguan
stabilitas internasional. Masalah Israel
– Palestina memiliki cakupan luas, bukan sekedar konflik militer dan politik
(kedaulatan), tetapi juga menyentuh masalah-masalah keamanan manusia,
kemerdekaan, hak-hak sosial budaya dan
klaim historis yang campur aduk dengan sejarah keagamaan atau keyakinan masyarakat
kawasan tersebut. Disamping itu konflik
ini juga memiliki kaitan dengan pihak-pihak di luar Palestina-Israel, baik
karena kepentingan untuk mendapatkan pengaruh di kawasan Timur Tengah, maupun kepentingan ekonomi kawasan, mengingat Timur Tengah salah satu produsen
minyak dan gas terbesar dunia.
Pada sisi lain, tekad Bangsa Palestina untuk
merdeka dan menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak dapat ditawar-tawar lagi dan telah
disampaikan dalam Sidang Umum PBB bulan September 2011 lalu. Palestina
menginginkan minimal wilayah kemerdekaan Palestina meliputi posisi wilayah
sebelum Perang Enam Hari 1967, dengan
Ibu Kota Jerusalem Timur. Upaya ini mendapat dukungan kuat sebagian
besar anggota PBB, tetapi ditentang habis-habisan Israel dan Amerika Serikat (
AS ) yang juga mengancam akan menjegal dengan hak veto-nya di Sidang Dewan
Keamanan (DK) PBB. AS dan Israel
bersikukuh bahwa perdamaian Israel dan Palestina menyeluruh dan final
tidak dapat dilahirkan dari ruang Sidang Umum PBB, tetapi dari perjanjian
perdamaian kedua belah pihak. Bahkan
seolah AS ngotot atau “main kayu” dalam persoalan ini, kurang memperhatikan
suara-suara masyarakat internasional umumnya. Apakah hal ini menunjukkan
kegagalan diplomasi perdamaian AS khususnya Presiden Obama di Timur Tengah?
Akar
Persoalan
Konflik
ini telah lahir sebelum Israel menyatakan kemerdekaannya pada 14 Mei 1948.
Suatu kenyataan yag masih ditentang atau tidak diakui banyak negara hingga saat
ini. Konflik Palestina – Israel / Jahudi
secara fisik, bermula dari migrasi
orang-orang Jahudi diaspora di berbagai
Eropa dan Amerika ke tanah Palestina. Proses migrasi makin terorganisir terutama mulai akhir abad
ke-19, setelah munculnya semangat Zionisme untuk membangun
kembali Jerusalem (Zion) sebagai
pusat gerakan Jahudi sedunia.
Pada
akhir Perang Dunia Pertama (PD I) proses migrasi ini berubah menjadi masalah proses kolonisasi orang-orang Jahudi dari berbagai negara Eropa dan tempat lainnya
ke Palestina. Pada tahun 1916, atas kesepakatan Inggris dan Perancis, Inggris
menduduki wilayah Transjordan dan Palestina dengan mengambil alih kekuasaan
Turki yang telah sangat lemah. Pada awal migrasi ini, banyak orang Jahudi
mendapatkan tanah-tanahnya dengan cara pembelian sukarela. Tetapi hal ini
berubah setelah warga Jahudi makin banyak dan makin kuat serta berusaha
mempersenjatai diri.
Jika
dari cara pengambil-alihan tanah, ada tiga model pengalihan tanah-tanah
Palestina. Pertama persetujuan pembelian tanah lokal / setempat (local purchase
agreement). Kedua, pengambil-alihan paksa (expropriation). Ketiga, model
penaklukan (conquest) (Rafael Reuveny: The Last Colonialist: Israel in the
Occupied Territories since 1967, The
Independent Review , 2008). Pada awal 1900-an pilihan mendapatkan tanah
hanya mungkin dengan pembelian. Namun dengan makin menguatnya imigran Jahudi,
pengalihan tanah tidak hanya dengan pembelian, tetapi juga dengan paksaan dan
penaklukan atau pendudukan (kolonisasi) dengan didukung pasukan garda
bersenjata. Ini yang di hari disebut sebagai kolonialisme Zionisme. Itulah
sebabnya kemudian banyak negara terutama negara-negara Asia dan Afrika yang pernah mengalami
kolonialisme tidak mengakui Israel.
