Translator

Friday 29 March 2013

KEGAGALAN AS DALAM PERDAMAIAN ISRAEL - PALESTINA



KEGAGALAN AS DALAM PERDAMAIAN ISRAEL-PALESTINA
Oleh: Andaru Satnyoto*

The conflict is not fiendeshly hard to resolve; history and culture make it difficult for both the Israelis and Palestinians to make necessary choices” (Walter Russell Mead, “Change They Can Believe In”, Foreign Affairs, January-Pebruary 2009).
Perdamaian Israel-palestina tampaknya masih sulit dicapai secara komprehensif, seperti kutipan diatas, bahwa persoalan Israel dan Paletina menyentuh pula soal sejarah dan kebudayaan serta keyakinan masyarakat Israel dan Palestina yang mendasar. Hingga saat ini konflik Israel – Palestina (Timur Tengah) masih merupakan salah satu kawasan  rawan untuk gangguan stabilitas internasional.  Masalah Israel – Palestina memiliki cakupan luas, bukan sekedar konflik militer dan politik (kedaulatan), tetapi juga menyentuh masalah-masalah keamanan manusia, kemerdekaan, hak-hak sosial  budaya dan klaim historis yang campur aduk dengan sejarah keagamaan atau keyakinan masyarakat kawasan tersebut.  Disamping itu konflik ini juga memiliki kaitan dengan pihak-pihak di luar Palestina-Israel, baik karena kepentingan untuk mendapatkan pengaruh di kawasan Timur Tengah,  maupun kepentingan ekonomi kawasan,  mengingat Timur Tengah salah satu produsen minyak dan gas terbesar dunia.
  Pada sisi lain, tekad Bangsa Palestina untuk merdeka dan menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)  tidak dapat ditawar-tawar lagi dan telah disampaikan dalam Sidang Umum PBB bulan September 2011 lalu. Palestina menginginkan minimal wilayah kemerdekaan Palestina meliputi posisi wilayah sebelum Perang Enam Hari 1967, dengan Ibu Kota Jerusalem Timur.   Upaya ini mendapat dukungan kuat sebagian besar anggota PBB, tetapi ditentang habis-habisan Israel dan Amerika Serikat ( AS ) yang juga mengancam akan menjegal dengan hak veto-nya di Sidang Dewan Keamanan (DK) PBB. AS dan Israel  bersikukuh bahwa perdamaian Israel dan Palestina menyeluruh dan final tidak dapat dilahirkan dari ruang Sidang Umum PBB, tetapi dari perjanjian perdamaian kedua belah pihak.  Bahkan seolah AS ngotot atau “main kayu” dalam persoalan ini, kurang memperhatikan suara-suara masyarakat internasional umumnya. Apakah hal ini menunjukkan kegagalan diplomasi perdamaian AS khususnya Presiden Obama di Timur Tengah?
Akar Persoalan
Konflik ini telah lahir sebelum Israel menyatakan kemerdekaannya pada 14 Mei 1948. Suatu kenyataan yag masih ditentang atau tidak diakui banyak negara hingga saat ini.  Konflik Palestina – Israel / Jahudi secara fisik,  bermula dari migrasi orang-orang Jahudi diaspora di berbagai  Eropa dan Amerika ke tanah Palestina. Proses migrasi  makin terorganisir terutama mulai akhir abad ke-19, setelah munculnya semangat Zionisme untuk  membangun  kembali  Jerusalem (Zion) sebagai pusat gerakan Jahudi sedunia.
Pada akhir Perang Dunia Pertama (PD I) proses migrasi ini berubah menjadi  masalah proses kolonisasi  orang-orang Jahudi  dari berbagai negara Eropa dan tempat lainnya ke Palestina. Pada tahun 1916, atas kesepakatan Inggris dan Perancis, Inggris menduduki wilayah Transjordan dan Palestina dengan mengambil alih kekuasaan Turki yang telah sangat lemah. Pada awal migrasi ini, banyak orang Jahudi mendapatkan tanah-tanahnya dengan cara pembelian sukarela. Tetapi hal ini berubah setelah warga Jahudi makin banyak dan makin kuat serta berusaha mempersenjatai diri.  
