Translator

Saturday 5 October 2013

STRATEGI PENYESUAIAN NEGARA DI TENGAH ARUS GLOBALISASI

STRATEGI PENYESUAIAN NEGARA DI TENGAH ARUS GLOBALISASI





Strategi Penyesuaian Negara Di Tengah Arus  Globalisasi
Oleh: Andaru Satnyoto,S.IP., MSi.

Abstract
Globalization has become the most challenging phenomena for the international system in this 21st century in terms of economics, social and politics and countries are forced to adjust to this changing situation. There  are several types of adjustment according to John G. Ikenberry: Offensive and defensive international adjustment as well as offensive and defensive domestic adjustment. Based on specific condition, rationally countries must doing their options and generally option on offensive and defensive domestic adjustment become a “reasonable” choice by considering that domestic adjustment is more realistic in term of cost and risk and since the strong wind of globalization is not easy to be countered internationally.

1.      Pengantar

Pasca Perang Dunia II aspirasi negara-negara terjajah sangat kuat untuk merdeka. Hal ini juga mendapat respon dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian membentuk kebijakan dan membantu proses dekolonisasi. Negara-negara merdeka bertambah banyak seperti terlihat dari pertumbuhan jumlah anggota PPB. Pada waktu pendirian 50 negara menjadi negara pendiri (original members), saat ini telah menjadi 192 negara atau meningkat hampir 4 kali lipat. Namun dewasa ini nilai perjuangan kemerdekaan itu seolah menjadi merosot. Dalam fenomena hubungan internasional suatu negara bisa jadi telah merdeka, namun tidak berdaulat. Ada yang mengkritisi bahwa kemerdekaan dan kedaulatan tidak lagi memiliki nilai tinggi seperti pada waktu awal kemerdekaan yang penuh heroisme, patriotisme dan semangat nasionalisme dan kemandirian yang tinggi.
Di tengah arus globalisasi dimana interdependensi sangat kuat, kemerdekaan lebih pada tataran formal, yaitu kita atau suatu komunitas memiliki negara dan pemerintahan sendiri. Namun pada level realitas, pada tataran kebijakan dan strategi pengelolaan negara,  pilihan-pilihannya kebijakan sering sangat sulit atau tidak bebas. Bahkan bagi negara-negara yang mengalami krisis pemerintahan, krisis hutang atau  krisis keamanan, ada kecenderungan pihak-pihak luar atau internasional yang mengelola, bahkan bisa sampai hal-hal teknis detil kebijakan. Misalnya saran kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi yang dikenal Structural Adjustment Policy (SAP ) dari IMF dan juga Bank Dunia, banyak diikuti berbagai negara berkembang, cenderung interventif. Meskipun kebijakan ini sering dikritik sebagai kebijakan gagal.[1]  
Kedaulatan ekonomi dan politik menjadi relatif sempit atau terbatas. Meningkatnya globalisasi antar aktor-aktor hubungan internasional, antar negara dan non negara juga membawa konsekuensi “krisis” otoritas negara. Otoritas pemerintahan yang semula sepenuhnya dapat mengelola kekuasaannya seperti yang umumnya berlaku pada masa lalu, namun kini kekuasannya menjadi relatif dan kebijakan dalam negeri pun patut memperhitungkan faktor internasional. Krisis suatu negara dapat diintervensi oleh organisasi internasional atau negara lain. Bahkan suatu pemerintah dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh individu atau perusahaan multinasional (MNC/TNC) .[2]
Fenomena globalisasi telah melanda seluruh dunia, bahkan sering digambarkan bahwa globalisasi telah menjangkau sampai pelososk-pelosok terpencil di berbagai belahan bumi. Perkembangan cepat dalam teknologi komunikasi dan informasi telah mengintensifkan hubungan antar masyarakat dan negara-negara di seluruh dunia. Berita suatu tempat di satu belahan dunia dapat beredar ke seluruh dunia dalam waktu singkat melalui jaringan TV CNN, BBC, Al Jazeera, ABC/MSN  Network dan sebagainya. Surat-menyurat tidak lagi terbatas pada pos kertas, saat ini tiap hari jutaan orang di seluruh dunia terhubung oleh jaringan internet dengan elektronik mailnya atau e-mail, facebook dan twitter. Transportasi juga sangat berkembang, jutaan orang setiap tahun mengunjungi berbagai belahan dunia dengan pesawat jet udara menempuh ratusan bahkan ribuan kilometer hanya dalam waktu singkat. Hari ini ada di wilayah Asia, besok telah ada di Eropa atau wilayah Amerika. Penerbangan telah meningkatkan mobilitas masyarakat secara luar biasa dan menghubungkan orang dari berbagai negara secara langsung, face to face.
Pada aspek ekonomi, hubungan ekonomi internasional yang yang makin intensif mulai lama, terutama sejak penjelajahan negara-negara Eropa abad ke 15, 16 dan ke 17 dan menyusul masa revolusi industri abad ke-18 dan 19.  Hubungan ekonomi internasional dalam dua puluh tahun terakhir ini telah mengalami intesifikasi yang luar biasa yang tampaknya menggambarkan proses integrasi internasonal yang makin kuat. Volume perdagangan terus meningkat dengan peserta perdagangan internasional yang makin beragam pula. Lembaga keuangan internasional juga menjangkau berbagai belahan dunia dan saling terhubung. Setiap hari diperkirakan tidak kurang dari satu triliun dolar AS keluar masuk dalam sistem dan institusi keuangan dunia melalui perdagangan valuta asing dan pasar bursa serta pasar komoditi. Banyak negara tidak lagi membatasi atau menutup  diri dengan perdagangan barang dan keuangan (investasi) internasional.[3] 
Dalam perspektif politik internasional, dengan kuatnya saling hubungan baik positip (kerjasama) maupun negatif ( konflik) antar masyarakat (people to people), bisnis ke bisnis (B to B), pemerintah (governement) ke pemerintah lainya (G to G), serta berbagai kombinasi dari element-element tersebut, rentang kendali kekuasaan negara dan kekuatan kedaulatan menjadi relatif.  Jadi globalisasi juga merujuk pada menguatnya tekanan pengaruh suatu negara terhadap negara atau entitas politik  internasional dalam pentas politik global.
Aspek politik dunia juga mengalami babak baru setelah perang dingin Blok Barat (AS) dan Blok Timur (US) usai atau  berakhir, sejak runtuhnya Tembok Berlin 1989. Hubungan internasional pasca perang dingin diwarnai oleh menonjolnya perhatian terhadap  masalah-masalah demokrasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Masalah demokratisasi dan HAM diberbagai negara yang selama perang dingin relatif diabaikan, mendadak menjadi perhatian di banyak negara. Sedang pada sisi internal negara-negara, muncul fenomena menguatnya aspirasi politik dan ekonomi lokal yang berbeda-beda (dalam suatu negara) dapat mengancam timbulnya konflik internal. Konflik dapat juga mengundang intervensi asing / pihak luar karena alasan-alasan kemanusiaan atau masalah keamanan suatu wilayah atau suatu regional tertentu.
Indonesia sebagai contoh negara berkembang yang berada pada arus globalisasi, tidak lepas dari fenomena di atas, bahkan di dalam negeri Indonesia juga memiliki banyak kelemahan dikaitkan dengan arus globalisasi tersebut. Indonesia pernah  menghadapi masalah krisis ekonomi yang berat dan munculnya keinginan berbagai daerah/ kelompok masyarakat untuk memisahkan diri dari negara di Indonesia. Demikian pula sejak tahun 2008 hingga saat ini, Indonesia sebagaimana dialami oleh banyak negara berkembang juga terus-menerus dalam bayang-bayang krisis internasional akibat kegagalan pengelolaan hutang atau kseimbangan anggaran di Eropa, dan AS. Banyak negara berkembang masih harus senantiasa waspada kemungkinan terseret arus krisis ekonomi politik internasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan:Bagaimana upaya negara melakukan penyesuaian (adjustment) dalam dinamika internasional ditengah arus globalisasi?

2. Kerangka Teoritik : Strategi Penyesuaian
           
Dalam pendekatan model “state centric” yang berfokus pada negara sebagai aktor utama hubungan internasional, kebijakan dan perilaku negara dianggap rasional sebagaimana individu. Dalam hal ini perilaku negara diidentikkan dengan perilaku individu yang mempertimbangkan secara rasional pilihan-pilihan kebijakan dan untung atau ruginya suatu kebijakan tersebut. Negara umumnya direpresentasikan oleh pimpinan pemerintahan dan pejabat pemerintah dan negara yang dalam kapasitasnya dapat mewakili atau bertindak atas nama negara.[4]
            Dalam kehidupan bernegara, terutama dalam politik, keamanan dan ekonomi, senantiasa ada dinamika yang terus berkembang baik dalam interaksi internasional dan dalam mengelola politik ekonomi domestik atau dalam negerinya. Adanya tekanan internasional dan domestik baik dalam bidang ekonomi dan politik atau adanya keterkaitan yang intensif antara kepentingan-kepentingan internasional dan domestik (ekonomi dan politik) mendorong adanya strategi penyesuaian/respon yang dinamis dalam politik domestik dan internasional suatu negara. Hal ini menarik karena strategi penyesuaian memiliki orientasi berbeda-beda sejalan dengan pilihan kebijakan negara dan tantangan (constraints) lingkungannya.
            Pada umumnya faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan kebijakan negara sering sangat kompleks mencakup banyak aspek, aktor politik, aspirasi politik internasional dan pemikiran yang berbeda-beda.  Sehingga kajian dinamika kebijakan negara relatif tidak mudah. Namun pada dasarnya setiap negara menetapkan tujuan yang hendak dicapai dan mengorganisir usaha-usaha mencapai tujuan tersebut sebagai bagian penting atau pokok dari kepentingan nasional. K.J. Holsti menyebut sekurangnya ada 4 (empat) aspek  sebagai kepentingan dasar suatu negara yaitu: 1.  security (keamanan),  2. Otonomi  /  kemerdekaan, 3. kesejahteraan rakyat, 4. status dan prestige internasional.[5]
Salah satu usaha menyederhanakan analisa pilihan strategi kebijakan suatu negara secara teoritis diajukan oleh pakar Ilmu Hubungan Internasional Amerika Serikat, yang banyak menulis tentang organisasi internasional dan politik internasional yaitu Prof. G. John Ikenberry. Dalam salah satu artikelnya berjudul  “The State and Strategies of Adjusment, ia  mengajukan pembutan model, berbagai tipe penyesuaian suatu negara dalam lingkup internasional dan dalam negeri untuk mencapai tujuan nasional. Dengan menghubungkan antara lokasi penyesuaian (adjustment) yang dibedakan antara aspek domestik dan internasional dan tujuan atau sasaran penyesuaian perubahan di tingkat internasional atau dalam negeri, G. John Ikenberry menjelaskan 4 tipe penyesuaian yaitu :

1.Offensive international adjustment (strategi  ofensif/agresif penyesuaian internasional)
2.Defensive international adjustment (strategi defensif  penyesuaian internasional )
3.Offensive domestic adjustment (strategi ofensif penyesuaian dalam negeri)
4.Defensive domestic adjustment[6] (strategi defensif penyesuaian dalam negeri).

            Pilihan startegi pertama diatas adalah ofensif terhadap rezim internasional. Strategi dalam penyesuaian terhadap rezim (cara pengaturan) internasional yang bertujuan untuk menghindari kesulitan penyesuaian di dalam negeri adalah dengan menciptakan tata internasional baru yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi politik dalam negeri (offensive international adjustment). Jadi strategi ini membutuhkan energi besar untuk mempengaruhi dunia atau forum internasional dan juga mempengaruhi negara-negara lain agar pengaturan, kesepakatan atau agreement di tingkat internasional sesuai dengan kepentingan domestik atau dalam negeri suatu negara.
            Sebaliknya pilihan kedua adalah cenderung defensif terhadap rezim atau keadaan yang ada. Hal ini dapat terjadi bila suatu negara mengambil kebijakan internasional yang cenderung mengikuti arus pengaruh internasional yang ada.Atau negara sudah mendapatkan keuntungan dari keadaan internasional yang ada.  Negara hanya sekedar menyepakati aturan-aturan main internasional yang ada. Hal ini jelas berkebalikan dengan strategi pertama dimana suatu negara secara aktif memainkan pengaruhnya agar aturan internasional atau kesepakatan internasional sesuai dengan kepentingan dan kondisi suatu negara. Dengan kata lain pilihan kebijakan negara tersebut adalah pro status quo, pro keadaan yang ada atau telah ada, oleh karena itu disebut sebagai strategi defensif. Meskipun demikian usaha kebijakan strategi mempertahankan rezim internasional yang ada (defensive   international adjustment) ini dapat pula memerlukan diplomasi  yang kuat seperti halnya dalam strategi ofensif diatas.
            Sedangkan pilihan ketiga adalah, ofensif domestik. Pilihan ini mengedepankan kebijakan penyesuaian domestik secara ofensif. Oleh karena itu kebijakannya adalah memperbarui aturan-aturan domestik yang ada, menyesuaikan dengan rezim internasional secara agresif. Bahkan bila perlu melakukan perubahan-perubahan struktural ekonomi politik menyesuaikan arus global. Maka kebijakan ini disebut sebagai kebijakan ofensif penyesuaian dalam negeri. Pemerintah bahkan dapat memainkan peran interventif yang kuat untuk mendorong berbagai perubahan lembaga politik dan ekonomi dalam negeri sesuai dengan arus internasional atau global.
            Berbeda dengan pilihan kebijakan ketiga diatas, kebijakan strategi keempat, negara berupaya sekuat mungkin melindungi struktur ekonomi politik dalam negeri. Secara defensif negara memilih kepentingan-kepentingan dalam negeri sebagai prioritas kebijakan. Oleh karena itu kebijakan ini cenderung pro status quo dalam negeri, kebijakan defensif. Kebijakan defensif cenderung protektif dan berusaha menghindari perubahan secara menyeluruh. Contoh dalam bidang ekonomi misalnya dengan pengenaan tarif tinggi, kuota ataupun subsidi produk-produk yang tidak kompetitif di pasar internasional.
            Dari uraian diatas secara diagramatik pilihakan strategi penyesuaian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:










INTERNATIONAL
DOMESTIC
OFFENSIVE
Create  new international
Regime
Change  domestic
structure
DEFENSIVE
Maintain or protect
international
regime
Protect  domestic
structure

            Berangkat dari model penyesuaian diatas dan dihubungkan dengan kepentingan nasional,  maka akan dapat pilihan-pilihan strategis kebijkan negara dalam politik internasional dan politik dalam negeri. Pilihan strategis ini mendasarkan pada asumsi rasional negara, dimana aktor negara benar-benar mempertimbangkan pilihan berdasarkan keuntungan dan kerugian serta resikonya. Dengan pertimbangan rasional strategis demikian, pilihan prioritas negara dapat digambarkan berikut: Pertama, negara berusaha meminimalkan resiko biaya / kerugian pemerintah dan berusaha memaksimalkan kemampuan kompetitif sektor ekonomi dan politik. Jika harus memilih makan pilihannya pada pemerintah mengambil pilihan resiko minimal, bukan memaksimalkan kemungkinan keuntungan kompetitifnya. Kedua, kebijakan pada arena internasional memiliki resiko pemerintah (politik) yang lebih rendah daripada kebijakan dalam negeri. Ketiga, kebijakan ofensif mempunyai tingkat keuntungan kompetitif lebih tinggi dibanding kebijakan defensif.[7]

2.      Implikasi Globalisasi & Strategi Penyesuaian
            Sebagaimana dijelaskan secara singkat diatas, pengertian globalisasi sangat beragam, ahli-ahli memberikan pengertian yang berbeda-beda sesuai sudut pandang atau fokus studinya. Dengan membedakan sisi umum dan spesifikasi, globalisasi dapat dibedakan dalam pengertian umum yang menyangkut semua aspek kehidupan atau aspek khusus, yaitu hanya segi ekonomi. Globalisasi sebagai suatu visi adanya dunia tanpa batas ( borderless world ) dan perkambungan dunia / global village. Globalisasi demikian menunjukan melemahnya dimensi teritorial dan kedaulatan nasional. Pada sisi ekonomi, globalisasi menunjukkan pula kecenderungan meningkatnya penetrasi pasar, liberalisasi dan dominasi ekonomi internasional atas ekonomi nasional. Hal ini juga membawa dampak melunturnya atau melarutnya nilai kebangsaaan/nasionalisme terutama yang terkait ekonomi. Hal ini secara seloroh sering disebutkan bahwa rupiah atau dolar (uang) tidak mengenal nasionalisme.
Globalisasi lebih dari sekedar internasionalisasi sebagaimana pada masa kolonialisme abad ke 15 hingga awal abad ke 20, yang lebih menekankan pada aspek perdagangan dan eksploitasi sumber daya alam atau sumber bahan mentah. Globalisasi lebih kompleks dan menyangkut berbagai fenomena kehidupan individu, lembaga sosial,  lembaga bisnis dan negara. Oleh karena itu ada banyak aspek dan pengertian globalisasi. Paul Viotti dan Mark Kauppi menyebut bahwa globalisasi mencakup proses peningkatan hubungan sosial kultural dan ekonomi secara berkelanjutan  (globalization refers to the  of continual increase in transnational and worldwide economic, social, and cultural interactions that transcend the boundaries of states, aided by advances in technology).[8]
Dalam pengertian lebih longgar  sosiolog Antony Giddens menyebut globalisasi  sebagai konsekuensi modernisasi. Sedangkan ahli  lain misalnya, Roland Robertson dalam bukunyaGlobalization, menyebutkan bahwa globalisasi sebagai suatu konsep  merujuk pada dua aspek yaitu kompresi atau penyempitan  (relatif) dunia dan intensifikasi kesadaran akan dunia sebagai satu keseluruhan atau kesatuan. Menurut Thomas Freidman, Globalisasi juga diartikan sebagai tumbuhnya jaringan internasional seperti world wide web, dunia yang terintegrasi, dan hal ini berbeda dengan masa perang dingin yang justru membuat negara-negara dunia terkotak-kotak atau terbagi-bagi. [9] 
Secara teoritis Profesor Budi Winarno, mengkategorikan kelompok penganut pandangan globalisasi ke dalam tiga kelompok kategori, yaitu: hiperglobalis, kelompok skeptis dan transformasionalis. Kelompok  pertama hiperglobalis ini memandang bahwa globalisasi sebagai fenomena sejarah baru kehidupan manusia,   dimana “negara tradisional” telah menjadi tidak relevan, dan terlebih tidak dapat menjadi unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global. Pandangan ini menekankan gejala ekonomi global yang mendorong denasionalisasi, sistem network produksi dan distribusi secara global/internasional dengan dukungan perdagangan dan keuangan global. Dalam sistem economics borderless demikian, negara lebih sebagai semacamtransmission belt bagi kapital global dan sekedar institusi perantara antara kekuatan global dan regional dengan kekuatan lokal dan nasional yang sedang tumbuh. Pada akhirnya perkembangan ekonomi akan membawa proses ekonomi global dengan lembaga-lembaga “governance” global serta penyebaran budaya pop sebagai fakta dan tatanan Baru.
Kelompok kedua sebagai kelompok skeptis, melihat bahwa globalisasi bukanlah produk baru tetapi punya akar sejarah panjang. Pendukung kelompok ini sangat tidak setuju dengan pernyataan hiperglobalis tentang negara. Menurut kelompok skeptis negara masih memiliki kekuatan untuk mengatur ekonomi internasional. Negara nasional masih merupakan kekuatan penting untuk mengatur ekonomi global dan yang mampu menjamin proses liberalisasi ekonomi terus berlanjut. Pembangunandan pertumbuhan  ekonomi justru lebih memarginalkan negaranegara berkembang karena perdagangan dan investasi cenderung hanya mengalir diantara negara-negara maju dan kaya.
Kelompok ketiga, sebagai transformasionalis yang inti pandangannya melihat bahwa globalisasi merupakan kekuatan utama di balik perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik yang menentukan perkembangan masyarakat modern dan tatanan dunia (world order). Perkembangan globalisasi sekarang ini tidak pernah ada sebelumnya, dimana tidak lagi jelas pembedaan antara domestik dan internasional.
Kelompok transformasionalis meyakini bahwa peran negara masih penting, bukan menghilang atau tidak diperlukan, negara masih tetap relevan dan  sejalan pula dengan meningkatnya peran organisasi-organisasi bisnis multi nasional/transnasional. Kekuasaan negara dalam era globalisasi ini bukan hanya satu-satunya kekuatan pemegang keuasaan dan keputusan tunggal, tetapi juga ada aktor-aktor lain yang berpengaruh seperti MNC/TNC. Negara tidak bisa hanya membuat klaim normatif pemegang kedaulatan, tetapi harus mengaktualkannya dalam dinamika politik global yang makin beragam termasuk aktornya yang makin banyak, tidak terbatas hannya aktor negara. Negara tidak hanya normatif, tetapi harus aktual memainkan pengaruhnya secara internal maupun global/internasional[10]
            David Held, (Democracy and Global System, 1991) menyebutkan bahwa globalisasi memiliki dua aspek sekaligus. Pertama, globalisasi adalah aktifitas ekonomi, politik dan sosial yang jangkauannya mencakup secara global (seluruh dunia dunia). Kedua, globalisasi merujuk adanya intensifikasi tingkat-tingkat interaksi dan saling keterkaitan (interconnectedness) antara negara dan masyarakat sehingga terbentuk komunitas internasional. Hal ini dimungkinkan oleh perkembangan yang luar biasa dari teknologi komunikasi dan informasi, yang diikuti pula perubahan dalam pola hubungan dagang, hukum, organisasi, dan dalam hubungan antara manusia dan masyarakat dari berbagai tempat yang berbeda. Kelompok transformasionalis melihat negara tidak lagi bisa berlindung dibalik klaim kedaulatan negara dan menjadi satu-satunya aktor penting dalam pengambilan keputsan, tetapi negara sejajar dengan aktor lain khususnya lembaga-lembaga “governance” internasional.
            Sejalan dengan pemikiran pemikiran diatas, salah satu dampak yang signifikan dari globalisasi ini terutama adanya penurunan atau krisis otonomi negara (kedaulatan) nasional. Akibatnya memaksa negara-negara untuk bekerja sama lebih erat agar dapat mengatasi masalah-masalah baru yang muncul dari suatu negara atau yang muncul di banyak negara yang tidak dapat diatasi sendiri oleh satu negara.  


Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut [11] :

Growth of global interconnectedness
in a number of key dimensions :
economics, politics, technology,
communications and law


 


Growing permeability of borders

Diminution of state’s capacity to generate
policy instruments able to control the
flow of goods and services, ideas
and cultural products, etc.
 

Growth in requirement of states to
co-operate with each other to
control policy outcomes

Growth in international agencies and
institutions, e . g . mechanisms to
sustain the balance of power,
expansion of regimes, development
of international organizations, multilateral diplomacy,
scope of  international law and co-operation with
non-state actors and processes

Creation of a system of global
governance which, as one of its
outcomes, sustains and redefines
the power of state

Interdependent global system created, wich
none the less remains highly fragile-
vulnerable to shifts in resources,
ideologies and technologies.
            Dalam bidang ekonomi, bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia, globalisasi dirasakan sebagai adanya “tekanan” untuk meliberalisasikan struktur ekonomi dalam negeri. Hal ini merupakan dorongan untuk menyesuaikan struktur ke dalam negeri agar sesuai dengan arus global / internasional. Tekanan liberalisasi ini secara umum bekerja melalui dua “mekanisme berbeda”, yaitu: mekanisme interdependensi perdagangan barang, jasa dan investasi, dan melalui mekanisme penyehatan negara-negara yang mengalami krisis ekonomi ataupun moneter.[12]
            Pertama adalah melalui implikasi peningkatan perdagangan dan interdepensensi finansial (kuangan) terhadap pilihan kebijakan ekonomi  yang relevan. Meningkatnya interdepedensi ini berarti meningkatnya bobot aktor-aktor ekonomi domestik yang mempunyai kaitan dengan aktor luar/internasional. Hal ini mendorong adanya peningkatan tekanan untuk keterbukaan pasar keuangan agar sesuai dengan keinginan internasional dan juga pemodal dalam negeri. Karena hal ini akan memaksimalkan keuntungan ekonomis pada aktor yang terlibat. Oleh karena itu sangat mudah dipahami apabila industri-industri keuangan (financial firms) dari negara-negara industri sangat aktif melakukan lobi-lobi untuk membuka pasar uang negara berkembang. Industri finansial internasional juga mempengaruhi pemerintahannya / negara-negara maju untuk tetap melakukan tekanan-tekanan secara bilateral maupun multilateral agar pasar financial internasional khususnya di negara-negara berkembang dapat lebih terbuka aksesnya.
            Hal ini misalnya, tercermin dalam berbagai argumentasi AS dan negara-negara industri lainnya dalam proses perundingan Putaran Uruguay sejak tahun 1986 dan berlanjut terus hingga dalam organisasi perdagangan dunia / WTO, antara lain :
1.    Perdagangan bebas tradisional yaitu perdagangan barang seperti yang telah banyak diatur  dalam GATT hingga saat ini tidak lagi mencukupi, sektor jasa saat ini dipandang juga sangat penting. Oleh karena itu cakupan liberalisasi juga harus sampai ke sektor jasa.
2.    Dalam upaya memfasilitasi pertukaran dan arus jasa ini, maka proteksi-proteksi yang ada hanya menimbulkan inefisiensi dan ketidakmakmuran secara menyeluruh. Oleh karena itu usaha-usaha jasa yang memfasilitasi perdagangan, investasi dan pasar uang mestinya bisa dibuka tanpa diskriminasi untuk kemakmuran bersama. Pada gilirannya hal ini perlu diadakan harmonisasi dan koordinasi kebijakan makro ekonomi dan finansial antara negara dapat dihilangkan distorsi pasar.
3.    Adaya kemungkinan penggunaan cross retaliation (pembalasan silang) dalam perselisihan perdagangan. Misal suatu negara yang melanggar regulasi internasional bidang bea masuk otomotif, barang-barang ekspornya dapat dikenai pembalasan melalui tarif tinggi tidak hanya barang-barang otomotif tetapi bisa barang lainnya, sehingga akan menghambat perdagangannya. Apabila hal ini dipaksakan, dikhawatirkan bahwa Dispute Setlement Body  (DSB) yang menentukan hukuman akibat pelanggaran perdagangan dan memiliki kekuasaan besar,  cenderung dikontrol oleh negara-negara maju.[13]
Disamping itu dengan kompleksitas dan membesarnya perdagangan dan investasi membuat kontrol  terhadap aliran/gerak pasar yang sangat sulit. Kenyataan lain membuktikan pula bahwa integrasi ekonomi tidak hanya merubah proses distribusi  barang dan jasa, tetapi lebih jauh lagi berakibat pada mencairnya makna batas-batas negara dalam ekonomi internasional.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keterkaitan perdagangan internasional dan investasi, serta kesempatan membuka pasar jasa internasional yang timbul akibat meningkatnya pasar finansial internasional memberi tekanan agar timbul liberalisasi dan internasionalisasi pasar finansial  dan pasar barang domestik serta melemahkan kontrol negara atas kehidupan ekonomi dan finansial nasional
Kedua, tekanan internasional untuk liberalisasi finansial/jasa ini  melalui saluran mekanisme penyehatan negara menghadapi krisis ekonomi/neraca pembayaran suatu negara. Negara terancam krisis biasanya akan melakukan kebijakan untuk memperketat kontrol atas pergerakan kapital/modal. Untuk membatasi pelarian modal dan meminimalkan dampak defisit neraca pembayaran dalam jangka pendek. Akan tetapi kenyataan dalam dua dekade belakangan  ini, setelah banyak menyesuaikan diri dengan model pasar terbuka IMF, justru negara- negara yang ikut program IMF menunjukan cenderung rentan terhadap krisis baru. Dan munculnya krisis baru makin mendorong keterlibatan lebih jauh IMF maupun  Bank Dunia. Ada gejala bahwa krisis ekonomi , misalnya neraca pembayaran justru mendorong keterbukaan terhadap peran finansial internasional atau makin terjadi  internasionalisasi pasar finansial.
Upaya ini dilakukan dengan koordinasi IMF yang biasanya disertai dengan program penyehatan suatu ekonomi nasional yang berporoskan liberalisasi lebih lanjut pengelolaan ekonomi dan finansial negara yang bersangkutan. Selama tahun 1985-1990, misalnya IMF melaporkan adanya krisis keuangan negara-negara liberalisasinya makin meningkat, dan disertai pula meningkat jumlah negara yang melakukan liberalisasi dari 22 negara menjadi 62 negara. Upaya liberalisasi ini umumnya dalam kerangka memulihkan kepercayaan investor dan mengembalikan modal yang telah ditanam suatu negara dan berupaya menarik kembali modal suau negara yang dibawa keluar untuk stabilisasi krisis ekonomi.
 Dengan melihat proses di atas dapat dibayangkan bahwa hal ini membawa implikasi yang luas dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional. Secara tidak langsung liberalisasi tampaknya, tidak sekedar adanya keyakinan bahwa perekonomian akan lebih baik jika diliberalkan, terlepas konteks kesiapan sarana, prasarana dan sumber daya manusianya. Tetapi liberalisasi lebih merupakan hasil (respon) tekanan internasional secara sistematik terhadap ekonomi suatu negara.[14]
Pada waktu lalu ketika saat-saat krisis ekonomi dan keuangan di negara-negara berkembang mulai Asia Timur, Amerika Latin dan negara-negara Eropa Timur khususnya negara pecahan Uni Soviet, negara-negara maju bertindak menjadi “penolong”.  Negara-negara maju melalui organisasi-organisasi internasional  berusaha melakukan semua tindakan yang perlu untuk memperbaiki krisis tersebut, namun kadang yang terjadi justru menbawa pada keadaan yang lebih sulit. Banyak kasus program-program IMF secara jelas memperburuk keadaan negara-negara Asia Timur, dan program “shock therapy” yang  didesakkan IMF memainkan peran penting kegagalan transisi Eropa Timur, khususnya negara-negara pecahan Uni Soviet dan banyak negara lain di Asia.[15]
Program liberalisasi yang digerakkan IMF dan bank Dunia mencakup  tiga pilar program pokok yaitu: Liberalisasi perdagagangan dan keuangan, deregulasi dan privatisasi. Tiga pilar kebijakan didorong agar pemerintahan dapat lebih efisien dan alokasi sumber ekonomi menjadi lebih tepat sasaran dengan pasar (market) sebagai pengerak utamanya. Melalui kebijakan ini pemerintah didorong untuk tidak melakukan bisnis atau melepaskan bisnisnya (privatisasi) karena tidak kompeten, tidak efisien dan menjadi sumber masalah  anggaran. Dalam kerangka kebijakan efisiensi anggaran juga pemerintah negara-negara peserta program hutang bank Dunia dan IMF ditekan untuk secara bertahap menghilangkan subsidi yang dianggap cenderung misalokasi sumber daya dan hal ini berarti pemborosan. Sedangkan pada sektor perdagangan dan keuangan, kebijakan didorong untuk meminimalkan campur tangan pemerintah dalam perdagangan dan jasa keuangan, dan restorasi pasar dengan menghilangkan berbagai sistem proteksi industri baik dengan tarif maupun non tarif. Termasuk dalam aspek ini dalah devaluasi mata uang dan meciptakan sistem kurs mengambang (floating) bergantung dinamika pasar. Hal ini sejalan dengan kebijakan deregulasi untuk memudahkan segala usaha dan kompetisi usaha di masyarakat baik pada level nasional maupun internasional. Deregulasi juga ditujukan untuk menjaga kemudahan-kemudahan usaha dan pertumbuhan ekonomi. Namun seringkali kemudahan menjadi penyelewengan termasuk penggunaan dana-dana bank secara tidak bertanggungjawab dan berakhir dengan mismanajemen dan kebangkrutan.[16]
Jika kita melihat kasus krisis di Indonesia, saat ini tampak bahwa sesungguhnya krisis dan liberalisasi tidaklah mendadak. Jika kita pelajari dinamika pressure (tekanan) itu dan responnya dalam bentuk usaha liberalisasi pengaturan ekonomi terus berlangsung. Sesungguhnya proses ini telah timbul sejak tahun 1970-an pada waktu krisis harga minyak dan memuncak pada tahun 1980-an  ketika kembali terjadi permasalahan harga minyak. Oleh karena itu sejak tahun 1980-an sudah terjadi deregulasi ekonomi untuk menyesuaikan pasar global.[17]
Namun deregulasi tersebut tidak tuntas atau bahkan masih tetap terdistorsi oleh karena adanya pola korupsi, dan kolusi yang sudah sangat kuat. Hal ini masih berlanjut hingga runtuhnya  rezim Orde Baru, bahkan sampai tingkat tertentu hingga saat ini. Sesungguhnya pembiayaan pembangunan atau perdagangan selama ini juga dilaksanakan dalam kondisi defisit anggaran. Dengan demikian, akumulasi kesulitan terus berlanjut dalam jumlah yang sangat besar. Misal utang luar negeri Indonesia sudah hampir setara dengan produk nasional kotor/buto pada waktu sekitar masa krisis 1997/1998.  Krisis moneter yang berlanjut pada krisis ekonomi di Indonesia telah membawa arah liberalisasi ekonomi lebih lanjut. Pemerintah Indonesia telah menandatangani kesepakatan pembaruan ekonomi untuk mengatasi krisis yang bertumpu pada kebijakan liberalisasi. IMF menyediakan “standby loan” sebesar 23 milyar Dollar AS, sehingga keseluruhan 43 milyar Dollar AS.
          Terdapat harapan bila Indonesia dapat secara konsisten melakukan restrukturisasi dan program penyehatan secara konsisten maka diharapkan ekonomi dapat pulih dan pada saat bersamaan memiliki struktur ekonomi yang integral dengan ekonomi internasional. Namun melihat pengalaman-pengalaman negara-negara yang dibantu IMF, seperti Bolivia, Argentina, Mexico dan negara-negara eks Uni Soviet termasuk Eropa Timur, menunjukkan bahwa, pemulihan membutuhkan waktu yang panjang. Bakan hingga kini Mexico pun belum pulih benar dari dampak krisis tahun 1984/85 -1995.
Bahkan lebih sisnis lagi, dikatakan Indonesia sudah tidak memiliki kedaulatan ekonomi. Semua strategi penyehatan (baca : penyesuaian) kembali ekonomi nasional bertumpu pada agenda-agenda yang disepakati bersama Indonesian dan IMF. Dan lebih jauh lagi terdapat kekhawatiran akan membawa ke dalam jebakan utang  (debt trap) kapitalisme yang tak akan pernah berakhir dalam proses pembangunan atau eksistensi negara.
Sedang dalam bidang politik juga terjadi penyesuaian domestik terhadap tekan globalisasi, khususnya dalam intergrasi nasional. James J. Coleman dan Carl G. Rosburg, sebagaimana dikutip Nazaruddin Sjamsudin menyebutkan bahwa intergrasi nasional mencakup integrasi vertikal (elite-massa) dan horisontal (teritorial). Integrasi vertikal merupakan upaya menjembatani elite dengan mana dalam rangka pengembangan proses politik yang padu dan positif. Sedangkan integrasi horisontal bertujuan untuk mengurangi diskontinyuitas dan ketegangan kultur kedaerahan dalam rangka proses penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen.[18]
Dalam upaya integrasi ini Indonesia memiliki kemajemukan masyarakat yang luar biasa.Masing-masing sub kultur daerah dan budaya, seperti agama, tidak memiliki pola afiliasi saling silang (cross cutting affliates) yang tinggi. Oleh karena itu potensi konflik bisa sangat tingi, karena tidak ada aspek integratif yang menghubungkan antar pihak dalam masyarakat.[19]
Disamping itu suasana antar golongan masyarakat dan antar daerah memiliki kesenjangan ekonomi yang masih relatif tinggi. Selama ini seolah-olah terdapat polarisasi ekonomi antara Jawa – Luar Jawa, Indonesia Barat – Indonesia Timur, dan antara kota dan pedesaan. Polarisasi ekonomi juga tercermin pada level individual antara kaya dan mskin yang memiliki jarak yang jauh. Selama ini terdapat pandangan umum bahwa sebagian besar pembangunan sebenarnya lebih dinikmati oleh sebagain kecil ( sekitar 20%) penduduk Indonesia yang berpenghasilan tinggi.
Pada masa lalu, integrasi nasional ditempuh dengan cara yang otoritarian. Selama rezim Orde Baru/Suharto menindas berbagai wacana kritis, upaya demokratisasi dan pemberdayaan kekuatan rakyat. Demikian pula  aspirasi daerah penghasil sumber daya alam untuk mendapatkan bagian lebih besar hasil kekayaan tersebut dan percepatan pembangunan yang lebih adil senantiasa ditutup-tutupi. Bahkan untuk daerah-daerah rawan keamanan daerah cenderung ditekan, bahkan ditindas dengan pendekatan militer keamanan . Hal ini sering dikhawatirkan dapat menjadi “bom waktu” perpecahan yang sangat bahaya. [20]Walaupun demikian untuk kasus Indonesia, desintegrasi dalam bentuk pecahnya negara memang, relatif masih belum aktual, namun secara sosial masyarakat terasa terpecah atau kurang menyatu.
Pada masa lalu strategi otoritarian, represif dapat mempertahankan integrasi nasional dan status quo, namun saat ini dengan adanya era globalisasi yang sangat terbuka, dan disertai tuntutan demokrasi dan penegakan hak-hak asazi manusia tindakan represif tidak lagi dapat diterima. Bahkan upaya integrtif yang represif dapat kontra produktif dalam usaha mengintegrasikan bangsa secara keseluruhan. Dalam perspektif inilah, dewasa ini upaya reprsif pemerintah di Papua, misalnya sangat disayangkan dan ditolak masyarakat. Upaya represif dapat makin menmbulkan perpecahan masyarakat, bahkan dapat pula mengundang upaya intervensi pihak luar atau asing.
Untuk itu upaya integrasi tampaknya lebih tepat dengan mengedepankan atau menekankan usaha dialogis dan demokratis. Dengan demikian penyesuaian politik dalam negeri berarti melakukan perubahan-perubahan struktur politik yang lebih mampu mengakomodasi aspirasi demokratis. Kasus Aceh sebelum 2005, dan Papua hinga saat ini, menunjukkan hal ini. Bila pemerintah melakukan operasi besar di Papua,  sangat rentan timbul pelanggaran-pelanggaran HAM, yang dapat mengundang perlawanan lokal lebih intensif atau intervensi atau tekanan dari luar. Saat ini sudah banyak LSM internasional pemerhati Papua, kaukus anggota parlemen di kawasan negara-negara Pasifik (solodarits Melanesia), juga ada beberapa anggota parlemen Inggris dan AS yang getol mengkritisi masalah Papua. Sedangkan pada sisi diplomatik sebagai ujung tombak untuk penyesuaian ofensif internasional tampaknya kurang dilakukan. Dalam aspek penyesuaian internasional, Indonesia tampaknya relatif hanya sibuk di sekitar ASEAN yang sebenarnya tidak terlalu memiliki dampak pada masalah Papua.
Pemikiran tersebut terkait pula dengan kecenderungan baru globalisasi keamanan, yang tidak hanya menyangkut militer, tetapi juga keamanan individu yang sama-sama mendapat perhatian internasional. Dalam masalah politik dan keamanan, globalisasi juga telah memberikan peluang munculnya atau menguatnya kecenderungan intervensionisme dengan alasan utuk keperluan kemanusiaan atau humanitarian intervention dan keamanan sipil suatu wilayah. Juridiksi domestik suatu negara atau kedaulatan dapat menjadi relatif atau tidak dihormati bila terjadi pelanggaran HAM yang kasar atau luar biasa (gross violation) seperti terjadi di Kosovo, Bosnia (konflik Balkan) dan Rwanda. Intervensi kekuatan internasional baik dengan senjata (force) maupun dengan misi minimal untuk mendukung perdamaian ( Peace Keeping Operation / PKO ) telah mulai lazim dilaksanakan. Kencenderungan ini mendapatkan pembenaran melalui sikap Sekjen PBB yang cenderung menerima humanitarian intervention (pidato Kofi Annan dalam sidang umum PBB 1999). Dengan melihat kemungkinan besarnya intervensi asing bila banyak terjadi pelanggaran HAM, maka respon yang relatif aman cenderung menyesuaikan penanganan dalam negeri sejalan dengan arus global yang secara terbuka mengedepankan HAM, lingkungan dan demokrasi.
            Dengan kuatnya tekanan dan pengaruh globalisasi termasuk di dalamnya arus liberalisasi, umumnya mendorong negara untuk menyesuaikan keadaan domestiknya. Upaya respon negara-negara berkembang termasuk Indonesia,  kadang sangat agresif atau ofensif. Pilihan respon ke arah ofensif ke dalam negeri juga didorong oleh karena perubahan ke dalam relatif lebih mudah, walaupun kadang kala juga memerlukan biaya besar baik politik, sosial dan ekonomi. Namun hal  ini masih dipandang realistis, dibanding upaya merubah sistem dunia yang cakupannya sangat luas, sehingga banyak memerlukan energi diplomasi. Kebanyakan negara berkembang mengikuti alur reformasi sistem sosial ekonomi politik yang menjadi pedoman lembaga-lembaga internasional. Terlebih lagi bila negara tersebut terikat hutang baik kepadaBank Dunia untuk pembiayaan pembangunan maupun hutang kepada IMF untuk pembiayaan perdagangan luar negeri atau stabilisasi moneter atau bila menghadapi krisis hutang dan ekonomi secara umum.