Proses
kolonisasi terus berlanjut dan mendapatkan dukungan terutama setelah pada tahun
1917, melalui Deklarasi Belfour (Menteri luar negeri Inggris), Inggris
memberikan dukungan bagi rencana negara Jahudi (Jewish home). Hal ini secara langsung meningkatkan ketegangan dan
konflik masyarakat Jahudi dan Palestina, serta masyarakat Arab umumnya. Dengan
terus berkembangnya pemukiman Jahudi,
pihak Palestina dan Arab menuntut Inggris memenuhi janjinya kepada Emir Mekah,
bahwa Inggris memberikan kemerdekaan
setelah perang, karena mereka telah mendukung
Inggris selama perang Dunia I. Pada
tahun 1922, Transjordan diberikan
kemerdekaan menjadi negara Jordania, tetapi wilayah Palestina dan masalahnya
tidak diselesaikan. Oleh karena itu pada
tahun 1936, masyarakat Palestina memberontak dan meminta kemerdekaan sendiri.
Pada tahun 1937, dalam rangka meredam pemberontakan, Inggris meresponnya dengan membentuk komisi
penyelesaian masalah tersebut yang dikenal sebagai Peel Commission, untuk
membagi Jahudi dan Palestina. Namun
hasil Komisi ini tidak memuaskan semua pihak dan kemudian Ingris menyiapkan
suatu otonomi Palestina, dengan pembagian wilayah berdasarkan perkiraan
penduduknya, yaitu dengan perbandingan 2 : 1 antara Jahudi dan Palestina. Disamping itu dalam 5 tahun antara 1940-1945,
hanya dijinkan ada 75 000 imigran Jahudi memasuki Palestina, dan setelah 1945
migrasi Jahudi ke palestina dilarang
sama sekali.
Tidak
puas dengan kondisi ini,
kelompok-kelompok masyarakat Jahudi mengabaikan larangan migrasi dan
memberontak tahun 1945. Inggris “gagal” mengatasi konflik
dan menyerahkan kepada PBB. Dalam kerangka solusi konflik masyarakat
Jahudi dan Palestina, pada tahun 1947 PBB memberi solusi partisi
(pembagian) Palestina dengan komposisi
kurang lebih 45% wilayah untuk
masyarakat Jahudi dan 55% untuk
masyarakat Palestina. Namun solusi ini tidak dapat menyelesaikan
masalah, dan ditolak oleh Palestina dan negara-negara Arab. Akibatnya konflik
terus berkembang dan menjadi perang setelah Israel memproklamasikan pendirian
negara Israel pada 14 Mei 1948.
Atas
bantuan negara-negara besar khususnya AS, perang-perang yang kemudian terus
terjadi tidak melemahkan Israel, namun mendorong Israel makin solid dan kuat.
Sejak setelah Perang Juni 1967, yang
kemudian dikenal dengan Perang Enam Hari , Israel menguasai seluruh tanah
Palestina, termasuk menguasai Jerusalem Barat dan Timur dan juga menguasai Dataran
Tinggi Golan (wilayah Suriah). Dalam
perang 1973, perang Yom Kippur, Israel
menguasai Sinai (Mesir) yang kemudian dikembalikan melalui Perjanjian Perdamaian Mesir – Israel 1977 yang ditanda-tangani di
Camp David AS.
Pada
sisi lain, perang mengakibatkan jutaan warga Palestina mengungsi di tanahnya
sendiri atau diaspora di negara-negara tetangga seperti Suriah, Jordania dan
Lebanon. Sedangkan Israel terus
melakukan pembangunan pemukiman Jahudi ke seluruh wilayah yang dikuasai Israel
hingga saat ini, termasuk Jerusalem Timur, dan Tepi Barat (West Bank) Sungai Jordan dan Jalur Gaza.