Jika dari cara pengambil-alihan tanah, ada tiga model pengalihan tanah-tanah Palestina. Pertama persetujuan pembelian tanah lokal / setempat (local purchase agreement). Kedua, pengambil-alihan paksa (expropriation). Ketiga, model penaklukan (conquest) (Rafael Reuveny: The Last Colonialist: Israel in the Occupied Territories since 1967, The Independent Review , 2008). Pada awal 1900-an pilihan mendapatkan tanah hanya mungkin dengan pembelian. Namun dengan makin menguatnya imigran Jahudi, pengalihan tanah tidak hanya dengan pembelian, tetapi juga dengan paksaan dan penaklukan atau pendudukan (kolonisasi) dengan didukung pasukan garda bersenjata. Ini yang di hari disebut sebagai kolonialisme Zionisme. Itulah sebabnya kemudian banyak negara terutama negara-negara  Asia dan Afrika yang pernah mengalami kolonialisme tidak mengakui Israel.
Proses kolonisasi terus berlanjut dan mendapatkan dukungan terutama setelah pada tahun 1917, melalui Deklarasi Belfour (Menteri luar negeri Inggris), Inggris memberikan dukungan bagi rencana negara Jahudi (Jewish home). Hal ini  secara langsung meningkatkan ketegangan dan konflik masyarakat Jahudi dan Palestina, serta masyarakat Arab umumnya. Dengan terus  berkembangnya pemukiman Jahudi, pihak Palestina dan Arab menuntut Inggris memenuhi janjinya kepada Emir Mekah, bahwa Inggris  memberikan kemerdekaan setelah perang,  karena mereka telah mendukung Inggris selama perang Dunia I.  Pada tahun 1922,  Transjordan diberikan kemerdekaan menjadi negara Jordania, tetapi wilayah Palestina dan masalahnya tidak diselesaikan.  Oleh karena itu pada tahun 1936, masyarakat Palestina memberontak dan meminta kemerdekaan sendiri. Pada tahun 1937, dalam rangka meredam pemberontakan,  Inggris meresponnya dengan membentuk komisi penyelesaian masalah tersebut yang dikenal sebagai Peel Commission, untuk membagi  Jahudi dan Palestina. Namun hasil Komisi ini tidak memuaskan semua pihak dan kemudian Ingris menyiapkan suatu otonomi Palestina, dengan pembagian wilayah berdasarkan perkiraan penduduknya, yaitu dengan perbandingan 2 : 1 antara Jahudi dan Palestina.  Disamping itu dalam 5 tahun antara 1940-1945, hanya dijinkan ada 75 000 imigran Jahudi memasuki Palestina, dan setelah 1945 migrasi  Jahudi ke palestina dilarang sama sekali. 
Tidak puas dengan kondisi  ini, kelompok-kelompok masyarakat Jahudi mengabaikan larangan migrasi dan memberontak tahun 1945. Inggris “gagal” mengatasi  konflik  dan menyerahkan kepada PBB. Dalam kerangka solusi konflik masyarakat Jahudi dan Palestina, pada tahun 1947 PBB memberi solusi partisi (pembagian)  Palestina dengan komposisi kurang lebih 45%  wilayah untuk masyarakat Jahudi dan 55% untuk  masyarakat Palestina. Namun solusi ini tidak dapat menyelesaikan masalah, dan ditolak oleh Palestina dan negara-negara Arab. Akibatnya konflik terus berkembang dan menjadi perang setelah Israel memproklamasikan pendirian negara Israel pada 14 Mei 1948.
Atas bantuan negara-negara besar khususnya AS, perang-perang yang kemudian terus terjadi tidak melemahkan Israel, namun mendorong Israel makin solid dan kuat. Sejak setelah Perang Juni  1967, yang kemudian dikenal dengan Perang Enam Hari , Israel menguasai seluruh tanah Palestina, termasuk menguasai Jerusalem Barat dan Timur dan juga menguasai Dataran Tinggi Golan (wilayah Suriah).  Dalam perang 1973, perang Yom Kippur,  Israel menguasai Sinai (Mesir) yang kemudian dikembalikan melalui Perjanjian Perdamaian  Mesir – Israel 1977 yang ditanda-tangani di Camp David AS.