Daftar Pustaka
Friedman, Thomas L.  Memahami Globalisasi: Lexus dan Pohon Zaitun, Bandung: Penerbit ITB, 2000
Held, David (ed.), Political Theory Today”, California: Stanford University Press, 1991.
Holsti, K.J. International Politics: A Framework For Analysis (6th. ed.), New Jersey: Prentice Hall International, 1992.
Harris, Syamsudin , et.al., Indonesia Diambang Perpecahan, Jakarta: Erlangga, 1999.
Ikenberry,  G. John. “The State and Strategies of International Adjustment”, World Politics, Vol. XXXIX. No. 1, Oktober 1986,
Keohane, Robert. and  Helen V. Milner, Internationalization and Domestic Politics, New York: Cambridge University Press, 1996.
Khoor Kok Peng, Martin.  Imperialisme Ekonomi Baru: Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia  Ketiga, Jakarta: Gramedia, 1993.
Mas’oed, Mohtar. Studi Hubungan Internasional : Tingkat Analisis dan Teorisasi, Yogyakarta : PAU, UGM, 1989.
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1984.
Prawiro, Radius.  Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Jakarta: Gramedia, 1998.
Robertson, Roland. Globalization: Social Theory and Global Culture, London: SAGE Publications Ltd, 1992.
Sjamsudin, Nazarudin. “Dimensi-Dimensi Vertikal Dan Horisontal Dalam  Integrasi Politik”Jurnal Ilmu Politik, No. 8 tahun 2000.
Stiglitz, Joseph. Making Globalization Work, New York: Allen Lane (Penguin Group ), 2006.
Viotti, Paul R. dan Mark V Kauppi,  International Relations and World Politics: Security, Economy, Identity, (4th. ed), New Jersey: Pearson Education  International (Prentice Hall), 2009.
Winarno,Budi,  Globasasi & Krisis Demokrasi, Jogjakarta: Media Pressindo, 2007.
__________    , Melawan Gurita Neoliberalisme, Jakarta: Erlangga, 2010.



[1] Budi Winarno, Globaisasi & Krisis Demokrasi, Jogjakarta: Media Pressindo, 2007, hlm. 122 – 124.
[2]  Paul R Viotti dan Mark V Kauppi, International Relations and World Politics:Security,Economy,Identity, (4th. ed), New Jersey: Pearson Education International/Prentice Hall,  2009,  hlm. 7. 
[3] Ibid, hlm.5-7.
[4]  Lihat pula, Mohtar Mas’oed, Studi Hubungan Internasional : Tingkat Analisis dan Teorisasi, Yogyakarta : PAU, UGM, 1989, hlm. 85-91.
[5] Tokoh realis H.J  Morgenthau melihat hal ini lebih terbatas lagi  dan meletakkan kepentingan nasional (national interest) sebagai “power” atau kekuasaan, sedangkan Holsti melihat lebih terperinci mencakup keamanan, otonomi, kesejahteraan dan prestige negara,  lihat  K.J. Holsti, International Politics: A Framework For Analysis (6th. ed.), New Jersey: Prentice Hall International, 1992, hlm.  82-114.
[6] G. John Ikenberry, “The State and Strategies of International Adjustment”, World Politics, Vol. XXXIX. No. 1, Oktober 1986, hlm. 57-60.
[7] G. John Ikenberry, Ibid. hlm. 118 – 119.

[9]  Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture, London: SAGE Publications Ltd, 1992, hlm. 8. Lihat pula penjelasan Thomas L. Friedman,  dalam bukunya, Thomas L. Friedman, Memahami Globalisasi: Lexus dan Pohon Zaitun,Bandung: Penerbit ITB, hlm. 12 -28. Lihat pula penjelasan tentang globalisasi dari Budi Winarno, Op.it, hlm . 1- 36.

[10]  Budi Winarno, Op.cit. hlm. 12-14.
[11] David Held, “Democracy: The Nation State And The Global System” dalam David Held (ed.), Political Theory Today”, California:Stanford University Press, 1991, hlm. 206-209.
[12]  Robert Keohane and  Helen V. Milner, Internationalization and Domestic Politics,New York:Cambridge University Press, 1996, hlm. 211.
[13] Martin Khoor Kok Peng, Imperialisme Ekonomi Baru: Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia  Ketiga, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 16-18.
[14] Untuk keterangan lebih jauh lihat dalam buku Robert Keohane and Helen Milner diatas.
[15] Joseph Stiglitz, Making Globalization Work, New York: Allen Lane (Penguin Group ), 2006, hlm. IX – X.
[16] Cf, Budi Winarno, Melawan Gurita neoliberalisme,  Jakarta: Erlangga, 2010, hlm. 47 – 66.
[17] Radius Prawiro, Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Jakarta: Gramedia, 1998, hlm. 297 – 465.
[18]  Nazarudin Sjamsudin, “Dimensi-Dimensi Vertikal Dan Horisontal Dalam  Integrasi Politik” Jurnal Ilmu Politik, No. 8 tahun 2000, hlm. 31-47.
[19] Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1984, hlm 27-50.
[20] Syamsudin Harris , et.al., Indonesia Diambang Perpecahan, Jakarta: Erlangga, 1999, hlm. 11 – 21.



Strategi Penyesuaian Negara Di Tengah Arus  Globalisasi
Oleh: Andaru Satnyoto,S.IP., MSi.

Abstract
Globalization has become the most challenging phenomena for the international system in this 21st century in terms of economics, social and politics and countries are forced to adjust to this changing situation. There  are several types of adjustment according to John G. Ikenberry: Offensive and defensive international adjustment as well as offensive and defensive domestic adjustment. Based on specific condition, rationally countries must doing their options and generally option on offensive and defensive domestic adjustment become a “reasonable” choice by considering that domestic adjustment is more realistic in term of cost and risk and since the strong wind of globalization is not easy to be countered internationally.

1.      Pengantar

Pasca Perang Dunia II aspirasi negara-negara terjajah sangat kuat untuk merdeka. Hal ini juga mendapat respon dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian membentuk kebijakan dan membantu proses dekolonisasi. Negara-negara merdeka bertambah banyak seperti terlihat dari pertumbuhan jumlah anggota PPB. Pada waktu pendirian 50 negara menjadi negara pendiri (original members), saat ini telah menjadi 192 negara atau meningkat hampir 4 kali lipat. Namun dewasa ini nilai perjuangan kemerdekaan itu seolah menjadi merosot. Dalam fenomena hubungan internasional suatu negara bisa jadi telah merdeka, namun tidak berdaulat. Ada yang mengkritisi bahwa kemerdekaan dan kedaulatan tidak lagi memiliki nilai tinggi seperti pada waktu awal kemerdekaan yang penuh heroisme, patriotisme dan semangat nasionalisme dan kemandirian yang tinggi.
Di tengah arus globalisasi dimana interdependensi sangat kuat, kemerdekaan lebih pada tataran formal, yaitu kita atau suatu komunitas memiliki negara dan pemerintahan sendiri. Namun pada level realitas, pada tataran kebijakan dan strategi pengelolaan negara,  pilihan-pilihannya kebijakan sering sangat sulit atau tidak bebas. Bahkan bagi negara-negara yang mengalami krisis pemerintahan, krisis hutang atau  krisis keamanan, ada kecenderungan pihak-pihak luar atau internasional yang mengelola, bahkan bisa sampai hal-hal teknis detil kebijakan. Misalnya saran kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi yang dikenal Structural Adjustment Policy (SAP ) dari IMF dan juga Bank Dunia, banyak diikuti berbagai negara berkembang, cenderung interventif. Meskipun kebijakan ini sering dikritik sebagai kebijakan gagal.[1]  
Kedaulatan ekonomi dan politik menjadi relatif sempit atau terbatas. Meningkatnya globalisasi antar aktor-aktor hubungan internasional, antar negara dan non negara juga membawa konsekuensi “krisis” otoritas negara. Otoritas pemerintahan yang semula sepenuhnya dapat mengelola kekuasaannya seperti yang umumnya berlaku pada masa lalu, namun kini kekuasannya menjadi relatif dan kebijakan dalam negeri pun patut memperhitungkan faktor internasional. Krisis suatu negara dapat diintervensi oleh organisasi internasional atau negara lain. Bahkan suatu pemerintah dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh individu atau perusahaan multinasional (MNC/TNC) .[2]
Fenomena globalisasi telah melanda seluruh dunia, bahkan sering digambarkan bahwa globalisasi telah menjangkau sampai pelososk-pelosok terpencil di berbagai belahan bumi. Perkembangan cepat dalam teknologi komunikasi dan informasi telah mengintensifkan hubungan antar masyarakat dan negara-negara di seluruh dunia. Berita suatu tempat di satu belahan dunia dapat beredar ke seluruh dunia dalam waktu singkat melalui jaringan TV CNN, BBC, Al Jazeera, ABC/MSN  Network dan sebagainya. Surat-menyurat tidak lagi terbatas pada pos kertas, saat ini tiap hari jutaan orang di seluruh dunia terhubung oleh jaringan internet dengan elektronik mailnya atau e-mail, facebook dan twitter. Transportasi juga sangat berkembang, jutaan orang setiap tahun mengunjungi berbagai belahan dunia dengan pesawat jet udara menempuh ratusan bahkan ribuan kilometer hanya dalam waktu singkat. Hari ini ada di wilayah Asia, besok telah ada di Eropa atau wilayah Amerika. Penerbangan telah meningkatkan mobilitas masyarakat secara luar biasa dan menghubungkan orang dari berbagai negara secara langsung, face to face.
Pada aspek ekonomi, hubungan ekonomi internasional yang yang makin intensif mulai lama, terutama sejak penjelajahan negara-negara Eropa abad ke 15, 16 dan ke 17 dan menyusul masa revolusi industri abad ke-18 dan 19.  Hubungan ekonomi internasional dalam dua puluh tahun terakhir ini telah mengalami intesifikasi yang luar biasa yang tampaknya menggambarkan proses integrasi internasonal yang makin kuat. Volume perdagangan terus meningkat dengan peserta perdagangan internasional yang makin beragam pula. Lembaga keuangan internasional juga menjangkau berbagai belahan dunia dan saling terhubung. Setiap hari diperkirakan tidak kurang dari satu triliun dolar AS keluar masuk dalam sistem dan institusi keuangan dunia melalui perdagangan valuta asing dan pasar bursa serta pasar komoditi. Banyak negara tidak lagi membatasi atau menutup  diri dengan perdagangan barang dan keuangan (investasi) internasional.[3] 
Dalam perspektif politik internasional, dengan kuatnya saling hubungan baik positip (kerjasama) maupun negatif ( konflik) antar masyarakat (people to people), bisnis ke bisnis (B to B), pemerintah (governement) ke pemerintah lainya (G to G), serta berbagai kombinasi dari element-element tersebut, rentang kendali kekuasaan negara dan kekuatan kedaulatan menjadi relatif.  Jadi globalisasi juga merujuk pada menguatnya tekanan pengaruh suatu negara terhadap negara atau entitas politik  internasional dalam pentas politik global.
Aspek politik dunia juga mengalami babak baru setelah perang dingin Blok Barat (AS) dan Blok Timur (US) usai atau  berakhir, sejak runtuhnya Tembok Berlin 1989. Hubungan internasional pasca perang dingin diwarnai oleh menonjolnya perhatian terhadap  masalah-masalah demokrasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Masalah demokratisasi dan HAM diberbagai negara yang selama perang dingin relatif diabaikan, mendadak menjadi perhatian di banyak negara. Sedang pada sisi internal negara-negara, muncul fenomena menguatnya aspirasi politik dan ekonomi lokal yang berbeda-beda (dalam suatu negara) dapat mengancam timbulnya konflik internal. Konflik dapat juga mengundang intervensi asing / pihak luar karena alasan-alasan kemanusiaan atau masalah keamanan suatu wilayah atau suatu regional tertentu.
Indonesia sebagai contoh negara berkembang yang berada pada arus globalisasi, tidak lepas dari fenomena di atas, bahkan di dalam negeri Indonesia juga memiliki banyak kelemahan dikaitkan dengan arus globalisasi tersebut. Indonesia pernah  menghadapi masalah krisis ekonomi yang berat dan munculnya keinginan berbagai daerah/ kelompok masyarakat untuk memisahkan diri dari negara di Indonesia. Demikian pula sejak tahun 2008 hingga saat ini, Indonesia sebagaimana dialami oleh banyak negara berkembang juga terus-menerus dalam bayang-bayang krisis internasional akibat kegagalan pengelolaan hutang atau kseimbangan anggaran di Eropa, dan AS. Banyak negara berkembang masih harus senantiasa waspada kemungkinan terseret arus krisis ekonomi politik internasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan:Bagaimana upaya negara melakukan penyesuaian (adjustment) dalam dinamika internasional ditengah arus globalisasi?

2. Kerangka Teoritik : Strategi Penyesuaian
           
Dalam pendekatan model “state centric” yang berfokus pada negara sebagai aktor utama hubungan internasional, kebijakan dan perilaku negara dianggap rasional sebagaimana individu. Dalam hal ini perilaku negara diidentikkan dengan perilaku individu yang mempertimbangkan secara rasional pilihan-pilihan kebijakan dan untung atau ruginya suatu kebijakan tersebut. Negara umumnya direpresentasikan oleh pimpinan pemerintahan dan pejabat pemerintah dan negara yang dalam kapasitasnya dapat mewakili atau bertindak atas nama negara.[4]
            Dalam kehidupan bernegara, terutama dalam politik, keamanan dan ekonomi, senantiasa ada dinamika yang terus berkembang baik dalam interaksi internasional dan dalam mengelola politik ekonomi domestik atau dalam negerinya. Adanya tekanan internasional dan domestik baik dalam bidang ekonomi dan politik atau adanya keterkaitan yang intensif antara kepentingan-kepentingan internasional dan domestik (ekonomi dan politik) mendorong adanya strategi penyesuaian/respon yang dinamis dalam politik domestik dan internasional suatu negara. Hal ini menarik karena strategi penyesuaian memiliki orientasi berbeda-beda sejalan dengan pilihan kebijakan negara dan tantangan (constraints) lingkungannya.
            Pada umumnya faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan kebijakan negara sering sangat kompleks mencakup banyak aspek, aktor politik, aspirasi politik internasional dan pemikiran yang berbeda-beda.  Sehingga kajian dinamika kebijakan negara relatif tidak mudah. Namun pada dasarnya setiap negara menetapkan tujuan yang hendak dicapai dan mengorganisir usaha-usaha mencapai tujuan tersebut sebagai bagian penting atau pokok dari kepentingan nasional. K.J. Holsti menyebut sekurangnya ada 4 (empat) aspek  sebagai kepentingan dasar suatu negara yaitu: 1.  security (keamanan),  2. Otonomi  /  kemerdekaan, 3. kesejahteraan rakyat, 4. status dan prestige internasional.[5]
Salah satu usaha menyederhanakan analisa pilihan strategi kebijakan suatu negara secara teoritis diajukan oleh pakar Ilmu Hubungan Internasional Amerika Serikat, yang banyak menulis tentang organisasi internasional dan politik internasional yaitu Prof. G. John Ikenberry. Dalam salah satu artikelnya berjudul  “The State and Strategies of Adjusment, ia  mengajukan pembutan model, berbagai tipe penyesuaian suatu negara dalam lingkup internasional dan dalam negeri untuk mencapai tujuan nasional. Dengan menghubungkan antara lokasi penyesuaian (adjustment) yang dibedakan antara aspek domestik dan internasional dan tujuan atau sasaran penyesuaian perubahan di tingkat internasional atau dalam negeri, G. John Ikenberry menjelaskan 4 tipe penyesuaian yaitu :

1.Offensive international adjustment (strategi  ofensif/agresif penyesuaian internasional)
2.Defensive international adjustment (strategi defensif  penyesuaian internasional )
3.Offensive domestic adjustment (strategi ofensif penyesuaian dalam negeri)
4.Defensive domestic adjustment[6] (strategi defensif penyesuaian dalam negeri).