Meskipun pada tahun 1993 dalam rangka jalan perdamaian “land for peace” yang menyepakati wilayah Tepi barat Sungai
Jordan dan Jalur Gaza menjadi wilayah Otoritas Palestina, pemukiman Jahudi
masih dibangun di kawasan ini. Akibatnya perundingan masih jauh dari mencapai
kesepakatan karena Israel terus membangun pemukiman Jahudi, di wilayah yang dikuasai
sejak 1967. Sedangkan Palestina menuntut merdeka dengan wilayah Palestina
sebelum Perang 1967 dengan Ibu Kota Jerusalem Timur.
Langkah Terobosan
Upaya
perdamaian Palestina – Israel tampak sulit tanpa terobosan baru AS. Presiden Obama yang pada awal
kepemimpinannya mendapat sambutan
positip masyarakat Timur Tengah terutama setelah pidatonya di Universitas Kairo
Mesir, 4 Juni 2009. Oleh karena itu untuk mengkaselerasi (mempercepat) proses perdamaian dan memanfaatkan sintimen
positip tersebut, pada Juli 2009
Presiden Obama mengutus pejabat tinggi
serentak yaitu Menteri Pertahanan Robert
Gates ke Israel dan Jordania, kemudian
Penasihat Keamanan Nasional James Jones
memimpin satu delegasi ke Israel dan Tepi Barat Sungai Jordan, serta Utusan
Khusus Timteng, George Micthell mengunjungi Suriah, Mesir dan Tepi Barat Sungai
Jordan. Namun demikian usaha positip ini mentah dan gagal menyentuh
penyelesaian masalah krusial meliputi: pertama, menghentikan pemukiman Jahudi
di kawasan sekitar Tepi Barat dan Jalur Gaza serta Palestina dan Jerusalem Timur. Kedua, menyusun dasar model masa depan
negara Palestina dan jaminan keamanan Israel. Ketiga, masalah pengungsi Palestina dan terakhir (keempat) masalah Jerusalem dan wilayah-wilayah pendudukan
pasca perang Juni 1967 seperti dataran tinggi Golan, Suriah.
Usaha
tersebut dan usaha-usaha lain selama ini tampak seperti sia-sia, karena gagal
menyelesaikan empat masalah diatas dan gagal mendukung kemerdekaan Palestina
yang diakui PBB. AS gagal melakukan terobosan perdamaian Israel-palestina, dan tidak merubah pendekatannya. Yang
dimaksud terobosan adalah sekurangnya merubah perspektif dari yang selama ini
berfokus pada isu keamanan Israel menjadi
berfokus pada masalah Palestina,
termasuk masalah pengungsi Palestina yang terabaikan, tanpa mengabaikan isu keamanan Israel. Langkah
ini sekurangnya harus terlihat pada
tekanan AS untuk menghentikan pembangunan pemukiman di sekitar wilayah pokok
jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Jordan dan wilayah sensitif Jerusalem Timur.
Disamping itu masalah lain yang tidak kalah penting adalah mengupayakan
keleluasaan akses masayarakat Palestina untuk pemenuhan kebutuhan dasar seperti
pekerjaan dan kesehatan serta masalah tidak kurang dari 3,5 juta pengungsi
Palestina.
Kegagalan
Presiden Obama mengubah fokus perundingan dan perhatian masalah Palestina,
makin tampak kuat dengan kasus penolakan
AS terhadap upaya Palestina mendapat pengakuan kemerdekaan melalui PBB
sebagai anggota penuh. Kegagalan Presiden Obama
dalam perdamaian Timur Tengah tidak terlepas dari gagalnya Presiden keluar dari tekanan lobi-lobi Jahudi AS yang
masih kuat melalui isu-isu politik di AS. Tanpa perubahan fokus penggalangan
perdamaian Israel- Palestina, tampaknya perdamaian masih berada pada lorong
jalan buntu, dan jika hal ini tidak diuraikan maka dapat memancing terus
munculnya kekerasan-kekersan baru di Timur Tengah.
Jakarta,
Oktober 2011
*Andaru Satnyoto adalah
Dosen Program Studi Hubungan Internasional Fisipol UKI Jakarta.