Pada sisi lain, perang mengakibatkan jutaan warga Palestina mengungsi di tanahnya sendiri atau diaspora di negara-negara tetangga seperti Suriah, Jordania dan Lebanon.  Sedangkan Israel terus melakukan pembangunan pemukiman Jahudi ke seluruh wilayah yang dikuasai Israel hingga saat ini, termasuk Jerusalem Timur, dan Tepi Barat  (West Bank) Sungai Jordan dan Jalur Gaza. Meskipun pada tahun 1993 dalam rangka jalan perdamaian “land for peace”  yang menyepakati wilayah Tepi barat Sungai Jordan dan Jalur Gaza menjadi wilayah Otoritas Palestina, pemukiman Jahudi masih dibangun di kawasan ini. Akibatnya perundingan masih jauh dari mencapai kesepakatan karena Israel terus membangun  pemukiman Jahudi, di wilayah yang dikuasai sejak 1967. Sedangkan Palestina menuntut merdeka dengan wilayah Palestina sebelum Perang 1967 dengan Ibu Kota Jerusalem Timur.
Langkah Terobosan
Upaya perdamaian Palestina – Israel tampak sulit tanpa terobosan baru AS. Presiden Obama yang pada awal kepemimpinannya  mendapat sambutan positip masyarakat Timur Tengah terutama setelah pidatonya di Universitas Kairo Mesir, 4 Juni 2009. Oleh karena itu untuk mengkaselerasi (mempercepat)  proses perdamaian dan memanfaatkan sintimen positip tersebut,  pada Juli 2009 Presiden Obama  mengutus pejabat tinggi serentak yaitu Menteri Pertahanan  Robert Gates  ke Israel dan Jordania, kemudian Penasihat Keamanan Nasional  James Jones memimpin satu delegasi ke Israel dan Tepi Barat Sungai Jordan, serta Utusan Khusus Timteng, George Micthell mengunjungi Suriah, Mesir dan Tepi Barat Sungai Jordan. Namun demikian usaha positip ini mentah dan gagal menyentuh penyelesaian masalah krusial meliputi:  pertama, menghentikan pemukiman Jahudi di kawasan sekitar Tepi Barat dan Jalur Gaza serta  Palestina dan Jerusalem Timur. Kedua, menyusun dasar model masa depan negara Palestina dan jaminan keamanan Israel. Ketiga, masalah pengungsi Palestina dan terakhir (keempat) masalah  Jerusalem dan wilayah-wilayah pendudukan pasca perang Juni 1967 seperti dataran tinggi Golan, Suriah.
Usaha tersebut dan usaha-usaha lain selama ini tampak seperti sia-sia, karena gagal menyelesaikan empat masalah diatas dan gagal mendukung kemerdekaan Palestina yang diakui PBB. AS gagal melakukan terobosan perdamaian Israel-palestina,  dan tidak merubah pendekatannya. Yang dimaksud terobosan adalah sekurangnya merubah perspektif dari yang selama ini berfokus pada isu keamanan Israel menjadi  berfokus pada  masalah Palestina, termasuk masalah pengungsi Palestina yang terabaikan,  tanpa mengabaikan isu keamanan Israel.   Langkah ini sekurangnya  harus terlihat pada tekanan AS untuk menghentikan pembangunan pemukiman di sekitar wilayah pokok jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Jordan dan wilayah sensitif Jerusalem Timur. Disamping itu masalah lain yang tidak kalah penting adalah mengupayakan keleluasaan akses masayarakat Palestina untuk pemenuhan kebutuhan dasar seperti pekerjaan dan kesehatan serta masalah tidak kurang dari 3,5 juta pengungsi Palestina.
Kegagalan Presiden Obama mengubah fokus perundingan dan perhatian masalah Palestina, makin tampak kuat dengan kasus  penolakan AS terhadap upaya  Palestina   mendapat pengakuan kemerdekaan melalui PBB sebagai anggota penuh. Kegagalan Presiden Obama  dalam perdamaian Timur Tengah tidak terlepas dari gagalnya Presiden  keluar dari tekanan lobi-lobi Jahudi AS yang masih kuat melalui isu-isu politik di AS. Tanpa perubahan fokus penggalangan perdamaian Israel- Palestina, tampaknya perdamaian masih berada pada lorong jalan buntu, dan jika hal ini tidak diuraikan maka dapat memancing terus munculnya kekerasan-kekersan baru di Timur Tengah.

Jakarta, Oktober 2011
*Andaru Satnyoto adalah Dosen Program Studi Hubungan Internasional Fisipol UKI Jakarta.