            Pilihan startegi pertama diatas adalah ofensif terhadap rezim internasional. Strategi dalam penyesuaian terhadap rezim (cara pengaturan) internasional yang bertujuan untuk menghindari kesulitan penyesuaian di dalam negeri adalah dengan menciptakan tata internasional baru yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi politik dalam negeri (offensive international adjustment). Jadi strategi ini membutuhkan energi besar untuk mempengaruhi dunia atau forum internasional dan juga mempengaruhi negara-negara lain agar pengaturan, kesepakatan atau agreement di tingkat internasional sesuai dengan kepentingan domestik atau dalam negeri suatu negara.
            Sebaliknya pilihan kedua adalah cenderung defensif terhadap rezim atau keadaan yang ada. Hal ini dapat terjadi bila suatu negara mengambil kebijakan internasional yang cenderung mengikuti arus pengaruh internasional yang ada.Atau negara sudah mendapatkan keuntungan dari keadaan internasional yang ada.  Negara hanya sekedar menyepakati aturan-aturan main internasional yang ada. Hal ini jelas berkebalikan dengan strategi pertama dimana suatu negara secara aktif memainkan pengaruhnya agar aturan internasional atau kesepakatan internasional sesuai dengan kepentingan dan kondisi suatu negara. Dengan kata lain pilihan kebijakan negara tersebut adalah pro status quo, pro keadaan yang ada atau telah ada, oleh karena itu disebut sebagai strategi defensif. Meskipun demikian usaha kebijakan strategi mempertahankan rezim internasional yang ada (defensive   international adjustment) ini dapat pula memerlukan diplomasi  yang kuat seperti halnya dalam strategi ofensif diatas.
            Sedangkan pilihan ketiga adalah, ofensif domestik. Pilihan ini mengedepankan kebijakan penyesuaian domestik secara ofensif. Oleh karena itu kebijakannya adalah memperbarui aturan-aturan domestik yang ada, menyesuaikan dengan rezim internasional secara agresif. Bahkan bila perlu melakukan perubahan-perubahan struktural ekonomi politik menyesuaikan arus global. Maka kebijakan ini disebut sebagai kebijakan ofensif penyesuaian dalam negeri. Pemerintah bahkan dapat memainkan peran interventif yang kuat untuk mendorong berbagai perubahan lembaga politik dan ekonomi dalam negeri sesuai dengan arus internasional atau global.
            Berbeda dengan pilihan kebijakan ketiga diatas, kebijakan strategi keempat, negara berupaya sekuat mungkin melindungi struktur ekonomi politik dalam negeri. Secara defensif negara memilih kepentingan-kepentingan dalam negeri sebagai prioritas kebijakan. Oleh karena itu kebijakan ini cenderung pro status quo dalam negeri, kebijakan defensif. Kebijakan defensif cenderung protektif dan berusaha menghindari perubahan secara menyeluruh. Contoh dalam bidang ekonomi misalnya dengan pengenaan tarif tinggi, kuota ataupun subsidi produk-produk yang tidak kompetitif di pasar internasional.
            Dari uraian diatas secara diagramatik pilihakan strategi penyesuaian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:










INTERNATIONAL
DOMESTIC
OFFENSIVE
Create  new international
Regime
Change  domestic
structure
DEFENSIVE
Maintain or protect
international
regime
Protect  domestic
structure

            Berangkat dari model penyesuaian diatas dan dihubungkan dengan kepentingan nasional,  maka akan dapat pilihan-pilihan strategis kebijkan negara dalam politik internasional dan politik dalam negeri. Pilihan strategis ini mendasarkan pada asumsi rasional negara, dimana aktor negara benar-benar mempertimbangkan pilihan berdasarkan keuntungan dan kerugian serta resikonya. Dengan pertimbangan rasional strategis demikian, pilihan prioritas negara dapat digambarkan berikut: Pertama, negara berusaha meminimalkan resiko biaya / kerugian pemerintah dan berusaha memaksimalkan kemampuan kompetitif sektor ekonomi dan politik. Jika harus memilih makan pilihannya pada pemerintah mengambil pilihan resiko minimal, bukan memaksimalkan kemungkinan keuntungan kompetitifnya. Kedua, kebijakan pada arena internasional memiliki resiko pemerintah (politik) yang lebih rendah daripada kebijakan dalam negeri. Ketiga, kebijakan ofensif mempunyai tingkat keuntungan kompetitif lebih tinggi dibanding kebijakan defensif.[7]

2.      Implikasi Globalisasi & Strategi Penyesuaian
            Sebagaimana dijelaskan secara singkat diatas, pengertian globalisasi sangat beragam, ahli-ahli memberikan pengertian yang berbeda-beda sesuai sudut pandang atau fokus studinya. Dengan membedakan sisi umum dan spesifikasi, globalisasi dapat dibedakan dalam pengertian umum yang menyangkut semua aspek kehidupan atau aspek khusus, yaitu hanya segi ekonomi. Globalisasi sebagai suatu visi adanya dunia tanpa batas ( borderless world ) dan perkambungan dunia / global village. Globalisasi demikian menunjukan melemahnya dimensi teritorial dan kedaulatan nasional. Pada sisi ekonomi, globalisasi menunjukkan pula kecenderungan meningkatnya penetrasi pasar, liberalisasi dan dominasi ekonomi internasional atas ekonomi nasional. Hal ini juga membawa dampak melunturnya atau melarutnya nilai kebangsaaan/nasionalisme terutama yang terkait ekonomi. Hal ini secara seloroh sering disebutkan bahwa rupiah atau dolar (uang) tidak mengenal nasionalisme.
Globalisasi lebih dari sekedar internasionalisasi sebagaimana pada masa kolonialisme abad ke 15 hingga awal abad ke 20, yang lebih menekankan pada aspek perdagangan dan eksploitasi sumber daya alam atau sumber bahan mentah. Globalisasi lebih kompleks dan menyangkut berbagai fenomena kehidupan individu, lembaga sosial,  lembaga bisnis dan negara. Oleh karena itu ada banyak aspek dan pengertian globalisasi. Paul Viotti dan Mark Kauppi menyebut bahwa globalisasi mencakup proses peningkatan hubungan sosial kultural dan ekonomi secara berkelanjutan  (globalization refers to the  of continual increase in transnational and worldwide economic, social, and cultural interactions that transcend the boundaries of states, aided by advances in technology).[8]
Dalam pengertian lebih longgar  sosiolog Antony Giddens menyebut globalisasi  sebagai konsekuensi modernisasi. Sedangkan ahli  lain misalnya, Roland Robertson dalam bukunyaGlobalization, menyebutkan bahwa globalisasi sebagai suatu konsep  merujuk pada dua aspek yaitu kompresi atau penyempitan  (relatif) dunia dan intensifikasi kesadaran akan dunia sebagai satu keseluruhan atau kesatuan. Menurut Thomas Freidman, Globalisasi juga diartikan sebagai tumbuhnya jaringan internasional seperti world wide web, dunia yang terintegrasi, dan hal ini berbeda dengan masa perang dingin yang justru membuat negara-negara dunia terkotak-kotak atau terbagi-bagi. [9] 
Secara teoritis Profesor Budi Winarno, mengkategorikan kelompok penganut pandangan globalisasi ke dalam tiga kelompok kategori, yaitu: hiperglobalis, kelompok skeptis dan transformasionalis. Kelompok  pertama hiperglobalis ini memandang bahwa globalisasi sebagai fenomena sejarah baru kehidupan manusia,   dimana “negara tradisional” telah menjadi tidak relevan, dan terlebih tidak dapat menjadi unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global. Pandangan ini menekankan gejala ekonomi global yang mendorong denasionalisasi, sistem network produksi dan distribusi secara global/internasional dengan dukungan perdagangan dan keuangan global. Dalam sistem economics borderless demikian, negara lebih sebagai semacamtransmission belt bagi kapital global dan sekedar institusi perantara antara kekuatan global dan regional dengan kekuatan lokal dan nasional yang sedang tumbuh. Pada akhirnya perkembangan ekonomi akan membawa proses ekonomi global dengan lembaga-lembaga “governance” global serta penyebaran budaya pop sebagai fakta dan tatanan Baru.
Kelompok kedua sebagai kelompok skeptis, melihat bahwa globalisasi bukanlah produk baru tetapi punya akar sejarah panjang. Pendukung kelompok ini sangat tidak setuju dengan pernyataan hiperglobalis tentang negara. Menurut kelompok skeptis negara masih memiliki kekuatan untuk mengatur ekonomi internasional. Negara nasional masih merupakan kekuatan penting untuk mengatur ekonomi global dan yang mampu menjamin proses liberalisasi ekonomi terus berlanjut. Pembangunandan pertumbuhan  ekonomi justru lebih memarginalkan negaranegara berkembang karena perdagangan dan investasi cenderung hanya mengalir diantara negara-negara maju dan kaya.
Kelompok ketiga, sebagai transformasionalis yang inti pandangannya melihat bahwa globalisasi merupakan kekuatan utama di balik perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik yang menentukan perkembangan masyarakat modern dan tatanan dunia (world order). Perkembangan globalisasi sekarang ini tidak pernah ada sebelumnya, dimana tidak lagi jelas pembedaan antara domestik dan internasional.
Kelompok transformasionalis meyakini bahwa peran negara masih penting, bukan menghilang atau tidak diperlukan, negara masih tetap relevan dan  sejalan pula dengan meningkatnya peran organisasi-organisasi bisnis multi nasional/transnasional. Kekuasaan negara dalam era globalisasi ini bukan hanya satu-satunya kekuatan pemegang keuasaan dan keputusan tunggal, tetapi juga ada aktor-aktor lain yang berpengaruh seperti MNC/TNC. Negara tidak bisa hanya membuat klaim normatif pemegang kedaulatan, tetapi harus mengaktualkannya dalam dinamika politik global yang makin beragam termasuk aktornya yang makin banyak, tidak terbatas hannya aktor negara. Negara tidak hanya normatif, tetapi harus aktual memainkan pengaruhnya secara internal maupun global/internasional[10]
            David Held, (Democracy and Global System, 1991) menyebutkan bahwa globalisasi memiliki dua aspek sekaligus. Pertama, globalisasi adalah aktifitas ekonomi, politik dan sosial yang jangkauannya mencakup secara global (seluruh dunia dunia). Kedua, globalisasi merujuk adanya intensifikasi tingkat-tingkat interaksi dan saling keterkaitan (interconnectedness) antara negara dan masyarakat sehingga terbentuk komunitas internasional. Hal ini dimungkinkan oleh perkembangan yang luar biasa dari teknologi komunikasi dan informasi, yang diikuti pula perubahan dalam pola hubungan dagang, hukum, organisasi, dan dalam hubungan antara manusia dan masyarakat dari berbagai tempat yang berbeda. Kelompok transformasionalis melihat negara tidak lagi bisa berlindung dibalik klaim kedaulatan negara dan menjadi satu-satunya aktor penting dalam pengambilan keputsan, tetapi negara sejajar dengan aktor lain khususnya lembaga-lembaga “governance” internasional.
            Sejalan dengan pemikiran pemikiran diatas, salah satu dampak yang signifikan dari globalisasi ini terutama adanya penurunan atau krisis otonomi negara (kedaulatan) nasional. Akibatnya memaksa negara-negara untuk bekerja sama lebih erat agar dapat mengatasi masalah-masalah baru yang muncul dari suatu negara atau yang muncul di banyak negara yang tidak dapat diatasi sendiri oleh satu negara.  


Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut [11] :

Growth of global interconnectedness
in a number of key dimensions :
economics, politics, technology,
communications and law


 


Growing permeability of borders

Diminution of state’s capacity to generate
policy instruments able to control the
flow of goods and services, ideas
and cultural products, etc.
 

Growth in requirement of states to
co-operate with each other to
control policy outcomes

Growth in international agencies and
institutions, e . g . mechanisms to
sustain the balance of power,
expansion of regimes, development
of international organizations, multilateral diplomacy,
scope of  international law and co-operation with
non-state actors and processes

Creation of a system of global
governance which, as one of its
outcomes, sustains and redefines
the power of state

Interdependent global system created, wich
none the less remains highly fragile-
vulnerable to shifts in resources,
ideologies and technologies.
            Dalam bidang ekonomi, bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia, globalisasi dirasakan sebagai adanya “tekanan” untuk meliberalisasikan struktur ekonomi dalam negeri. Hal ini merupakan dorongan untuk menyesuaikan struktur ke dalam negeri agar sesuai dengan arus global / internasional. Tekanan liberalisasi ini secara umum bekerja melalui dua “mekanisme berbeda”, yaitu: mekanisme interdependensi perdagangan barang, jasa dan investasi, dan melalui mekanisme penyehatan negara-negara yang mengalami krisis ekonomi ataupun moneter.[12]
            Pertama adalah melalui implikasi peningkatan perdagangan dan interdepensensi finansial (kuangan) terhadap pilihan kebijakan ekonomi  yang relevan. Meningkatnya interdepedensi ini berarti meningkatnya bobot aktor-aktor ekonomi domestik yang mempunyai kaitan dengan aktor luar/internasional. Hal ini mendorong adanya peningkatan tekanan untuk keterbukaan pasar keuangan agar sesuai dengan keinginan internasional dan juga pemodal dalam negeri. Karena hal ini akan memaksimalkan keuntungan ekonomis pada aktor yang terlibat. Oleh karena itu sangat mudah dipahami apabila industri-industri keuangan (financial firms) dari negara-negara industri sangat aktif melakukan lobi-lobi untuk membuka pasar uang negara berkembang. Industri finansial internasional juga mempengaruhi pemerintahannya / negara-negara maju untuk tetap melakukan tekanan-tekanan secara bilateral maupun multilateral agar pasar financial internasional khususnya di negara-negara berkembang dapat lebih terbuka aksesnya.
            Hal ini misalnya, tercermin dalam berbagai argumentasi AS dan negara-negara industri lainnya dalam proses perundingan Putaran Uruguay sejak tahun 1986 dan berlanjut terus hingga dalam organisasi perdagangan dunia / WTO, antara lain :
1.    Perdagangan bebas tradisional yaitu perdagangan barang seperti yang telah banyak diatur  dalam GATT hingga saat ini tidak lagi mencukupi, sektor jasa saat ini dipandang juga sangat penting. Oleh karena itu cakupan liberalisasi juga harus sampai ke sektor jasa.
2.    Dalam upaya memfasilitasi pertukaran dan arus jasa ini, maka proteksi-proteksi yang ada hanya menimbulkan inefisiensi dan ketidakmakmuran secara menyeluruh. Oleh karena itu usaha-usaha jasa yang memfasilitasi perdagangan, investasi dan pasar uang mestinya bisa dibuka tanpa diskriminasi untuk kemakmuran bersama. Pada gilirannya hal ini perlu diadakan harmonisasi dan koordinasi kebijakan makro ekonomi dan finansial antara negara dapat dihilangkan distorsi pasar.
3.    Adaya kemungkinan penggunaan cross retaliation (pembalasan silang) dalam perselisihan perdagangan. Misal suatu negara yang melanggar regulasi internasional bidang bea masuk otomotif, barang-barang ekspornya dapat dikenai pembalasan melalui tarif tinggi tidak hanya barang-barang otomotif tetapi bisa barang lainnya, sehingga akan menghambat perdagangannya. Apabila hal ini dipaksakan, dikhawatirkan bahwa Dispute Setlement Body  (DSB) yang menentukan hukuman akibat pelanggaran perdagangan dan memiliki kekuasaan besar,  cenderung dikontrol oleh negara-negara maju.[13]
Disamping itu dengan kompleksitas dan membesarnya perdagangan dan investasi membuat kontrol  terhadap aliran/gerak pasar yang sangat sulit. Kenyataan lain membuktikan pula bahwa integrasi ekonomi tidak hanya merubah proses distribusi  barang dan jasa, tetapi lebih jauh lagi berakibat pada mencairnya makna batas-batas negara dalam ekonomi internasional.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keterkaitan perdagangan internasional dan investasi, serta kesempatan membuka pasar jasa internasional yang timbul akibat meningkatnya pasar finansial internasional memberi tekanan agar timbul liberalisasi dan internasionalisasi pasar finansial  dan pasar barang domestik serta melemahkan kontrol negara atas kehidupan ekonomi dan finansial nasional
Kedua, tekanan internasional untuk liberalisasi finansial/jasa ini  melalui saluran mekanisme penyehatan negara menghadapi krisis ekonomi/neraca pembayaran suatu negara. Negara terancam krisis biasanya akan melakukan kebijakan untuk memperketat kontrol atas pergerakan kapital/modal. Untuk membatasi pelarian modal dan meminimalkan dampak defisit neraca pembayaran dalam jangka pendek. Akan tetapi kenyataan dalam dua dekade belakangan  ini, setelah banyak menyesuaikan diri dengan model pasar terbuka IMF, justru negara- negara yang ikut program IMF menunjukan cenderung rentan terhadap krisis baru. Dan munculnya krisis baru makin mendorong keterlibatan lebih jauh IMF maupun  Bank Dunia. Ada gejala bahwa krisis ekonomi , misalnya neraca pembayaran justru mendorong keterbukaan terhadap peran finansial internasional atau makin terjadi  internasionalisasi pasar finansial.
Upaya ini dilakukan dengan koordinasi IMF yang biasanya disertai dengan program penyehatan suatu ekonomi nasional yang berporoskan liberalisasi lebih lanjut pengelolaan ekonomi dan finansial negara yang bersangkutan. Selama tahun 1985-1990, misalnya IMF melaporkan adanya krisis keuangan negara-negara liberalisasinya makin meningkat, dan disertai pula meningkat jumlah negara yang melakukan liberalisasi dari 22 negara menjadi 62 negara. Upaya liberalisasi ini umumnya dalam kerangka memulihkan kepercayaan investor dan mengembalikan modal yang telah ditanam suatu negara dan berupaya menarik kembali modal suau negara yang dibawa keluar untuk stabilisasi krisis ekonomi.
 Dengan melihat proses di atas dapat dibayangkan bahwa hal ini membawa implikasi yang luas dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional. Secara tidak langsung liberalisasi tampaknya, tidak sekedar adanya keyakinan bahwa perekonomian akan lebih baik jika diliberalkan, terlepas konteks kesiapan sarana, prasarana dan sumber daya manusianya. Tetapi liberalisasi lebih merupakan hasil (respon) tekanan internasional secara sistematik terhadap ekonomi suatu negara.[14]
Pada waktu lalu ketika saat-saat krisis ekonomi dan keuangan di negara-negara berkembang mulai Asia Timur, Amerika Latin dan negara-negara Eropa Timur khususnya negara pecahan Uni Soviet, negara-negara maju bertindak menjadi “penolong”.  Negara-negara maju melalui organisasi-organisasi internasional  berusaha melakukan semua tindakan yang perlu untuk memperbaiki krisis tersebut, namun kadang yang terjadi justru menbawa pada keadaan yang lebih sulit. Banyak kasus program-program IMF secara jelas memperburuk keadaan negara-negara Asia Timur, dan program “shock therapy” yang  didesakkan IMF memainkan peran penting kegagalan transisi Eropa Timur, khususnya negara-negara pecahan Uni Soviet dan banyak negara lain di Asia.[15]
Program liberalisasi yang digerakkan IMF dan bank Dunia mencakup  tiga pilar program pokok yaitu: Liberalisasi perdagagangan dan keuangan, deregulasi dan privatisasi. Tiga pilar kebijakan didorong agar pemerintahan dapat lebih efisien dan alokasi sumber ekonomi menjadi lebih tepat sasaran dengan pasar (market) sebagai pengerak utamanya. Melalui kebijakan ini pemerintah didorong untuk tidak melakukan bisnis atau melepaskan bisnisnya (privatisasi) karena tidak kompeten, tidak efisien dan menjadi sumber masalah  anggaran. Dalam kerangka kebijakan efisiensi anggaran juga pemerintah negara-negara peserta program hutang bank Dunia dan IMF ditekan untuk secara bertahap menghilangkan subsidi yang dianggap cenderung misalokasi sumber daya dan hal ini berarti pemborosan. Sedangkan pada sektor perdagangan dan keuangan, kebijakan didorong untuk meminimalkan campur tangan pemerintah dalam perdagangan dan jasa keuangan, dan restorasi pasar dengan menghilangkan berbagai sistem proteksi industri baik dengan tarif maupun non tarif. Termasuk dalam aspek ini dalah devaluasi mata uang dan meciptakan sistem kurs mengambang (floating) bergantung dinamika pasar. Hal ini sejalan dengan kebijakan deregulasi untuk memudahkan segala usaha dan kompetisi usaha di masyarakat baik pada level nasional maupun internasional. Deregulasi juga ditujukan untuk menjaga kemudahan-kemudahan usaha dan pertumbuhan ekonomi. Namun seringkali kemudahan menjadi penyelewengan termasuk penggunaan dana-dana bank secara tidak bertanggungjawab dan berakhir dengan mismanajemen dan kebangkrutan.[16]
Jika kita melihat kasus krisis di Indonesia, saat ini tampak bahwa sesungguhnya krisis dan liberalisasi tidaklah mendadak. Jika kita pelajari dinamika pressure (tekanan) itu dan responnya dalam bentuk usaha liberalisasi pengaturan ekonomi terus berlangsung. Sesungguhnya proses ini telah timbul sejak tahun 1970-an pada waktu krisis harga minyak dan memuncak pada tahun 1980-an  ketika kembali terjadi permasalahan harga minyak. Oleh karena itu sejak tahun 1980-an sudah terjadi deregulasi ekonomi untuk menyesuaikan pasar global.[17]
Namun deregulasi tersebut tidak tuntas atau bahkan masih tetap terdistorsi oleh karena adanya pola korupsi, dan kolusi yang sudah sangat kuat. Hal ini masih berlanjut hingga runtuhnya  rezim Orde Baru, bahkan sampai tingkat tertentu hingga saat ini. Sesungguhnya pembiayaan pembangunan atau perdagangan selama ini juga dilaksanakan dalam kondisi defisit anggaran. Dengan demikian, akumulasi kesulitan terus berlanjut dalam jumlah yang sangat besar. Misal utang luar negeri Indonesia sudah hampir setara dengan produk nasional kotor/buto pada waktu sekitar masa krisis 1997/1998.  Krisis moneter yang berlanjut pada krisis ekonomi di Indonesia telah membawa arah liberalisasi ekonomi lebih lanjut. Pemerintah Indonesia telah menandatangani kesepakatan pembaruan ekonomi untuk mengatasi krisis yang bertumpu pada kebijakan liberalisasi. IMF menyediakan “standby loan” sebesar 23 milyar Dollar AS, sehingga keseluruhan 43 milyar Dollar AS.
          Terdapat harapan bila Indonesia dapat secara konsisten melakukan restrukturisasi dan program penyehatan secara konsisten maka diharapkan ekonomi dapat pulih dan pada saat bersamaan memiliki struktur ekonomi yang integral dengan ekonomi internasional. Namun melihat pengalaman-pengalaman negara-negara yang dibantu IMF, seperti Bolivia, Argentina, Mexico dan negara-negara eks Uni Soviet termasuk Eropa Timur, menunjukkan bahwa, pemulihan membutuhkan waktu yang panjang. Bakan hingga kini Mexico pun belum pulih benar dari dampak krisis tahun 1984/85 -1995.
Bahkan lebih sisnis lagi, dikatakan Indonesia sudah tidak memiliki kedaulatan ekonomi. Semua strategi penyehatan (baca : penyesuaian) kembali ekonomi nasional bertumpu pada agenda-agenda yang disepakati bersama Indonesian dan IMF. Dan lebih jauh lagi terdapat kekhawatiran akan membawa ke dalam jebakan utang  (debt trap) kapitalisme yang tak akan pernah berakhir dalam proses pembangunan atau eksistensi negara.
Sedang dalam bidang politik juga terjadi penyesuaian domestik terhadap tekan globalisasi, khususnya dalam intergrasi nasional. James J. Coleman dan Carl G. Rosburg, sebagaimana dikutip Nazaruddin Sjamsudin menyebutkan bahwa intergrasi nasional mencakup integrasi vertikal (elite-massa) dan horisontal (teritorial). Integrasi vertikal merupakan upaya menjembatani elite dengan mana dalam rangka pengembangan proses politik yang padu dan positif. Sedangkan integrasi horisontal bertujuan untuk mengurangi diskontinyuitas dan ketegangan kultur kedaerahan dalam rangka proses penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen.[18]
Dalam upaya integrasi ini Indonesia memiliki kemajemukan masyarakat yang luar biasa.Masing-masing sub kultur daerah dan budaya, seperti agama, tidak memiliki pola afiliasi saling silang (cross cutting affliates) yang tinggi. Oleh karena itu potensi konflik bisa sangat tingi, karena tidak ada aspek integratif yang menghubungkan antar pihak dalam masyarakat.[19]
Disamping itu suasana antar golongan masyarakat dan antar daerah memiliki kesenjangan ekonomi yang masih relatif tinggi. Selama ini seolah-olah terdapat polarisasi ekonomi antara Jawa – Luar Jawa, Indonesia Barat – Indonesia Timur, dan antara kota dan pedesaan. Polarisasi ekonomi juga tercermin pada level individual antara kaya dan mskin yang memiliki jarak yang jauh. Selama ini terdapat pandangan umum bahwa sebagian besar pembangunan sebenarnya lebih dinikmati oleh sebagain kecil ( sekitar 20%) penduduk Indonesia yang berpenghasilan tinggi.
Pada masa lalu, integrasi nasional ditempuh dengan cara yang otoritarian. Selama rezim Orde Baru/Suharto menindas berbagai wacana kritis, upaya demokratisasi dan pemberdayaan kekuatan rakyat. Demikian pula  aspirasi daerah penghasil sumber daya alam untuk mendapatkan bagian lebih besar hasil kekayaan tersebut dan percepatan pembangunan yang lebih adil senantiasa ditutup-tutupi. Bahkan untuk daerah-daerah rawan keamanan daerah cenderung ditekan, bahkan ditindas dengan pendekatan militer keamanan . Hal ini sering dikhawatirkan dapat menjadi “bom waktu” perpecahan yang sangat bahaya. [20]Walaupun demikian untuk kasus Indonesia, desintegrasi dalam bentuk pecahnya negara memang, relatif masih belum aktual, namun secara sosial masyarakat terasa terpecah atau kurang menyatu.
Pada masa lalu strategi otoritarian, represif dapat mempertahankan integrasi nasional dan status quo, namun saat ini dengan adanya era globalisasi yang sangat terbuka, dan disertai tuntutan demokrasi dan penegakan hak-hak asazi manusia tindakan represif tidak lagi dapat diterima. Bahkan upaya integrtif yang represif dapat kontra produktif dalam usaha mengintegrasikan bangsa secara keseluruhan. Dalam perspektif inilah, dewasa ini upaya reprsif pemerintah di Papua, misalnya sangat disayangkan dan ditolak masyarakat. Upaya represif dapat makin menmbulkan perpecahan masyarakat, bahkan dapat pula mengundang upaya intervensi pihak luar atau asing.
Untuk itu upaya integrasi tampaknya lebih tepat dengan mengedepankan atau menekankan usaha dialogis dan demokratis. Dengan demikian penyesuaian politik dalam negeri berarti melakukan perubahan-perubahan struktur politik yang lebih mampu mengakomodasi aspirasi demokratis. Kasus Aceh sebelum 2005, dan Papua hinga saat ini, menunjukkan hal ini. Bila pemerintah melakukan operasi besar di Papua,  sangat rentan timbul pelanggaran-pelanggaran HAM, yang dapat mengundang perlawanan lokal lebih intensif atau intervensi atau tekanan dari luar. Saat ini sudah banyak LSM internasional pemerhati Papua, kaukus anggota parlemen di kawasan negara-negara Pasifik (solodarits Melanesia), juga ada beberapa anggota parlemen Inggris dan AS yang getol mengkritisi masalah Papua. Sedangkan pada sisi diplomatik sebagai ujung tombak untuk penyesuaian ofensif internasional tampaknya kurang dilakukan. Dalam aspek penyesuaian internasional, Indonesia tampaknya relatif hanya sibuk di sekitar ASEAN yang sebenarnya tidak terlalu memiliki dampak pada masalah Papua.
Pemikiran tersebut terkait pula dengan kecenderungan baru globalisasi keamanan, yang tidak hanya menyangkut militer, tetapi juga keamanan individu yang sama-sama mendapat perhatian internasional. Dalam masalah politik dan keamanan, globalisasi juga telah memberikan peluang munculnya atau menguatnya kecenderungan intervensionisme dengan alasan utuk keperluan kemanusiaan atau humanitarian intervention dan keamanan sipil suatu wilayah. Juridiksi domestik suatu negara atau kedaulatan dapat menjadi relatif atau tidak dihormati bila terjadi pelanggaran HAM yang kasar atau luar biasa (gross violation) seperti terjadi di Kosovo, Bosnia (konflik Balkan) dan Rwanda. Intervensi kekuatan internasional baik dengan senjata (force) maupun dengan misi minimal untuk mendukung perdamaian ( Peace Keeping Operation / PKO ) telah mulai lazim dilaksanakan. Kencenderungan ini mendapatkan pembenaran melalui sikap Sekjen PBB yang cenderung menerima humanitarian intervention (pidato Kofi Annan dalam sidang umum PBB 1999). Dengan melihat kemungkinan besarnya intervensi asing bila banyak terjadi pelanggaran HAM, maka respon yang relatif aman cenderung menyesuaikan penanganan dalam negeri sejalan dengan arus global yang secara terbuka mengedepankan HAM, lingkungan dan demokrasi.
            Dengan kuatnya tekanan dan pengaruh globalisasi termasuk di dalamnya arus liberalisasi, umumnya mendorong negara untuk menyesuaikan keadaan domestiknya. Upaya respon negara-negara berkembang termasuk Indonesia,  kadang sangat agresif atau ofensif. Pilihan respon ke arah ofensif ke dalam negeri juga didorong oleh karena perubahan ke dalam relatif lebih mudah, walaupun kadang kala juga memerlukan biaya besar baik politik, sosial dan ekonomi. Namun hal  ini masih dipandang realistis, dibanding upaya merubah sistem dunia yang cakupannya sangat luas, sehingga banyak memerlukan energi diplomasi. Kebanyakan negara berkembang mengikuti alur reformasi sistem sosial ekonomi politik yang menjadi pedoman lembaga-lembaga internasional. Terlebih lagi bila negara tersebut terikat hutang baik kepadaBank Dunia untuk pembiayaan pembangunan maupun hutang kepada IMF untuk pembiayaan perdagangan luar negeri atau stabilisasi moneter atau bila menghadapi krisis hutang dan ekonomi secara umum.

Daftar Pustaka
Friedman, Thomas L.  Memahami Globalisasi: Lexus dan Pohon Zaitun, Bandung: Penerbit ITB, 2000
Held, David (ed.), Political Theory Today”, California: Stanford University Press, 1991.
Holsti, K.J. International Politics: A Framework For Analysis (6th. ed.), New Jersey: Prentice Hall International, 1992.
Harris, Syamsudin , et.al., Indonesia Diambang Perpecahan, Jakarta: Erlangga, 1999.
Ikenberry,  G. John. “The State and Strategies of International Adjustment”, World Politics, Vol. XXXIX. No. 1, Oktober 1986,
Keohane, Robert. and  Helen V. Milner, Internationalization and Domestic Politics, New York: Cambridge University Press, 1996.
Khoor Kok Peng, Martin.  Imperialisme Ekonomi Baru: Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia  Ketiga, Jakarta: Gramedia, 1993.
Mas’oed, Mohtar. Studi Hubungan Internasional : Tingkat Analisis dan Teorisasi, Yogyakarta : PAU, UGM, 1989.
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1984.
Prawiro, Radius.  Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Jakarta: Gramedia, 1998.
Robertson, Roland. Globalization: Social Theory and Global Culture, London: SAGE Publications Ltd, 1992.
Sjamsudin, Nazarudin. “Dimensi-Dimensi Vertikal Dan Horisontal Dalam  Integrasi Politik”Jurnal Ilmu Politik, No. 8 tahun 2000.
Stiglitz, Joseph. Making Globalization Work, New York: Allen Lane (Penguin Group ), 2006.
Viotti, Paul R. dan Mark V Kauppi,  International Relations and World Politics: Security, Economy, Identity, (4th. ed), New Jersey: Pearson Education  International (Prentice Hall), 2009.
Winarno,Budi,  Globasasi & Krisis Demokrasi, Jogjakarta: Media Pressindo, 2007.
__________    , Melawan Gurita Neoliberalisme, Jakarta: Erlangga, 2010.



[1] Budi Winarno, Globaisasi & Krisis Demokrasi, Jogjakarta: Media Pressindo, 2007, hlm. 122 – 124.
[2]  Paul R Viotti dan Mark V Kauppi, International Relations and World Politics:Security,Economy,Identity, (4th. ed), New Jersey: Pearson Education International/Prentice Hall,  2009,  hlm. 7. 
[3] Ibid, hlm.5-7.
[4]  Lihat pula, Mohtar Mas’oed, Studi Hubungan Internasional : Tingkat Analisis dan Teorisasi, Yogyakarta : PAU, UGM, 1989, hlm. 85-91.
[5] Tokoh realis H.J  Morgenthau melihat hal ini lebih terbatas lagi  dan meletakkan kepentingan nasional (national interest) sebagai “power” atau kekuasaan, sedangkan Holsti melihat lebih terperinci mencakup keamanan, otonomi, kesejahteraan dan prestige negara,  lihat  K.J. Holsti, International Politics: A Framework For Analysis (6th. ed.), New Jersey: Prentice Hall International, 1992, hlm.  82-114.
[6] G. John Ikenberry, “The State and Strategies of International Adjustment”, World Politics, Vol. XXXIX. No. 1, Oktober 1986, hlm. 57-60.
[7] G. John Ikenberry, Ibid. hlm. 118 – 119.

[9]  Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture, London: SAGE Publications Ltd, 1992, hlm. 8. Lihat pula penjelasan Thomas L. Friedman,  dalam bukunya, Thomas L. Friedman, Memahami Globalisasi: Lexus dan Pohon Zaitun,Bandung: Penerbit ITB, hlm. 12 -28. Lihat pula penjelasan tentang globalisasi dari Budi Winarno, Op.it, hlm . 1- 36.

[10]  Budi Winarno, Op.cit. hlm. 12-14.
[11] David Held, “Democracy: The Nation State And The Global System” dalam David Held (ed.), Political Theory Today”, California:Stanford University Press, 1991, hlm. 206-209.
[12]  Robert Keohane and  Helen V. Milner, Internationalization and Domestic Politics,New York:Cambridge University Press, 1996, hlm. 211.
[13] Martin Khoor Kok Peng, Imperialisme Ekonomi Baru: Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia  Ketiga, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 16-18.
[14] Untuk keterangan lebih jauh lihat dalam buku Robert Keohane and Helen Milner diatas.
[15] Joseph Stiglitz, Making Globalization Work, New York: Allen Lane (Penguin Group ), 2006, hlm. IX – X.
[16] Cf, Budi Winarno, Melawan Gurita neoliberalisme,  Jakarta: Erlangga, 2010, hlm. 47 – 66.
[17] Radius Prawiro, Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Jakarta: Gramedia, 1998, hlm. 297 – 465.
[18]  Nazarudin Sjamsudin, “Dimensi-Dimensi Vertikal Dan Horisontal Dalam  Integrasi Politik” Jurnal Ilmu Politik, No. 8 tahun 2000, hlm. 31-47.
[19] Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1984, hlm 27-50.
[20] Syamsudin Harris , et.al., Indonesia Diambang Perpecahan, Jakarta: Erlangga, 1999, hlm. 11 – 21.

STRATEGI PENYESUAIAN NEGARA DI TENGAH ARUS GLOBALISASI





Strategi Penyesuaian Negara Di Tengah Arus  Globalisasi
Oleh: Andaru Satnyoto,S.IP., MSi.

Abstract
Globalization has become the most challenging phenomena for the international system in this 21st century in terms of economics, social and politics and countries are forced to adjust to this changing situation. There  are several types of adjustment according to John G. Ikenberry: Offensive and defensive international adjustment as well as offensive and defensive domestic adjustment. Based on specific condition, rationally countries must doing their options and generally option on offensive and defensive domestic adjustment become a “reasonable” choice by considering that domestic adjustment is more realistic in term of cost and risk and since the strong wind of globalization is not easy to be countered internationally.

1.      Pengantar

Pasca Perang Dunia II aspirasi negara-negara terjajah sangat kuat untuk merdeka. Hal ini juga mendapat respon dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian membentuk kebijakan dan membantu proses dekolonisasi. Negara-negara merdeka bertambah banyak seperti terlihat dari pertumbuhan jumlah anggota PPB. Pada waktu pendirian 50 negara menjadi negara pendiri (original members), saat ini telah menjadi 192 negara atau meningkat hampir 4 kali lipat. Namun dewasa ini nilai perjuangan kemerdekaan itu seolah menjadi merosot. Dalam fenomena hubungan internasional suatu negara bisa jadi telah merdeka, namun tidak berdaulat. Ada yang mengkritisi bahwa kemerdekaan dan kedaulatan tidak lagi memiliki nilai tinggi seperti pada waktu awal kemerdekaan yang penuh heroisme, patriotisme dan semangat nasionalisme dan kemandirian yang tinggi.
Di tengah arus globalisasi dimana interdependensi sangat kuat, kemerdekaan lebih pada tataran formal, yaitu kita atau suatu komunitas memiliki negara dan pemerintahan sendiri. Namun pada level realitas, pada tataran kebijakan dan strategi pengelolaan negara,  pilihan-pilihannya kebijakan sering sangat sulit atau tidak bebas. Bahkan bagi negara-negara yang mengalami krisis pemerintahan, krisis hutang atau  krisis keamanan, ada kecenderungan pihak-pihak luar atau internasional yang mengelola, bahkan bisa sampai hal-hal teknis detil kebijakan. Misalnya saran kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi yang dikenal Structural Adjustment Policy (SAP ) dari IMF dan juga Bank Dunia, banyak diikuti berbagai negara berkembang, cenderung interventif. Meskipun kebijakan ini sering dikritik sebagai kebijakan gagal.[1]  
Kedaulatan ekonomi dan politik menjadi relatif sempit atau terbatas. Meningkatnya globalisasi antar aktor-aktor hubungan internasional, antar negara dan non negara juga membawa konsekuensi “krisis” otoritas negara. Otoritas pemerintahan yang semula sepenuhnya dapat mengelola kekuasaannya seperti yang umumnya berlaku pada masa lalu, namun kini kekuasannya menjadi relatif dan kebijakan dalam negeri pun patut memperhitungkan faktor internasional. Krisis suatu negara dapat diintervensi oleh organisasi internasional atau negara lain. Bahkan suatu pemerintah dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh individu atau perusahaan multinasional (MNC/TNC) .[2]
Fenomena globalisasi telah melanda seluruh dunia, bahkan sering digambarkan bahwa globalisasi telah menjangkau sampai pelososk-pelosok terpencil di berbagai belahan bumi. Perkembangan cepat dalam teknologi komunikasi dan informasi telah mengintensifkan hubungan antar masyarakat dan negara-negara di seluruh dunia. Berita suatu tempat di satu belahan dunia dapat beredar ke seluruh dunia dalam waktu singkat melalui jaringan TV CNN, BBC, Al Jazeera, ABC/MSN  Network dan sebagainya. Surat-menyurat tidak lagi terbatas pada pos kertas, saat ini tiap hari jutaan orang di seluruh dunia terhubung oleh jaringan internet dengan elektronik mailnya atau e-mail, facebook dan twitter. Transportasi juga sangat berkembang, jutaan orang setiap tahun mengunjungi berbagai belahan dunia dengan pesawat jet udara menempuh ratusan bahkan ribuan kilometer hanya dalam waktu singkat. Hari ini ada di wilayah Asia, besok telah ada di Eropa atau wilayah Amerika. Penerbangan telah meningkatkan mobilitas masyarakat secara luar biasa dan menghubungkan orang dari berbagai negara secara langsung, face to face.
Pada aspek ekonomi, hubungan ekonomi internasional yang yang makin intensif mulai lama, terutama sejak penjelajahan negara-negara Eropa abad ke 15, 16 dan ke 17 dan menyusul masa revolusi industri abad ke-18 dan 19.  Hubungan ekonomi internasional dalam dua puluh tahun terakhir ini telah mengalami intesifikasi yang luar biasa yang tampaknya menggambarkan proses integrasi internasonal yang makin kuat. Volume perdagangan terus meningkat dengan peserta perdagangan internasional yang makin beragam pula. Lembaga keuangan internasional juga menjangkau berbagai belahan dunia dan saling terhubung. Setiap hari diperkirakan tidak kurang dari satu triliun dolar AS keluar masuk dalam sistem dan institusi keuangan dunia melalui perdagangan valuta asing dan pasar bursa serta pasar komoditi. Banyak negara tidak lagi membatasi atau menutup  diri dengan perdagangan barang dan keuangan (investasi) internasional.[3] 
Dalam perspektif politik internasional, dengan kuatnya saling hubungan baik positip (kerjasama) maupun negatif ( konflik) antar masyarakat (people to people), bisnis ke bisnis (B to B), pemerintah (governement) ke pemerintah lainya (G to G), serta berbagai kombinasi dari element-element tersebut, rentang kendali kekuasaan negara dan kekuatan kedaulatan menjadi relatif.  Jadi globalisasi juga merujuk pada menguatnya tekanan pengaruh suatu negara terhadap negara atau entitas politik  internasional dalam pentas politik global.
Aspek politik dunia juga mengalami babak baru setelah perang dingin Blok Barat (AS) dan Blok Timur (US) usai atau  berakhir, sejak runtuhnya Tembok Berlin 1989. Hubungan internasional pasca perang dingin diwarnai oleh menonjolnya perhatian terhadap  masalah-masalah demokrasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Masalah demokratisasi dan HAM diberbagai negara yang selama perang dingin relatif diabaikan, mendadak menjadi perhatian di banyak negara. Sedang pada sisi internal negara-negara, muncul fenomena menguatnya aspirasi politik dan ekonomi lokal yang berbeda-beda (dalam suatu negara) dapat mengancam timbulnya konflik internal. Konflik dapat juga mengundang intervensi asing / pihak luar karena alasan-alasan kemanusiaan atau masalah keamanan suatu wilayah atau suatu regional tertentu.
Indonesia sebagai contoh negara berkembang yang berada pada arus globalisasi, tidak lepas dari fenomena di atas, bahkan di dalam negeri Indonesia juga memiliki banyak kelemahan dikaitkan dengan arus globalisasi tersebut. Indonesia pernah  menghadapi masalah krisis ekonomi yang berat dan munculnya keinginan berbagai daerah/ kelompok masyarakat untuk memisahkan diri dari negara di Indonesia. Demikian pula sejak tahun 2008 hingga saat ini, Indonesia sebagaimana dialami oleh banyak negara berkembang juga terus-menerus dalam bayang-bayang krisis internasional akibat kegagalan pengelolaan hutang atau kseimbangan anggaran di Eropa, dan AS. Banyak negara berkembang masih harus senantiasa waspada kemungkinan terseret arus krisis ekonomi politik internasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan:Bagaimana upaya negara melakukan penyesuaian (adjustment) dalam dinamika internasional ditengah arus globalisasi?