REFORMASI DAN MASA DEPAN PLURALISME INDONESIA




REFORMASI DAN MASA DEPAN PLURALISME INDONESIA

Oleh: Andaru Satnyoto


1. Quo vadis Reformasi
            Jatuhnnya rezim orde baru atau mundurnya Presiden Suharto, 21 Mei 1998, telah membuka jalan lapang bagi perubahan cepat terutama bidang politik dan juga berbagai bidang lainnya. Perubahan politik tidak saja menyangkut pergantian pejabat-pejabat politik, juga perubahan konstitusi yang pada gilirannya merubah profil politik di Indonesia secara menyeluruh. Sejak itulah sering kita menyebutnya sebagai dimulainya Era Reformasi di Indonesia.  Melalui berbagai tekanan publik terhadap pemerintahan Presiden BJ Habibie yang diangap sebagai penerus Suharto, mau tidak mau pemerintah membuka kanal-kanal (saluran), membuka ruang-ruang partisipasi publik, demokratisasi dan desentralissi pemerintahan.  Di masyarakat marak demonstrasi dan unjuk rasa untuk menanyakan kebijakan publik, tekanan politik dan desakan suatu kebijakan tertentu. Tidak jarang, terjadi kasus kepala desa rame-rame diturunkan rakyatnya karena kepala desa tidak mengindahkan keinginan warga umumnya. Namun stabilisasi sosial politik tidak lagi bisa dengan represi dan tangan besi. Upaya stabilisasi harus sejalan dengan usaha demokrasi dan pendidikan politik rakyat.
            Walaupun proses reformasi telah bergulir 15 tahun,  namun hasil-hasil yang dicapai masih relatif belum memuaskan. Masyarakat sering menyalahkan keadaan ini sebagai akibat kekuasaan partai politik yang terlalu besar, sementara kemampuan rekrutmen kader politik berkualitas dan berkarakter kerakyatan belum sepenuhnya memadai.  Sehingga permasalahan-permasalahan yang ada masih berlangsung, problem multidimensi belum dapat diatasi secara tuntas, masalah kekerasan di Lapas Cebongan Sleman Jogja, penembakan di papua dan sebagainya.  Bahkan ada semacam suasana hati masyarakat galau, suasana masyarakat masih ragu-ragu menyongsong masa depan, suasana hati apatis, ada juga semacam kegalauan merasa belum menemukan pemimpin yang kuat, dan rasa kebersamaan masyarakat banyak diragukan dengan banyaknya kasus-kasus kekerasan di tengah masyarakat, seperti peristiwa Lampung, Ogan Komering Ulu (OKU),  dan sebagainya. Ada yang  menyatakan reformasi belum selesai atau reformasi tanpa arah lagi, reformasi negara kebablasan dan sebagainya.Bahkan ada yang menyebut kita menuju ke situasi negara gagal.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas secara komprehensif semua persoalan reformasi, persoalan politik nasional, tetapi akan lebih melihat dinamika social  terutama pada segi nilai sosial kebersamaan kita sebagai bangsa.
  
2. Perubahan Positif
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita telah mengalami perubahan-perubahan sekaligus juga tantangan  atau masalah yang harus kita jawab dalam kerangka strategi bersama membangun kebangsaan Indonesia yang demokratis, adil dan sejahtera. Reformasi  sekalipun banyak kritik, tetapi telah mendorong tumbuhnya semangat demokrasi, tumbuhnya optimisme, tumbuhnya semangat  perubahan yang kuat, dan juga semangat menghadapi perubahan sosial besar. Perubahan sosial politik memberikan tantangan dan peluang perbaikan masyarakat secara lebih komprehensif. Beberapa perubahan dan tantangan positif tersebut antara lain:
            Pertama, ruang kebebasan yang luas dalam masyarakat, pers dan organisasi masyarakat, organisasi kepemerintahan dan peradilan. Kebebasan telah mendorong hidupnya partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk, terutama dalam penyampaian pendapat masyarakat baik secara terbuka, seperti aksi unjuk rasa, demonstrasi dan berbagai bentuk protes dan lainnya, serta penyampaian aspirasi melalui media massa. Pada tingkat tertentu hal ini positip, namun pada saat  yang sama kadangkala menimbulkan kesan semrawut dalam politik dan ekonomi. Kebebasan menjadi tantangan agar masyarakat secara kualitatif memunculkan ide-ide besar perubahan.