2. Kerangka Teoritik : Strategi Penyesuaian
           
Dalam pendekatan model “state centric” yang berfokus pada negara sebagai aktor utama hubungan internasional, kebijakan dan perilaku negara dianggap rasional sebagaimana individu. Dalam hal ini perilaku negara diidentikkan dengan perilaku individu yang mempertimbangkan secara rasional pilihan-pilihan kebijakan dan untung atau ruginya suatu kebijakan tersebut. Negara umumnya direpresentasikan oleh pimpinan pemerintahan dan pejabat pemerintah dan negara yang dalam kapasitasnya dapat mewakili atau bertindak atas nama negara.[4]
            Dalam kehidupan bernegara, terutama dalam politik, keamanan dan ekonomi, senantiasa ada dinamika yang terus berkembang baik dalam interaksi internasional dan dalam mengelola politik ekonomi domestik atau dalam negerinya. Adanya tekanan internasional dan domestik baik dalam bidang ekonomi dan politik atau adanya keterkaitan yang intensif antara kepentingan-kepentingan internasional dan domestik (ekonomi dan politik) mendorong adanya strategi penyesuaian/respon yang dinamis dalam politik domestik dan internasional suatu negara. Hal ini menarik karena strategi penyesuaian memiliki orientasi berbeda-beda sejalan dengan pilihan kebijakan negara dan tantangan (constraints) lingkungannya.
            Pada umumnya faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan kebijakan negara sering sangat kompleks mencakup banyak aspek, aktor politik, aspirasi politik internasional dan pemikiran yang berbeda-beda.  Sehingga kajian dinamika kebijakan negara relatif tidak mudah. Namun pada dasarnya setiap negara menetapkan tujuan yang hendak dicapai dan mengorganisir usaha-usaha mencapai tujuan tersebut sebagai bagian penting atau pokok dari kepentingan nasional. K.J. Holsti menyebut sekurangnya ada 4 (empat) aspek  sebagai kepentingan dasar suatu negara yaitu: 1.  security (keamanan),  2. Otonomi  /  kemerdekaan, 3. kesejahteraan rakyat, 4. status dan prestige internasional.[5]
Salah satu usaha menyederhanakan analisa pilihan strategi kebijakan suatu negara secara teoritis diajukan oleh pakar Ilmu Hubungan Internasional Amerika Serikat, yang banyak menulis tentang organisasi internasional dan politik internasional yaitu Prof. G. John Ikenberry. Dalam salah satu artikelnya berjudul  “The State and Strategies of Adjusment, ia  mengajukan pembutan model, berbagai tipe penyesuaian suatu negara dalam lingkup internasional dan dalam negeri untuk mencapai tujuan nasional. Dengan menghubungkan antara lokasi penyesuaian (adjustment) yang dibedakan antara aspek domestik dan internasional dan tujuan atau sasaran penyesuaian perubahan di tingkat internasional atau dalam negeri, G. John Ikenberry menjelaskan 4 tipe penyesuaian yaitu :

1.Offensive international adjustment (strategi  ofensif/agresif penyesuaian internasional)
2.Defensive international adjustment (strategi defensif  penyesuaian internasional )
3.Offensive domestic adjustment (strategi ofensif penyesuaian dalam negeri)
4.Defensive domestic adjustment[6] (strategi defensif penyesuaian dalam negeri).

            Pilihan startegi pertama diatas adalah ofensif terhadap rezim internasional. Strategi dalam penyesuaian terhadap rezim (cara pengaturan) internasional yang bertujuan untuk menghindari kesulitan penyesuaian di dalam negeri adalah dengan menciptakan tata internasional baru yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi politik dalam negeri (offensive international adjustment). Jadi strategi ini membutuhkan energi besar untuk mempengaruhi dunia atau forum internasional dan juga mempengaruhi negara-negara lain agar pengaturan, kesepakatan atau agreement di tingkat internasional sesuai dengan kepentingan domestik atau dalam negeri suatu negara.
            Sebaliknya pilihan kedua adalah cenderung defensif terhadap rezim atau keadaan yang ada. Hal ini dapat terjadi bila suatu negara mengambil kebijakan internasional yang cenderung mengikuti arus pengaruh internasional yang ada.Atau negara sudah mendapatkan keuntungan dari keadaan internasional yang ada.  Negara hanya sekedar menyepakati aturan-aturan main internasional yang ada. Hal ini jelas berkebalikan dengan strategi pertama dimana suatu negara secara aktif memainkan pengaruhnya agar aturan internasional atau kesepakatan internasional sesuai dengan kepentingan dan kondisi suatu negara. Dengan kata lain pilihan kebijakan negara tersebut adalah pro status quo, pro keadaan yang ada atau telah ada, oleh karena itu disebut sebagai strategi defensif. Meskipun demikian usaha kebijakan strategi mempertahankan rezim internasional yang ada (defensive   international adjustment) ini dapat pula memerlukan diplomasi  yang kuat seperti halnya dalam strategi ofensif diatas.
            Sedangkan pilihan ketiga adalah, ofensif domestik. Pilihan ini mengedepankan kebijakan penyesuaian domestik secara ofensif. Oleh karena itu kebijakannya adalah memperbarui aturan-aturan domestik yang ada, menyesuaikan dengan rezim internasional secara agresif. Bahkan bila perlu melakukan perubahan-perubahan struktural ekonomi politik menyesuaikan arus global. Maka kebijakan ini disebut sebagai kebijakan ofensif penyesuaian dalam negeri. Pemerintah bahkan dapat memainkan peran interventif yang kuat untuk mendorong berbagai perubahan lembaga politik dan ekonomi dalam negeri sesuai dengan arus internasional atau global.
            Berbeda dengan pilihan kebijakan ketiga diatas, kebijakan strategi keempat, negara berupaya sekuat mungkin melindungi struktur ekonomi politik dalam negeri. Secara defensif negara memilih kepentingan-kepentingan dalam negeri sebagai prioritas kebijakan. Oleh karena itu kebijakan ini cenderung pro status quo dalam negeri, kebijakan defensif. Kebijakan defensif cenderung protektif dan berusaha menghindari perubahan secara menyeluruh. Contoh dalam bidang ekonomi misalnya dengan pengenaan tarif tinggi, kuota ataupun subsidi produk-produk yang tidak kompetitif di pasar internasional.
            Dari uraian diatas secara diagramatik pilihakan strategi penyesuaian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:










INTERNATIONAL
DOMESTIC
OFFENSIVE
Create  new international
Regime
Change  domestic
structure
DEFENSIVE
Maintain or protect
international
regime
Protect  domestic
structure

            Berangkat dari model penyesuaian diatas dan dihubungkan dengan kepentingan nasional,  maka akan dapat pilihan-pilihan strategis kebijkan negara dalam politik internasional dan politik dalam negeri. Pilihan strategis ini mendasarkan pada asumsi rasional negara, dimana aktor negara benar-benar mempertimbangkan pilihan berdasarkan keuntungan dan kerugian serta resikonya. Dengan pertimbangan rasional strategis demikian, pilihan prioritas negara dapat digambarkan berikut: Pertama, negara berusaha meminimalkan resiko biaya / kerugian pemerintah dan berusaha memaksimalkan kemampuan kompetitif sektor ekonomi dan politik. Jika harus memilih makan pilihannya pada pemerintah mengambil pilihan resiko minimal, bukan memaksimalkan kemungkinan keuntungan kompetitifnya. Kedua, kebijakan pada arena internasional memiliki resiko pemerintah (politik) yang lebih rendah daripada kebijakan dalam negeri. Ketiga, kebijakan ofensif mempunyai tingkat keuntungan kompetitif lebih tinggi dibanding kebijakan defensif.[7]

2.      Implikasi Globalisasi & Strategi Penyesuaian
            Sebagaimana dijelaskan secara singkat diatas, pengertian globalisasi sangat beragam, ahli-ahli memberikan pengertian yang berbeda-beda sesuai sudut pandang atau fokus studinya. Dengan membedakan sisi umum dan spesifikasi, globalisasi dapat dibedakan dalam pengertian umum yang menyangkut semua aspek kehidupan atau aspek khusus, yaitu hanya segi ekonomi. Globalisasi sebagai suatu visi adanya dunia tanpa batas ( borderless world ) dan perkambungan dunia / global village. Globalisasi demikian menunjukan melemahnya dimensi teritorial dan kedaulatan nasional. Pada sisi ekonomi, globalisasi menunjukkan pula kecenderungan meningkatnya penetrasi pasar, liberalisasi dan dominasi ekonomi internasional atas ekonomi nasional. Hal ini juga membawa dampak melunturnya atau melarutnya nilai kebangsaaan/nasionalisme terutama yang terkait ekonomi. Hal ini secara seloroh sering disebutkan bahwa rupiah atau dolar (uang) tidak mengenal nasionalisme.
Globalisasi lebih dari sekedar internasionalisasi sebagaimana pada masa kolonialisme abad ke 15 hingga awal abad ke 20, yang lebih menekankan pada aspek perdagangan dan eksploitasi sumber daya alam atau sumber bahan mentah. Globalisasi lebih kompleks dan menyangkut berbagai fenomena kehidupan individu, lembaga sosial,  lembaga bisnis dan negara. Oleh karena itu ada banyak aspek dan pengertian globalisasi. Paul Viotti dan Mark Kauppi menyebut bahwa globalisasi mencakup proses peningkatan hubungan sosial kultural dan ekonomi secara berkelanjutan  (globalization refers to the  of continual increase in transnational and worldwide economic, social, and cultural interactions that transcend the boundaries of states, aided by advances in technology).[8]
Dalam pengertian lebih longgar  sosiolog Antony Giddens menyebut globalisasi  sebagai konsekuensi modernisasi. Sedangkan ahli  lain misalnya, Roland Robertson dalam bukunyaGlobalization, menyebutkan bahwa globalisasi sebagai suatu konsep  merujuk pada dua aspek yaitu kompresi atau penyempitan  (relatif) dunia dan intensifikasi kesadaran akan dunia sebagai satu keseluruhan atau kesatuan. Menurut Thomas Freidman, Globalisasi juga diartikan sebagai tumbuhnya jaringan internasional seperti world wide web, dunia yang terintegrasi, dan hal ini berbeda dengan masa perang dingin yang justru membuat negara-negara dunia terkotak-kotak atau terbagi-bagi. [9] 
Secara teoritis Profesor Budi Winarno, mengkategorikan kelompok penganut pandangan globalisasi ke dalam tiga kelompok kategori, yaitu: hiperglobalis, kelompok skeptis dan transformasionalis. Kelompok  pertama hiperglobalis ini memandang bahwa globalisasi sebagai fenomena sejarah baru kehidupan manusia,   dimana “negara tradisional” telah menjadi tidak relevan, dan terlebih tidak dapat menjadi unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global. Pandangan ini menekankan gejala ekonomi global yang mendorong denasionalisasi, sistem network produksi dan distribusi secara global/internasional dengan dukungan perdagangan dan keuangan global. Dalam sistem economics borderless demikian, negara lebih sebagai semacamtransmission belt bagi kapital global dan sekedar institusi perantara antara kekuatan global dan regional dengan kekuatan lokal dan nasional yang sedang tumbuh. Pada akhirnya perkembangan ekonomi akan membawa proses ekonomi global dengan lembaga-lembaga “governance” global serta penyebaran budaya pop sebagai fakta dan tatanan Baru.
Kelompok kedua sebagai kelompok skeptis, melihat bahwa globalisasi bukanlah produk baru tetapi punya akar sejarah panjang. Pendukung kelompok ini sangat tidak setuju dengan pernyataan hiperglobalis tentang negara. Menurut kelompok skeptis negara masih memiliki kekuatan untuk mengatur ekonomi internasional. Negara nasional masih merupakan kekuatan penting untuk mengatur ekonomi global dan yang mampu menjamin proses liberalisasi ekonomi terus berlanjut. Pembangunandan pertumbuhan  ekonomi justru lebih memarginalkan negaranegara berkembang karena perdagangan dan investasi cenderung hanya mengalir diantara negara-negara maju dan kaya.
Kelompok ketiga, sebagai transformasionalis yang inti pandangannya melihat bahwa globalisasi merupakan kekuatan utama di balik perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik yang menentukan perkembangan masyarakat modern dan tatanan dunia (world order). Perkembangan globalisasi sekarang ini tidak pernah ada sebelumnya, dimana tidak lagi jelas pembedaan antara domestik dan internasional.
Kelompok transformasionalis meyakini bahwa peran negara masih penting, bukan menghilang atau tidak diperlukan, negara masih tetap relevan dan  sejalan pula dengan meningkatnya peran organisasi-organisasi bisnis multi nasional/transnasional. Kekuasaan negara dalam era globalisasi ini bukan hanya satu-satunya kekuatan pemegang keuasaan dan keputusan tunggal, tetapi juga ada aktor-aktor lain yang berpengaruh seperti MNC/TNC. Negara tidak bisa hanya membuat klaim normatif pemegang kedaulatan, tetapi harus mengaktualkannya dalam dinamika politik global yang makin beragam termasuk aktornya yang makin banyak, tidak terbatas hannya aktor negara. Negara tidak hanya normatif, tetapi harus aktual memainkan pengaruhnya secara internal maupun global/internasional[10]
            David Held, (Democracy and Global System, 1991) menyebutkan bahwa globalisasi memiliki dua aspek sekaligus. Pertama, globalisasi adalah aktifitas ekonomi, politik dan sosial yang jangkauannya mencakup secara global (seluruh dunia dunia). Kedua, globalisasi merujuk adanya intensifikasi tingkat-tingkat interaksi dan saling keterkaitan (interconnectedness) antara negara dan masyarakat sehingga terbentuk komunitas internasional. Hal ini dimungkinkan oleh perkembangan yang luar biasa dari teknologi komunikasi dan informasi, yang diikuti pula perubahan dalam pola hubungan dagang, hukum, organisasi, dan dalam hubungan antara manusia dan masyarakat dari berbagai tempat yang berbeda. Kelompok transformasionalis melihat negara tidak lagi bisa berlindung dibalik klaim kedaulatan negara dan menjadi satu-satunya aktor penting dalam pengambilan keputsan, tetapi negara sejajar dengan aktor lain khususnya lembaga-lembaga “governance” internasional.
            Sejalan dengan pemikiran pemikiran diatas, salah satu dampak yang signifikan dari globalisasi ini terutama adanya penurunan atau krisis otonomi negara (kedaulatan) nasional. Akibatnya memaksa negara-negara untuk bekerja sama lebih erat agar dapat mengatasi masalah-masalah baru yang muncul dari suatu negara atau yang muncul di banyak negara yang tidak dapat diatasi sendiri oleh satu negara.  


Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut [11] :

Growth of global interconnectedness
in a number of key dimensions :
economics, politics, technology,
communications and law


 


Growing permeability of borders

Diminution of state’s capacity to generate
policy instruments able to control the
flow of goods and services, ideas
and cultural products, etc.
 

Growth in requirement of states to
co-operate with each other to
control policy outcomes

Growth in international agencies and
institutions, e . g . mechanisms to
sustain the balance of power,
expansion of regimes, development
of international organizations, multilateral diplomacy,
scope of  international law and co-operation with
non-state actors and processes

Creation of a system of global
governance which, as one of its
outcomes, sustains and redefines
the power of state