 Namun kadang ada kesan ruang kebebasan yang terbuka, seolah tanpa diimbangi proses penegakkan hukum yang kuat dan kadang juga tidak disertai adanya tanggung-jawab publik dari para pelaku. Kebebasan informasi yang sesungguhnya sangat positip untuk turut mencerdaskan bangsa, kadangkala juga menjadi kurang produktif terhadap proses pemecahan bangsa atau kebebasan informasi dan media berlebihan kadang sarat dengan kepentingan tertentu sehingga memberikan persepsi negatif dalam masyarakat, muncul kesan yang penting berbeda, seolah-olah pemerintah penuh salah dan sebagainya. Informasi media kadang kala juga menjadi bias kepentingan-kepentingan politik ataupun kekuasaan. Meskipun sulit membuktikan suatu keberpihakan terhadap kenyataan sehari-hari pihak, namun kadang terasa adanya kecurangan atau ketidakjujuran dalam birokrasi dan masyarakat bahkan dalam media massa itu sendiri.  
Kebebasan dan independensi sistem peradilan juga sedang diuji kekuatannya di tengah dinamika masyarakat. Reformasi peradilan masih diharapkan berjalan lebih cepat oleh masyarakat. Slogan independensi dan kebebasan sistem peradilan yang seharusnya melahirkan peradilan yang baik, namun kadang kala masih melahirkan berbagai keputusan kontroversial yang secara umum dirasakan sebagai  tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, keadilan rakyat.
Kedua, walaupun kini masalah konflik horizontal antar elemen masyarakat relative mulai mereda atau dapat diselesaikan, seperti konflik di Kalimantan, Poso, Ambon, namun tampaknya tidak ada jaminan bahwa konflik dengan kekerasan tersebut akan hilang dari bumi pertiwi, Indonesia. Belakangan ini masih muncul kekerasan di Maluku, di Lampung, di Nusa Tenggara Barat hanya karena salah paham atau hal-hal yang sepele atau kecil. Konflik dan keresahan sosial dalam bentuk intoleransi, seperti penutupan atau perusakan tempat ibadah, penutupan Masjid / Mushala Ahmadiyah,  penutupan atau pembongkaran gereja-gereja misalnya masih terjadi di beberapa lokasi, bahkan juga di Bekasi dan Bogor yang tidak jauh dari Ibu Kota negara Jakarta, yang masyarakatnya sangat plural.
Disamping itu ada kekhawatiran bahwa berbagai kesulitan ekonomi masyarakat kelas bawah dan sulitnya mengembangkan kesempatan kerja dapat menjadi pemicu kemungkinan-kemungkinan terjadinya kekerasan dalam masyarakat. Pada saat sama kita juga masih menghadapi ancaman kelompok teroris yang seringkali tindakannya dimaksudkan untuk mengancam Amerika Serikat, tetapi justru dampak negatifnya langsung mengenai bangsa dan negara Indonesia. Diluar masalah konflik kekerasan tersebut, kita masih pula menghadapi bahaya separatisme di beberapa daerah, walaupun sesungguhnya akar masalahnya seringkali bukan pemisahan diri, tetapi perlunya keadilan baik untuk para korban, maupun keadilan pembagian hasil ekonomi daerah dan pusat, misalnya masalah Papua.
            Ketiga, pada aspek ekonomi secara makro telah mengalami pertumbuhan, namun seringkali dipertanyakan oleh berbagai pihak tentang kemampuan untuk terus menjaga pertumbuhan ini mengingat pertumbuhan ekonomi masih sangat didorong oleh sektor konsumsi dan bukan investasi secara luas dan besar. Oleh karena itu kesempatan kerja atau perluasan lapangan kerja dirasakan masih rendah, sehingga hal ini dapat menjadi ancaman kestabilan sosial politik, mengingat jumlah pengangguran yang cukup besar.  Pertumbuhan ekonomi juga masih menyisakan persoalan pemerataan. Karena indikator pemerataan misalnya, index gini rasionya menunjukkan peningkatan, yang berarti muncul ketimpangan pembagian pendapatan, dimana mayoritas rakyat hanya sedikit menikmati pertumbuhan ekonomi. Usaha-usaha penyehatan perbankan dan BUMN termasuk langkah privatisasi walaupun dalam kerangka tujuan yang positip, seringkali masih kontroversial karena adanya dugaan-dugaan KKN, intervensi kekuasaan ataupun politisasi dalam proses tersebut.
            Keempat, upaya perbaikan birokrasi pemerintahan yang semula sangat sentral dan kemudian didesentralisir ke kabupaten / kota melalui UU Otonomi Daerah (UU no 22 1999) dan UU Perimbangan Keuangan Daerah - Pusat (UU no 25 1999), yang kemudian direvisi ke dalam UU 32/2004 tentang otonomi daerah, belum banyak menampakkan hal positip terutama kemudahan pelayanan masyarakat. Justru pejabat pemda yang mendapat kemudahan, fasilitas dan pelayanan, bukannya rakyat atau para pelaku ekonomi yang turut menyumbangkan pembangunan daerah. Meskipun demikian secara umum tetap timbul percepatan pembangunan daerah, bahkan di beberapa daerah perkembangannya cukup pesat.
            Kelima, perubahan sistem politik terutama dalam bentuk penataan kelembagaan negara telah disusun secara lebih lengkap sesuai dengan amandemen UUD 1945 dan juga dalam berbagai perangkat UU politik. Walaupun secara kelembagaan telah menunjukkan upaya pemenuhan prinsip-prinsip demokrasi misalnya dalam voting, persamaan kedudukan setiap orang dan kebebasan, namun tidak diimbangi kualitas moral dan sikap kenegarawanan banyak politisi dan para penyelenggara negara lainnya sehingga  hal ini mendelegitimasi lembaga-lembaga politik kenegaraan kita, baik pada eksekutif, legislative maupun yudikatif. Seolah-olah rakyat tidak lagi percaya lembaga-lembaga politik yang ada.
           
3. Modal Sosial Dan Politik: 4 Pilar
Berkaitan dengan hal-hal diatas itulah  kita patut mencermati perkembangan reformasi yang ada dalam kerangka melembagakan demokrasi  yang tidak sekedar memenuhi persyaratan kelembagaan saja. Demokrasi dari sisi kualitas kebebasan dan persamaan individu masyarakat telah dapat ditampung dalam berbagai lembaga penyelenggara negara. Namun demikian kita merasakan persoalan, bahwa demokrasi tampaknya juga menjadi sarana maneuver-manuver politik sesaat atau untuk kepentingan tertentu bahkan untuk kepentingan pribadi para elite politik dan birokrasi. Akifitas politik dan demokrasi seolah hanya kontestasi (pertarungan) kepentingan, ajang transaksi ekonomi dan kekuasaan. Politik termasuk pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah tampaknya telah menjadi arena pertarungan liberal antara yang punya uang. Oleh karena itu tidak jarang pertanyaan yang muncul ketika seseorang tampil dalam pemilihan adalah berapa uangmu, berapa modalmu. Ketika PDI Perjuangan mencoba untuk konsisten mendukung seseorang maju ke pemilihan kepala daerah atau legislatif berdasarkan visi ideologi kerakyatan, ideologi Pancasila dan karakter baik kader, namun dengan modal uang minim. Untuk itu calon lalu didukung secara  gotong royong semua elemen partai,  namun hal ini sering tidak dipercayai oleh masyarakat kebenarannya,  dianggap sekedar lelucon saja.
Demokrasi tanpa visi ideologis pasti jatuh pada model politik transaksional, model jual beli dukungan. Demokrasi tanpa roh ideologi nasional, ideologi Pancasila, tanpa roh persaudaraan kebangsaan, tanpa roh solidaritas dan keadilan, pada gilirannya tidak mampu mencapai nilai tertinggi (kemuliaan) manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Hal ini seperti diungkapkan Robert A. Dahl bahwa demokrasi hanyalah sarana,  bukan tujuan, untuk mencapai persamaan (equalitas) secara politik yang mencakup tiga tujuan keutamaan yaitu: kebebasan kolektif dan individu, perkembangan diri manusia dan perlindungan terhadap nilai harkat dan martabat kemanusiaan. Dari aspek inilah penulis melihat bahwa reformasi perlu pembenahan. Kita harus mampu menghidupkan dan mengembangkan nilai ideologi nasional, nilai dasar ideologi Pancasila, nilai solidaritas dan keadilan, nilai persaudaraan kebangsaan  Indonesia menjadi satu jalan nyata dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, menjadi kenyataan sehari-hari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
            Melalui  media massa sejak tahun 1994 penulis telah menyampaikan pikiran bahwa rasa, semangat atau paham kebangsaan kita bukan sesuatu yang ada begitu saja (taken for granted), oleh karena itu pada suatu waktu dapat mengalami erosi, jika tidak dikembangkan sesuai dengan dinamika masyarakat dan kenegaraan Indonesia. Kegagalan kebangsaan bisa dari akibat kegagalan pembangunan ekonomi yang makin mendorong jurang perbedaan ( widening gap ) antara yang kaya dan miskin. Namun bisa pula kegagalan kebangsaan kita dari kelemahan integrasi social dan politik serta integrasi wilayah (teritorial).