Interdependent global system created, wich
none the less remains highly fragile-
vulnerable to shifts in resources,
ideologies and technologies.
            Dalam bidang ekonomi, bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia, globalisasi dirasakan sebagai adanya “tekanan” untuk meliberalisasikan struktur ekonomi dalam negeri. Hal ini merupakan dorongan untuk menyesuaikan struktur ke dalam negeri agar sesuai dengan arus global / internasional. Tekanan liberalisasi ini secara umum bekerja melalui dua “mekanisme berbeda”, yaitu: mekanisme interdependensi perdagangan barang, jasa dan investasi, dan melalui mekanisme penyehatan negara-negara yang mengalami krisis ekonomi ataupun moneter.[12]
            Pertama adalah melalui implikasi peningkatan perdagangan dan interdepensensi finansial (kuangan) terhadap pilihan kebijakan ekonomi  yang relevan. Meningkatnya interdepedensi ini berarti meningkatnya bobot aktor-aktor ekonomi domestik yang mempunyai kaitan dengan aktor luar/internasional. Hal ini mendorong adanya peningkatan tekanan untuk keterbukaan pasar keuangan agar sesuai dengan keinginan internasional dan juga pemodal dalam negeri. Karena hal ini akan memaksimalkan keuntungan ekonomis pada aktor yang terlibat. Oleh karena itu sangat mudah dipahami apabila industri-industri keuangan (financial firms) dari negara-negara industri sangat aktif melakukan lobi-lobi untuk membuka pasar uang negara berkembang. Industri finansial internasional juga mempengaruhi pemerintahannya / negara-negara maju untuk tetap melakukan tekanan-tekanan secara bilateral maupun multilateral agar pasar financial internasional khususnya di negara-negara berkembang dapat lebih terbuka aksesnya.
            Hal ini misalnya, tercermin dalam berbagai argumentasi AS dan negara-negara industri lainnya dalam proses perundingan Putaran Uruguay sejak tahun 1986 dan berlanjut terus hingga dalam organisasi perdagangan dunia / WTO, antara lain :
1.    Perdagangan bebas tradisional yaitu perdagangan barang seperti yang telah banyak diatur  dalam GATT hingga saat ini tidak lagi mencukupi, sektor jasa saat ini dipandang juga sangat penting. Oleh karena itu cakupan liberalisasi juga harus sampai ke sektor jasa.
2.    Dalam upaya memfasilitasi pertukaran dan arus jasa ini, maka proteksi-proteksi yang ada hanya menimbulkan inefisiensi dan ketidakmakmuran secara menyeluruh. Oleh karena itu usaha-usaha jasa yang memfasilitasi perdagangan, investasi dan pasar uang mestinya bisa dibuka tanpa diskriminasi untuk kemakmuran bersama. Pada gilirannya hal ini perlu diadakan harmonisasi dan koordinasi kebijakan makro ekonomi dan finansial antara negara dapat dihilangkan distorsi pasar.
3.    Adaya kemungkinan penggunaan cross retaliation (pembalasan silang) dalam perselisihan perdagangan. Misal suatu negara yang melanggar regulasi internasional bidang bea masuk otomotif, barang-barang ekspornya dapat dikenai pembalasan melalui tarif tinggi tidak hanya barang-barang otomotif tetapi bisa barang lainnya, sehingga akan menghambat perdagangannya. Apabila hal ini dipaksakan, dikhawatirkan bahwa Dispute Setlement Body  (DSB) yang menentukan hukuman akibat pelanggaran perdagangan dan memiliki kekuasaan besar,  cenderung dikontrol oleh negara-negara maju.[13]
Disamping itu dengan kompleksitas dan membesarnya perdagangan dan investasi membuat kontrol  terhadap aliran/gerak pasar yang sangat sulit. Kenyataan lain membuktikan pula bahwa integrasi ekonomi tidak hanya merubah proses distribusi  barang dan jasa, tetapi lebih jauh lagi berakibat pada mencairnya makna batas-batas negara dalam ekonomi internasional.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keterkaitan perdagangan internasional dan investasi, serta kesempatan membuka pasar jasa internasional yang timbul akibat meningkatnya pasar finansial internasional memberi tekanan agar timbul liberalisasi dan internasionalisasi pasar finansial  dan pasar barang domestik serta melemahkan kontrol negara atas kehidupan ekonomi dan finansial nasional
Kedua, tekanan internasional untuk liberalisasi finansial/jasa ini  melalui saluran mekanisme penyehatan negara menghadapi krisis ekonomi/neraca pembayaran suatu negara. Negara terancam krisis biasanya akan melakukan kebijakan untuk memperketat kontrol atas pergerakan kapital/modal. Untuk membatasi pelarian modal dan meminimalkan dampak defisit neraca pembayaran dalam jangka pendek. Akan tetapi kenyataan dalam dua dekade belakangan  ini, setelah banyak menyesuaikan diri dengan model pasar terbuka IMF, justru negara- negara yang ikut program IMF menunjukan cenderung rentan terhadap krisis baru. Dan munculnya krisis baru makin mendorong keterlibatan lebih jauh IMF maupun  Bank Dunia. Ada gejala bahwa krisis ekonomi , misalnya neraca pembayaran justru mendorong keterbukaan terhadap peran finansial internasional atau makin terjadi  internasionalisasi pasar finansial.
Upaya ini dilakukan dengan koordinasi IMF yang biasanya disertai dengan program penyehatan suatu ekonomi nasional yang berporoskan liberalisasi lebih lanjut pengelolaan ekonomi dan finansial negara yang bersangkutan. Selama tahun 1985-1990, misalnya IMF melaporkan adanya krisis keuangan negara-negara liberalisasinya makin meningkat, dan disertai pula meningkat jumlah negara yang melakukan liberalisasi dari 22 negara menjadi 62 negara. Upaya liberalisasi ini umumnya dalam kerangka memulihkan kepercayaan investor dan mengembalikan modal yang telah ditanam suatu negara dan berupaya menarik kembali modal suau negara yang dibawa keluar untuk stabilisasi krisis ekonomi.
 Dengan melihat proses di atas dapat dibayangkan bahwa hal ini membawa implikasi yang luas dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional. Secara tidak langsung liberalisasi tampaknya, tidak sekedar adanya keyakinan bahwa perekonomian akan lebih baik jika diliberalkan, terlepas konteks kesiapan sarana, prasarana dan sumber daya manusianya. Tetapi liberalisasi lebih merupakan hasil (respon) tekanan internasional secara sistematik terhadap ekonomi suatu negara.[14]
Pada waktu lalu ketika saat-saat krisis ekonomi dan keuangan di negara-negara berkembang mulai Asia Timur, Amerika Latin dan negara-negara Eropa Timur khususnya negara pecahan Uni Soviet, negara-negara maju bertindak menjadi “penolong”.  Negara-negara maju melalui organisasi-organisasi internasional  berusaha melakukan semua tindakan yang perlu untuk memperbaiki krisis tersebut, namun kadang yang terjadi justru menbawa pada keadaan yang lebih sulit. Banyak kasus program-program IMF secara jelas memperburuk keadaan negara-negara Asia Timur, dan program “shock therapy” yang  didesakkan IMF memainkan peran penting kegagalan transisi Eropa Timur, khususnya negara-negara pecahan Uni Soviet dan banyak negara lain di Asia.[15]
Program liberalisasi yang digerakkan IMF dan bank Dunia mencakup  tiga pilar program pokok yaitu: Liberalisasi perdagagangan dan keuangan, deregulasi dan privatisasi. Tiga pilar kebijakan didorong agar pemerintahan dapat lebih efisien dan alokasi sumber ekonomi menjadi lebih tepat sasaran dengan pasar (market) sebagai pengerak utamanya. Melalui kebijakan ini pemerintah didorong untuk tidak melakukan bisnis atau melepaskan bisnisnya (privatisasi) karena tidak kompeten, tidak efisien dan menjadi sumber masalah  anggaran. Dalam kerangka kebijakan efisiensi anggaran juga pemerintah negara-negara peserta program hutang bank Dunia dan IMF ditekan untuk secara bertahap menghilangkan subsidi yang dianggap cenderung misalokasi sumber daya dan hal ini berarti pemborosan. Sedangkan pada sektor perdagangan dan keuangan, kebijakan didorong untuk meminimalkan campur tangan pemerintah dalam perdagangan dan jasa keuangan, dan restorasi pasar dengan menghilangkan berbagai sistem proteksi industri baik dengan tarif maupun non tarif. Termasuk dalam aspek ini dalah devaluasi mata uang dan meciptakan sistem kurs mengambang (floating) bergantung dinamika pasar. Hal ini sejalan dengan kebijakan deregulasi untuk memudahkan segala usaha dan kompetisi usaha di masyarakat baik pada level nasional maupun internasional. Deregulasi juga ditujukan untuk menjaga kemudahan-kemudahan usaha dan pertumbuhan ekonomi. Namun seringkali kemudahan menjadi penyelewengan termasuk penggunaan dana-dana bank secara tidak bertanggungjawab dan berakhir dengan mismanajemen dan kebangkrutan.[16]
Jika kita melihat kasus krisis di Indonesia, saat ini tampak bahwa sesungguhnya krisis dan liberalisasi tidaklah mendadak. Jika kita pelajari dinamika pressure (tekanan) itu dan responnya dalam bentuk usaha liberalisasi pengaturan ekonomi terus berlangsung. Sesungguhnya proses ini telah timbul sejak tahun 1970-an pada waktu krisis harga minyak dan memuncak pada tahun 1980-an  ketika kembali terjadi permasalahan harga minyak. Oleh karena itu sejak tahun 1980-an sudah terjadi deregulasi ekonomi untuk menyesuaikan pasar global.[17]
Namun deregulasi tersebut tidak tuntas atau bahkan masih tetap terdistorsi oleh karena adanya pola korupsi, dan kolusi yang sudah sangat kuat. Hal ini masih berlanjut hingga runtuhnya  rezim Orde Baru, bahkan sampai tingkat tertentu hingga saat ini. Sesungguhnya pembiayaan pembangunan atau perdagangan selama ini juga dilaksanakan dalam kondisi defisit anggaran. Dengan demikian, akumulasi kesulitan terus berlanjut dalam jumlah yang sangat besar. Misal utang luar negeri Indonesia sudah hampir setara dengan produk nasional kotor/buto pada waktu sekitar masa krisis 1997/1998.  Krisis moneter yang berlanjut pada krisis ekonomi di Indonesia telah membawa arah liberalisasi ekonomi lebih lanjut. Pemerintah Indonesia telah menandatangani kesepakatan pembaruan ekonomi untuk mengatasi krisis yang bertumpu pada kebijakan liberalisasi. IMF menyediakan “standby loan” sebesar 23 milyar Dollar AS, sehingga keseluruhan 43 milyar Dollar AS.
          Terdapat harapan bila Indonesia dapat secara konsisten melakukan restrukturisasi dan program penyehatan secara konsisten maka diharapkan ekonomi dapat pulih dan pada saat bersamaan memiliki struktur ekonomi yang integral dengan ekonomi internasional. Namun melihat pengalaman-pengalaman negara-negara yang dibantu IMF, seperti Bolivia, Argentina, Mexico dan negara-negara eks Uni Soviet termasuk Eropa Timur, menunjukkan bahwa, pemulihan membutuhkan waktu yang panjang. Bakan hingga kini Mexico pun belum pulih benar dari dampak krisis tahun 1984/85 -1995.
Bahkan lebih sisnis lagi, dikatakan Indonesia sudah tidak memiliki kedaulatan ekonomi. Semua strategi penyehatan (baca : penyesuaian) kembali ekonomi nasional bertumpu pada agenda-agenda yang disepakati bersama Indonesian dan IMF. Dan lebih jauh lagi terdapat kekhawatiran akan membawa ke dalam jebakan utang  (debt trap) kapitalisme yang tak akan pernah berakhir dalam proses pembangunan atau eksistensi negara.
Sedang dalam bidang politik juga terjadi penyesuaian domestik terhadap tekan globalisasi, khususnya dalam intergrasi nasional. James J. Coleman dan Carl G. Rosburg, sebagaimana dikutip Nazaruddin Sjamsudin menyebutkan bahwa intergrasi nasional mencakup integrasi vertikal (elite-massa) dan horisontal (teritorial). Integrasi vertikal merupakan upaya menjembatani elite dengan mana dalam rangka pengembangan proses politik yang padu dan positif. Sedangkan integrasi horisontal bertujuan untuk mengurangi diskontinyuitas dan ketegangan kultur kedaerahan dalam rangka proses penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen.[18]
Dalam upaya integrasi ini Indonesia memiliki kemajemukan masyarakat yang luar biasa.Masing-masing sub kultur daerah dan budaya, seperti agama, tidak memiliki pola afiliasi saling silang (cross cutting affliates) yang tinggi. Oleh karena itu potensi konflik bisa sangat tingi, karena tidak ada aspek integratif yang menghubungkan antar pihak dalam masyarakat.[19]
Disamping itu suasana antar golongan masyarakat dan antar daerah memiliki kesenjangan ekonomi yang masih relatif tinggi. Selama ini seolah-olah terdapat polarisasi ekonomi antara Jawa – Luar Jawa, Indonesia Barat – Indonesia Timur, dan antara kota dan pedesaan. Polarisasi ekonomi juga tercermin pada level individual antara kaya dan mskin yang memiliki jarak yang jauh. Selama ini terdapat pandangan umum bahwa sebagian besar pembangunan sebenarnya lebih dinikmati oleh sebagain kecil ( sekitar 20%) penduduk Indonesia yang berpenghasilan tinggi.
Pada masa lalu, integrasi nasional ditempuh dengan cara yang otoritarian. Selama rezim Orde Baru/Suharto menindas berbagai wacana kritis, upaya demokratisasi dan pemberdayaan kekuatan rakyat. Demikian pula  aspirasi daerah penghasil sumber daya alam untuk mendapatkan bagian lebih besar hasil kekayaan tersebut dan percepatan pembangunan yang lebih adil senantiasa ditutup-tutupi. Bahkan untuk daerah-daerah rawan keamanan daerah cenderung ditekan, bahkan ditindas dengan pendekatan militer keamanan . Hal ini sering dikhawatirkan dapat menjadi “bom waktu” perpecahan yang sangat bahaya. [20]Walaupun demikian untuk kasus Indonesia, desintegrasi dalam bentuk pecahnya negara memang, relatif masih belum aktual, namun secara sosial masyarakat terasa terpecah atau kurang menyatu.
Pada masa lalu strategi otoritarian, represif dapat mempertahankan integrasi nasional dan status quo, namun saat ini dengan adanya era globalisasi yang sangat terbuka, dan disertai tuntutan demokrasi dan penegakan hak-hak asazi manusia tindakan represif tidak lagi dapat diterima. Bahkan upaya integrtif yang represif dapat kontra produktif dalam usaha mengintegrasikan bangsa secara keseluruhan. Dalam perspektif inilah, dewasa ini upaya reprsif pemerintah di Papua, misalnya sangat disayangkan dan ditolak masyarakat. Upaya represif dapat makin menmbulkan perpecahan masyarakat, bahkan dapat pula mengundang upaya intervensi pihak luar atau asing.
Untuk itu upaya integrasi tampaknya lebih tepat dengan mengedepankan atau menekankan usaha dialogis dan demokratis. Dengan demikian penyesuaian politik dalam negeri berarti melakukan perubahan-perubahan struktur politik yang lebih mampu mengakomodasi aspirasi demokratis. Kasus Aceh sebelum 2005, dan Papua hinga saat ini, menunjukkan hal ini. Bila pemerintah melakukan operasi besar di Papua,  sangat rentan timbul pelanggaran-pelanggaran HAM, yang dapat mengundang perlawanan lokal lebih intensif atau intervensi atau tekanan dari luar. Saat ini sudah banyak LSM internasional pemerhati Papua, kaukus anggota parlemen di kawasan negara-negara Pasifik (solodarits Melanesia), juga ada beberapa anggota parlemen Inggris dan AS yang getol mengkritisi masalah Papua. Sedangkan pada sisi diplomatik sebagai ujung tombak untuk penyesuaian ofensif internasional tampaknya kurang dilakukan. Dalam aspek penyesuaian internasional, Indonesia tampaknya relatif hanya sibuk di sekitar ASEAN yang sebenarnya tidak terlalu memiliki dampak pada masalah Papua.
Pemikiran tersebut terkait pula dengan kecenderungan baru globalisasi keamanan, yang tidak hanya menyangkut militer, tetapi juga keamanan individu yang sama-sama mendapat perhatian internasional. Dalam masalah politik dan keamanan, globalisasi juga telah memberikan peluang munculnya atau menguatnya kecenderungan intervensionisme dengan alasan utuk keperluan kemanusiaan atau humanitarian intervention dan keamanan sipil suatu wilayah. Juridiksi domestik suatu negara atau kedaulatan dapat menjadi relatif atau tidak dihormati bila terjadi pelanggaran HAM yang kasar atau luar biasa (gross violation) seperti terjadi di Kosovo, Bosnia (konflik Balkan) dan Rwanda. Intervensi kekuatan internasional baik dengan senjata (force) maupun dengan misi minimal untuk mendukung perdamaian ( Peace Keeping Operation / PKO ) telah mulai lazim dilaksanakan. Kencenderungan ini mendapatkan pembenaran melalui sikap Sekjen PBB yang cenderung menerima humanitarian intervention (pidato Kofi Annan dalam sidang umum PBB 1999). Dengan melihat kemungkinan besarnya intervensi asing bila banyak terjadi pelanggaran HAM, maka respon yang relatif aman cenderung menyesuaikan penanganan dalam negeri sejalan dengan arus global yang secara terbuka mengedepankan HAM, lingkungan dan demokrasi.
            Dengan kuatnya tekanan dan pengaruh globalisasi termasuk di dalamnya arus liberalisasi, umumnya mendorong negara untuk menyesuaikan keadaan domestiknya. Upaya respon negara-negara berkembang termasuk Indonesia,  kadang sangat agresif atau ofensif. Pilihan respon ke arah ofensif ke dalam negeri juga didorong oleh karena perubahan ke dalam relatif lebih mudah, walaupun kadang kala juga memerlukan biaya besar baik politik, sosial dan ekonomi. Namun hal  ini masih dipandang realistis, dibanding upaya merubah sistem dunia yang cakupannya sangat luas, sehingga banyak memerlukan energi diplomasi. Kebanyakan negara berkembang mengikuti alur reformasi sistem sosial ekonomi politik yang menjadi pedoman lembaga-lembaga internasional. Terlebih lagi bila negara tersebut terikat hutang baik kepadaBank Dunia untuk pembiayaan pembangunan maupun hutang kepada IMF untuk pembiayaan perdagangan luar negeri atau stabilisasi moneter atau bila menghadapi krisis hutang dan ekonomi secara umum.

Daftar Pustaka
Friedman, Thomas L.  Memahami Globalisasi: Lexus dan Pohon Zaitun, Bandung: Penerbit ITB, 2000
Held, David (ed.), Political Theory Today”, California: Stanford University Press, 1991.
Holsti, K.J. International Politics: A Framework For Analysis (6th. ed.), New Jersey: Prentice Hall International, 1992.
Harris, Syamsudin , et.al., Indonesia Diambang Perpecahan, Jakarta: Erlangga, 1999.
Ikenberry,  G. John. “The State and Strategies of International Adjustment”, World Politics, Vol. XXXIX. No. 1, Oktober 1986,
Keohane, Robert. and  Helen V. Milner, Internationalization and Domestic Politics, New York: Cambridge University Press, 1996.
Khoor Kok Peng, Martin.  Imperialisme Ekonomi Baru: Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia  Ketiga, Jakarta: Gramedia, 1993.
Mas’oed, Mohtar. Studi Hubungan Internasional : Tingkat Analisis dan Teorisasi, Yogyakarta : PAU, UGM, 1989.
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1984.
Prawiro, Radius.  Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Jakarta: Gramedia, 1998.
Robertson, Roland. Globalization: Social Theory and Global Culture, London: SAGE Publications Ltd, 1992.
Sjamsudin, Nazarudin. “Dimensi-Dimensi Vertikal Dan Horisontal Dalam  Integrasi Politik”Jurnal Ilmu Politik, No. 8 tahun 2000.
Stiglitz, Joseph. Making Globalization Work, New York: Allen Lane (Penguin Group ), 2006.
Viotti, Paul R. dan Mark V Kauppi,  International Relations and World Politics: Security, Economy, Identity, (4th. ed), New Jersey: Pearson Education  International (Prentice Hall), 2009.
Winarno,Budi,  Globasasi & Krisis Demokrasi, Jogjakarta: Media Pressindo, 2007.
__________    , Melawan Gurita Neoliberalisme, Jakarta: Erlangga, 2010.



[1] Budi Winarno, Globaisasi & Krisis Demokrasi, Jogjakarta: Media Pressindo, 2007, hlm. 122 – 124.
[2]  Paul R Viotti dan Mark V Kauppi, International Relations and World Politics:Security,Economy,Identity, (4th. ed), New Jersey: Pearson Education International/Prentice Hall,  2009,  hlm. 7. 
[3] Ibid, hlm.5-7.
[4]  Lihat pula, Mohtar Mas’oed, Studi Hubungan Internasional : Tingkat Analisis dan Teorisasi, Yogyakarta : PAU, UGM, 1989, hlm. 85-91.
[5] Tokoh realis H.J  Morgenthau melihat hal ini lebih terbatas lagi  dan meletakkan kepentingan nasional (national interest) sebagai “power” atau kekuasaan, sedangkan Holsti melihat lebih terperinci mencakup keamanan, otonomi, kesejahteraan dan prestige negara,  lihat  K.J. Holsti, International Politics: A Framework For Analysis (6th. ed.), New Jersey: Prentice Hall International, 1992, hlm.  82-114.
[6] G. John Ikenberry, “The State and Strategies of International Adjustment”, World Politics, Vol. XXXIX. No. 1, Oktober 1986, hlm. 57-60.
[7] G. John Ikenberry, Ibid. hlm. 118 – 119.

[9]  Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture, London: SAGE Publications Ltd, 1992, hlm. 8. Lihat pula penjelasan Thomas L. Friedman,  dalam bukunya, Thomas L. Friedman, Memahami Globalisasi: Lexus dan Pohon Zaitun,Bandung: Penerbit ITB, hlm. 12 -28. Lihat pula penjelasan tentang globalisasi dari Budi Winarno, Op.it, hlm . 1- 36.

[10]  Budi Winarno, Op.cit. hlm. 12-14.
[11] David Held, “Democracy: The Nation State And The Global System” dalam David Held (ed.), Political Theory Today”, California:Stanford University Press, 1991, hlm. 206-209.
[12]  Robert Keohane and  Helen V. Milner, Internationalization and Domestic Politics,New York:Cambridge University Press, 1996, hlm. 211.
[13] Martin Khoor Kok Peng, Imperialisme Ekonomi Baru: Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia  Ketiga, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 16-18.
[14] Untuk keterangan lebih jauh lihat dalam buku Robert Keohane and Helen Milner diatas.
[15] Joseph Stiglitz, Making Globalization Work, New York: Allen Lane (Penguin Group ), 2006, hlm. IX – X.
[16] Cf, Budi Winarno, Melawan Gurita neoliberalisme,  Jakarta: Erlangga, 2010, hlm. 47 – 66.
[17] Radius Prawiro, Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Jakarta: Gramedia, 1998, hlm. 297 – 465.
[18]  Nazarudin Sjamsudin, “Dimensi-Dimensi Vertikal Dan Horisontal Dalam  Integrasi Politik” Jurnal Ilmu Politik, No. 8 tahun 2000, hlm. 31-47.
[19] Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1984, hlm 27-50.
[20] Syamsudin Harris , et.al., Indonesia Diambang Perpecahan, Jakarta: Erlangga, 1999, hlm. 11 – 21.



Strategi Penyesuaian Negara Di Tengah Arus  Globalisasi
Oleh: Andaru Satnyoto,S.IP., MSi.