            Dalam kerangka pemikiran inilah juga terletak sangat pentingnya dan strategisnya upaya sosialisasi 4 pilar (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dipelopori Ketua MPR RI, Bapak H.M. Taufik Kiemas dan PDI Perjuangan. Sosialisasi 4 Pilar kebangsaan merupakan peneguhan kembali semangat kehidupan bermasyarakat, berbangsa  dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjaga dan bersemangat Bhineka Tunggal Ika.
            Dengan semangat 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut, kita mengupayakan perbaikan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Upaya mencegah kegagalan dinamika kebangsaan Indonesia itulah diperlukan strategi sosial budaya dalam mengembangkan nilai solidaritas rakyat yang  berkait atau berdampak terhadap dinamika  ekonomi maupun politik. Dalam kerangka inilah kita melihat pentingnya apa semangat nilai gotong royong, modal sosial gotong royong, bahkan oleh Bung Karno gotong-royong yang dinamis merupakan nilai utama, nilai dasar membangun masyarakat, nilai dasar membangun bangsa dan negara. Gotong royong hanya mungkin  kalau ada saling percaya, saling menerima dalam masyarakat. Dengan frasa yang agak berbeda, oleh Francis Fukuyama disebut sebagai modal social (social capital) dengan aspek kepercayaan (trust) antar anggota masyarakat sebagai intinya.
            Modal sosial pada dasarnya merupakan kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Dalam pembangunan masyarakat ke depan aspek ini akan makin penting, bukan hanya aspek modal fisik, financial dan sebagainya. Modal sosial bukan hanya kualitas, ketrampilan dan pengetahuan masyarakat, tetapi juga kemampuan masyarakat itu sendiri dalam melakukan asosiasi (hubungan) satu sama lainnya. Kemampuan social ini sangat penting baik dalam kehidupan ekonomi maupun kehidupan social politik dan eksistensi kehidupan social lainnya. Kemampuan ini sangat bergantung pada suatu kondisi dimana  komunitas itu mau saling berbagi untuk mencari titik-tik temu norma-norma dan nilai-nilai bersama. Dari nilai-nilai bersama ini akan tumbuh suatu nilai yang disebut sebagai “kepercayaan” atau trust. Masyarakat tanpa mampu mengembangkan suatu trust hanya merupakan kumpulan berbagai kelompok bahkan hanya sekedar seperti kerumunan, tidak akan mampu membangun komunitas yang integratif.
             Dalam kerangka strategi untuk membangun kehidupan politik demokratis dan integratif itulah pentingnya semangat kebangsaan sebagai modal sosial bersama. Berkaitan dengan hal ini  ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu aspek histories, social dan pluralisme dalam diri kebangsaan Indonesia.  Pertama, aspek histories. Paham kebangsaan Indonesia  tidak hadir dalam suatu kevakuman pemikiran dan perkembangan social serta sejarah masyarakatnya. Dalam kerangka pemikiran demikian, kita mengakui bahwa perkembangan kebangsaan Indonesia juga merupakan hasil interaksi dengan sejarah dan kebudayaan luar atau negara-negara asing termasuk sepanjang periode penjajahan oleh negara-negara Eropa khususnya Belanda dan Jepang. Oleh karena itu nilai dan semangat kemerdekaan, semangat untuk berdiri sendiri juga merupakan modal kebersamaan atau modal sosial bangsa Indonesia.
            Kedua, aspek sosio-kultural dan pluralisme. Masyarakat Indonesia pada  dasarnya bertumbuh dari ikatan-ikatan manusia dengan manusia lainnya, dengan lingkungan sekitarnya dan berkehidupan bersama dalam masyarakat tertentu. Proses berkehidupan bersama ini pada umumnya dipelihara melalui pola-pola dan prinsip-prinsip nilai social dasar yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Pola-pola hubungan inti membentuk keterikatan-keterikatan tertentu  yang dapat saja berdimensi kesamaan suku, keturunan, marga, kesamaan kampung, kesamaan agama, kesamaan kepentingan dan sebagainya. Ikatan-ikatan ini kemudian bertumbuh dari bawah dan saling melewati batas masing-masing membentuk ikatan integrative, membentuk kehidupan bersama kebangsaan Indonesia. Oleh karena itu kebangsaan Indonesia yang menyatu (unified) tersebut sekaligus juga  mengandung kemajemukan (pluralistik). Walaupun pada awalnya integrasi ini lebih didorong oleh penyatuan administrasi penjajahan, tetapi kemudian juga berkembang solidaritas, kepercayaan antara masyarakat Indonesia sehingga lahirlah kebangsaan Indonesia dengan tonggak histories Sumpah Pemuda atau dapat disebut sebagai Sumpah Bangsa, 28 Oktober 1928 dan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.  Oleh karena itu ada yang menyebut kita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terbayang saja ( imagined community ), mengingat pluralitas bangsa Indonesia, satu bangsa yang utuh  hanya seolah-olah ada. Kita sebagai bangsa lahir dan berkembang dari suatu pernyataan (sumpah) bersama, oleh karena itu ketika kita mulai membuat pernyataan berbeda dari semangat kebersamaan sebagai bangsa, maka lambat laun dapat menggerogoti semangat nasional, semangat kebangsaan, semangat persatuan Indonesia.

4. Strategi Budaya, Pelembagaan Nilai Solidaritas
            Berkaitan dengan pemaparan diatas, bahwa membangun demokrasi dengan prinsip kebebasan, persamaan dan persaudaraan harus dilakukan secara komprehensif dan bersama-sama, maka pengembangan nilai persauadaraan ini yang terus perlu dipikirkan bersama. Ini juga akan makin menjaga   semangat bhineka tunggal ika, semangat keindonesiaan. Sejalan dengan modal social diatas dalam upaya mengembangkan semangat kebangsaan, semangat solidaritas dalam kemajemukan, maka perlu dikembangkan melalui kebudayaan.
            Dalam aspek ini ada beberapa hal yang  diperlu dipikirkan bersama antara lain: Pertama, sesuai dengan semangat otonomi, maka setiap kabupaten perlu memiliki pusat-pusat budaya yang mengembangkan kebudayaan-kebudayaan local  serta dikaitkan dengan interaksi dengan budaya-budaya lain. Walaupun disadari pula bahwa interaksi budaya dapat saja berlangsung alamiah, namun demikian perlu tetap dikaji untuk mengembangkan budaya local, kearifan lokal yang memiliki nilai-nilai solidaritas agar lebih dikembangkan.
            Kedua,  Pusat-pusat Budaya juga berfungsi untuk memelihara budaya-budaya lokal sehingga masyarakat tetapi memiliki media yang berkembang dari dalam sendiri dalam menghadapi serbuan budaya global. Seringkali kearifan-kearifan budaya lokal dapat memberikan kontribusi positif dalam mebangun masyarakat yang mengalami perubahan cepat baik social maupun ekonomi.
            Ketiga, melalui pusat-pusat  budaya lokal tersebut dapat dikembangkan kepemimpinan lokal yang berbasis budaya, bukan berbasis agama. Kepemimpinan lokal tidak cukup hanya yang formal saja. Melalui kepempinan lokal budaya ini dapat menampung kekuatan-kekuatan sosial yang telah ada atau berkembang selama ini. Melalui kepemimpinan social local ini juga dapat membantu berbagai peneyelesaian masalah-masalah social dan konflik, sehingga dinamika masyarakat tidak menimbulkan perpecahan atau bisa juga dipikirkan agar  tidak semua persoalan harus dipecahkan secara efektif melalui jalur formal dalam system hukum yang ada, seperti kasus pencurian sebatang pohon bambu, atau coklat, sepasang sandal dan sebagainya. Setiap masalah tidak mesti harus melalui jalur hukum formal. Kepemimpinan lokal juga dapat menjadi pembangun solidaritas bersama masyarakat (solidarity maker) yang efektif dan riil di tengah masyarakat. Kepemimpinan lokal yang efektif dapat menjadi faktor yang membantu pemecahan masalah masyarakat.

Jakarta, 29 Maret 2013

 Andaru Satnyoto, sebagai penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (Fisipol) UKI Jakarta. Tema dalam artikel pendek ini pernah penulis diskusikan bersama dengan  (Alm) Prof. Dr. Midian Sirait tahun 2004. Untuk mengenang beliau Alm. Prof. Dr. Midian Sirait, tulisan ini didedikasikan.