Abstract
Globalization has become the most challenging phenomena for the international system in this 21st century in terms of economics, social and politics and countries are forced to adjust to this changing situation. There  are several types of adjustment according to John G. Ikenberry: Offensive and defensive international adjustment as well as offensive and defensive domestic adjustment. Based on specific condition, rationally countries must doing their options and generally option on offensive and defensive domestic adjustment become a “reasonable” choice by considering that domestic adjustment is more realistic in term of cost and risk and since the strong wind of globalization is not easy to be countered internationally.

1.      Pengantar

Pasca Perang Dunia II aspirasi negara-negara terjajah sangat kuat untuk merdeka. Hal ini juga mendapat respon dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian membentuk kebijakan dan membantu proses dekolonisasi. Negara-negara merdeka bertambah banyak seperti terlihat dari pertumbuhan jumlah anggota PPB. Pada waktu pendirian 50 negara menjadi negara pendiri (original members), saat ini telah menjadi 192 negara atau meningkat hampir 4 kali lipat. Namun dewasa ini nilai perjuangan kemerdekaan itu seolah menjadi merosot. Dalam fenomena hubungan internasional suatu negara bisa jadi telah merdeka, namun tidak berdaulat. Ada yang mengkritisi bahwa kemerdekaan dan kedaulatan tidak lagi memiliki nilai tinggi seperti pada waktu awal kemerdekaan yang penuh heroisme, patriotisme dan semangat nasionalisme dan kemandirian yang tinggi.
Di tengah arus globalisasi dimana interdependensi sangat kuat, kemerdekaan lebih pada tataran formal, yaitu kita atau suatu komunitas memiliki negara dan pemerintahan sendiri. Namun pada level realitas, pada tataran kebijakan dan strategi pengelolaan negara,  pilihan-pilihannya kebijakan sering sangat sulit atau tidak bebas. Bahkan bagi negara-negara yang mengalami krisis pemerintahan, krisis hutang atau  krisis keamanan, ada kecenderungan pihak-pihak luar atau internasional yang mengelola, bahkan bisa sampai hal-hal teknis detil kebijakan. Misalnya saran kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi yang dikenal Structural Adjustment Policy (SAP ) dari IMF dan juga Bank Dunia, banyak diikuti berbagai negara berkembang, cenderung interventif. Meskipun kebijakan ini sering dikritik sebagai kebijakan gagal.[1]  
Kedaulatan ekonomi dan politik menjadi relatif sempit atau terbatas. Meningkatnya globalisasi antar aktor-aktor hubungan internasional, antar negara dan non negara juga membawa konsekuensi “krisis” otoritas negara. Otoritas pemerintahan yang semula sepenuhnya dapat mengelola kekuasaannya seperti yang umumnya berlaku pada masa lalu, namun kini kekuasannya menjadi relatif dan kebijakan dalam negeri pun patut memperhitungkan faktor internasional. Krisis suatu negara dapat diintervensi oleh organisasi internasional atau negara lain. Bahkan suatu pemerintah dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh individu atau perusahaan multinasional (MNC/TNC) .[2]
Fenomena globalisasi telah melanda seluruh dunia, bahkan sering digambarkan bahwa globalisasi telah menjangkau sampai pelososk-pelosok terpencil di berbagai belahan bumi. Perkembangan cepat dalam teknologi komunikasi dan informasi telah mengintensifkan hubungan antar masyarakat dan negara-negara di seluruh dunia. Berita suatu tempat di satu belahan dunia dapat beredar ke seluruh dunia dalam waktu singkat melalui jaringan TV CNN, BBC, Al Jazeera, ABC/MSN  Network dan sebagainya. Surat-menyurat tidak lagi terbatas pada pos kertas, saat ini tiap hari jutaan orang di seluruh dunia terhubung oleh jaringan internet dengan elektronik mailnya atau e-mail, facebook dan twitter. Transportasi juga sangat berkembang, jutaan orang setiap tahun mengunjungi berbagai belahan dunia dengan pesawat jet udara menempuh ratusan bahkan ribuan kilometer hanya dalam waktu singkat. Hari ini ada di wilayah Asia, besok telah ada di Eropa atau wilayah Amerika. Penerbangan telah meningkatkan mobilitas masyarakat secara luar biasa dan menghubungkan orang dari berbagai negara secara langsung, face to face.
Pada aspek ekonomi, hubungan ekonomi internasional yang yang makin intensif mulai lama, terutama sejak penjelajahan negara-negara Eropa abad ke 15, 16 dan ke 17 dan menyusul masa revolusi industri abad ke-18 dan 19.  Hubungan ekonomi internasional dalam dua puluh tahun terakhir ini telah mengalami intesifikasi yang luar biasa yang tampaknya menggambarkan proses integrasi internasonal yang makin kuat. Volume perdagangan terus meningkat dengan peserta perdagangan internasional yang makin beragam pula. Lembaga keuangan internasional juga menjangkau berbagai belahan dunia dan saling terhubung. Setiap hari diperkirakan tidak kurang dari satu triliun dolar AS keluar masuk dalam sistem dan institusi keuangan dunia melalui perdagangan valuta asing dan pasar bursa serta pasar komoditi. Banyak negara tidak lagi membatasi atau menutup  diri dengan perdagangan barang dan keuangan (investasi) internasional.[3] 
Dalam perspektif politik internasional, dengan kuatnya saling hubungan baik positip (kerjasama) maupun negatif ( konflik) antar masyarakat (people to people), bisnis ke bisnis (B to B), pemerintah (governement) ke pemerintah lainya (G to G), serta berbagai kombinasi dari element-element tersebut, rentang kendali kekuasaan negara dan kekuatan kedaulatan menjadi relatif.  Jadi globalisasi juga merujuk pada menguatnya tekanan pengaruh suatu negara terhadap negara atau entitas politik  internasional dalam pentas politik global.
Aspek politik dunia juga mengalami babak baru setelah perang dingin Blok Barat (AS) dan Blok Timur (US) usai atau  berakhir, sejak runtuhnya Tembok Berlin 1989. Hubungan internasional pasca perang dingin diwarnai oleh menonjolnya perhatian terhadap  masalah-masalah demokrasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Masalah demokratisasi dan HAM diberbagai negara yang selama perang dingin relatif diabaikan, mendadak menjadi perhatian di banyak negara. Sedang pada sisi internal negara-negara, muncul fenomena menguatnya aspirasi politik dan ekonomi lokal yang berbeda-beda (dalam suatu negara) dapat mengancam timbulnya konflik internal. Konflik dapat juga mengundang intervensi asing / pihak luar karena alasan-alasan kemanusiaan atau masalah keamanan suatu wilayah atau suatu regional tertentu.
Indonesia sebagai contoh negara berkembang yang berada pada arus globalisasi, tidak lepas dari fenomena di atas, bahkan di dalam negeri Indonesia juga memiliki banyak kelemahan dikaitkan dengan arus globalisasi tersebut. Indonesia pernah  menghadapi masalah krisis ekonomi yang berat dan munculnya keinginan berbagai daerah/ kelompok masyarakat untuk memisahkan diri dari negara di Indonesia. Demikian pula sejak tahun 2008 hingga saat ini, Indonesia sebagaimana dialami oleh banyak negara berkembang juga terus-menerus dalam bayang-bayang krisis internasional akibat kegagalan pengelolaan hutang atau kseimbangan anggaran di Eropa, dan AS. Banyak negara berkembang masih harus senantiasa waspada kemungkinan terseret arus krisis ekonomi politik internasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan:Bagaimana upaya negara melakukan penyesuaian (adjustment) dalam dinamika internasional ditengah arus globalisasi?

2. Kerangka Teoritik : Strategi Penyesuaian
           
Dalam pendekatan model “state centric” yang berfokus pada negara sebagai aktor utama hubungan internasional, kebijakan dan perilaku negara dianggap rasional sebagaimana individu. Dalam hal ini perilaku negara diidentikkan dengan perilaku individu yang mempertimbangkan secara rasional pilihan-pilihan kebijakan dan untung atau ruginya suatu kebijakan tersebut. Negara umumnya direpresentasikan oleh pimpinan pemerintahan dan pejabat pemerintah dan negara yang dalam kapasitasnya dapat mewakili atau bertindak atas nama negara.[4]
            Dalam kehidupan bernegara, terutama dalam politik, keamanan dan ekonomi, senantiasa ada dinamika yang terus berkembang baik dalam interaksi internasional dan dalam mengelola politik ekonomi domestik atau dalam negerinya. Adanya tekanan internasional dan domestik baik dalam bidang ekonomi dan politik atau adanya keterkaitan yang intensif antara kepentingan-kepentingan internasional dan domestik (ekonomi dan politik) mendorong adanya strategi penyesuaian/respon yang dinamis dalam politik domestik dan internasional suatu negara. Hal ini menarik karena strategi penyesuaian memiliki orientasi berbeda-beda sejalan dengan pilihan kebijakan negara dan tantangan (constraints) lingkungannya.
            Pada umumnya faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan kebijakan negara sering sangat kompleks mencakup banyak aspek, aktor politik, aspirasi politik internasional dan pemikiran yang berbeda-beda.  Sehingga kajian dinamika kebijakan negara relatif tidak mudah. Namun pada dasarnya setiap negara menetapkan tujuan yang hendak dicapai dan mengorganisir usaha-usaha mencapai tujuan tersebut sebagai bagian penting atau pokok dari kepentingan nasional. K.J. Holsti menyebut sekurangnya ada 4 (empat) aspek  sebagai kepentingan dasar suatu negara yaitu: 1.  security (keamanan),  2. Otonomi  /  kemerdekaan, 3. kesejahteraan rakyat, 4. status dan prestige internasional.[5]
Salah satu usaha menyederhanakan analisa pilihan strategi kebijakan suatu negara secara teoritis diajukan oleh pakar Ilmu Hubungan Internasional Amerika Serikat, yang banyak menulis tentang organisasi internasional dan politik internasional yaitu Prof. G. John Ikenberry. Dalam salah satu artikelnya berjudul  “The State and Strategies of Adjusment, ia  mengajukan pembutan model, berbagai tipe penyesuaian suatu negara dalam lingkup internasional dan dalam negeri untuk mencapai tujuan nasional. Dengan menghubungkan antara lokasi penyesuaian (adjustment) yang dibedakan antara aspek domestik dan internasional dan tujuan atau sasaran penyesuaian perubahan di tingkat internasional atau dalam negeri, G. John Ikenberry menjelaskan 4 tipe penyesuaian yaitu :

1.Offensive international adjustment (strategi  ofensif/agresif penyesuaian internasional)
2.Defensive international adjustment (strategi defensif  penyesuaian internasional )
3.Offensive domestic adjustment (strategi ofensif penyesuaian dalam negeri)
4.Defensive domestic adjustment[6] (strategi defensif penyesuaian dalam negeri).

            Pilihan startegi pertama diatas adalah ofensif terhadap rezim internasional. Strategi dalam penyesuaian terhadap rezim (cara pengaturan) internasional yang bertujuan untuk menghindari kesulitan penyesuaian di dalam negeri adalah dengan menciptakan tata internasional baru yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi politik dalam negeri (offensive international adjustment). Jadi strategi ini membutuhkan energi besar untuk mempengaruhi dunia atau forum internasional dan juga mempengaruhi negara-negara lain agar pengaturan, kesepakatan atau agreement di tingkat internasional sesuai dengan kepentingan domestik atau dalam negeri suatu negara.
            Sebaliknya pilihan kedua adalah cenderung defensif terhadap rezim atau keadaan yang ada. Hal ini dapat terjadi bila suatu negara mengambil kebijakan internasional yang cenderung mengikuti arus pengaruh internasional yang ada.Atau negara sudah mendapatkan keuntungan dari keadaan internasional yang ada.  Negara hanya sekedar menyepakati aturan-aturan main internasional yang ada. Hal ini jelas berkebalikan dengan strategi pertama dimana suatu negara secara aktif memainkan pengaruhnya agar aturan internasional atau kesepakatan internasional sesuai dengan kepentingan dan kondisi suatu negara. Dengan kata lain pilihan kebijakan negara tersebut adalah pro status quo, pro keadaan yang ada atau telah ada, oleh karena itu disebut sebagai strategi defensif. Meskipun demikian usaha kebijakan strategi mempertahankan rezim internasional yang ada (defensive   international adjustment) ini dapat pula memerlukan diplomasi  yang kuat seperti halnya dalam strategi ofensif diatas.
            Sedangkan pilihan ketiga adalah, ofensif domestik. Pilihan ini mengedepankan kebijakan penyesuaian domestik secara ofensif. Oleh karena itu kebijakannya adalah memperbarui aturan-aturan domestik yang ada, menyesuaikan dengan rezim internasional secara agresif. Bahkan bila perlu melakukan perubahan-perubahan struktural ekonomi politik menyesuaikan arus global. Maka kebijakan ini disebut sebagai kebijakan ofensif penyesuaian dalam negeri. Pemerintah bahkan dapat memainkan peran interventif yang kuat untuk mendorong berbagai perubahan lembaga politik dan ekonomi dalam negeri sesuai dengan arus internasional atau global.
            Berbeda dengan pilihan kebijakan ketiga diatas, kebijakan strategi keempat, negara berupaya sekuat mungkin melindungi struktur ekonomi politik dalam negeri. Secara defensif negara memilih kepentingan-kepentingan dalam negeri sebagai prioritas kebijakan. Oleh karena itu kebijakan ini cenderung pro status quo dalam negeri, kebijakan defensif. Kebijakan defensif cenderung protektif dan berusaha menghindari perubahan secara menyeluruh. Contoh dalam bidang ekonomi misalnya dengan pengenaan tarif tinggi, kuota ataupun subsidi produk-produk yang tidak kompetitif di pasar internasional.
            Dari uraian diatas secara diagramatik pilihakan strategi penyesuaian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:










INTERNATIONAL
DOMESTIC
OFFENSIVE
Create  new international
Regime
Change  domestic
structure
DEFENSIVE
Maintain or protect
international
regime
Protect  domestic
structure

            Berangkat dari model penyesuaian diatas dan dihubungkan dengan kepentingan nasional,  maka akan dapat pilihan-pilihan strategis kebijkan negara dalam politik internasional dan politik dalam negeri. Pilihan strategis ini mendasarkan pada asumsi rasional negara, dimana aktor negara benar-benar mempertimbangkan pilihan berdasarkan keuntungan dan kerugian serta resikonya. Dengan pertimbangan rasional strategis demikian, pilihan prioritas negara dapat digambarkan berikut: Pertama, negara berusaha meminimalkan resiko biaya / kerugian pemerintah dan berusaha memaksimalkan kemampuan kompetitif sektor ekonomi dan politik. Jika harus memilih makan pilihannya pada pemerintah mengambil pilihan resiko minimal, bukan memaksimalkan kemungkinan keuntungan kompetitifnya. Kedua, kebijakan pada arena internasional memiliki resiko pemerintah (politik) yang lebih rendah daripada kebijakan dalam negeri. Ketiga, kebijakan ofensif mempunyai tingkat keuntungan kompetitif lebih tinggi dibanding kebijakan defensif.[7]

2.      Implikasi Globalisasi & Strategi Penyesuaian
            Sebagaimana dijelaskan secara singkat diatas, pengertian globalisasi sangat beragam, ahli-ahli memberikan pengertian yang berbeda-beda sesuai sudut pandang atau fokus studinya. Dengan membedakan sisi umum dan spesifikasi, globalisasi dapat dibedakan dalam pengertian umum yang menyangkut semua aspek kehidupan atau aspek khusus, yaitu hanya segi ekonomi. Globalisasi sebagai suatu visi adanya dunia tanpa batas ( borderless world ) dan perkambungan dunia / global village. Globalisasi demikian menunjukan melemahnya dimensi teritorial dan kedaulatan nasional. Pada sisi ekonomi, globalisasi menunjukkan pula kecenderungan meningkatnya penetrasi pasar, liberalisasi dan dominasi ekonomi internasional atas ekonomi nasional. Hal ini juga membawa dampak melunturnya atau melarutnya nilai kebangsaaan/nasionalisme terutama yang terkait ekonomi. Hal ini secara seloroh sering disebutkan bahwa rupiah atau dolar (uang) tidak mengenal nasionalisme.
Globalisasi lebih dari sekedar internasionalisasi sebagaimana pada masa kolonialisme abad ke 15 hingga awal abad ke 20, yang lebih menekankan pada aspek perdagangan dan eksploitasi sumber daya alam atau sumber bahan mentah. Globalisasi lebih kompleks dan menyangkut berbagai fenomena kehidupan individu, lembaga sosial,  lembaga bisnis dan negara. Oleh karena itu ada banyak aspek dan pengertian globalisasi. Paul Viotti dan Mark Kauppi menyebut bahwa globalisasi mencakup proses peningkatan hubungan sosial kultural dan ekonomi secara berkelanjutan  (globalization refers to the  of continual increase in transnational and worldwide economic, social, and cultural interactions that transcend the boundaries of states, aided by advances in technology).[8]
Dalam pengertian lebih longgar  sosiolog Antony Giddens menyebut globalisasi  sebagai konsekuensi modernisasi. Sedangkan ahli  lain misalnya, Roland Robertson dalam bukunyaGlobalization, menyebutkan bahwa globalisasi sebagai suatu konsep  merujuk pada dua aspek yaitu kompresi atau penyempitan  (relatif) dunia dan intensifikasi kesadaran akan dunia sebagai satu keseluruhan atau kesatuan. Menurut Thomas Freidman, Globalisasi juga diartikan sebagai tumbuhnya jaringan internasional seperti world wide web, dunia yang terintegrasi, dan hal ini berbeda dengan masa perang dingin yang justru membuat negara-negara dunia terkotak-kotak atau terbagi-bagi. [9] 
Secara teoritis Profesor Budi Winarno, mengkategorikan kelompok penganut pandangan globalisasi ke dalam tiga kelompok kategori, yaitu: hiperglobalis, kelompok skeptis dan transformasionalis. Kelompok  pertama hiperglobalis ini memandang bahwa globalisasi sebagai fenomena sejarah baru kehidupan manusia,   dimana “negara tradisional” telah menjadi tidak relevan, dan terlebih tidak dapat menjadi unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global. Pandangan ini menekankan gejala ekonomi global yang mendorong denasionalisasi, sistem network produksi dan distribusi secara global/internasional dengan dukungan perdagangan dan keuangan global. Dalam sistem economics borderless demikian, negara lebih sebagai semacamtransmission belt bagi kapital global dan sekedar institusi perantara antara kekuatan global dan regional dengan kekuatan lokal dan nasional yang sedang tumbuh. Pada akhirnya perkembangan ekonomi akan membawa proses ekonomi global dengan lembaga-lembaga “governance” global serta penyebaran budaya pop sebagai fakta dan tatanan Baru.
Kelompok kedua sebagai kelompok skeptis, melihat bahwa globalisasi bukanlah produk baru tetapi punya akar sejarah panjang. Pendukung kelompok ini sangat tidak setuju dengan pernyataan hiperglobalis tentang negara. Menurut kelompok skeptis negara masih memiliki kekuatan untuk mengatur ekonomi internasional. Negara nasional masih merupakan kekuatan penting untuk mengatur ekonomi global dan yang mampu menjamin proses liberalisasi ekonomi terus berlanjut. Pembangunandan pertumbuhan  ekonomi justru lebih memarginalkan negaranegara berkembang karena perdagangan dan investasi cenderung hanya mengalir diantara negara-negara maju dan kaya.
Kelompok ketiga, sebagai transformasionalis yang inti pandangannya melihat bahwa globalisasi merupakan kekuatan utama di balik perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik yang menentukan perkembangan masyarakat modern dan tatanan dunia (world order). Perkembangan globalisasi sekarang ini tidak pernah ada sebelumnya, dimana tidak lagi jelas pembedaan antara domestik dan internasional.
Kelompok transformasionalis meyakini bahwa peran negara masih penting, bukan menghilang atau tidak diperlukan, negara masih tetap relevan dan  sejalan pula dengan meningkatnya peran organisasi-organisasi bisnis multi nasional/transnasional. Kekuasaan negara dalam era globalisasi ini bukan hanya satu-satunya kekuatan pemegang keuasaan dan keputusan tunggal, tetapi juga ada aktor-aktor lain yang berpengaruh seperti MNC/TNC. Negara tidak bisa hanya membuat klaim normatif pemegang kedaulatan, tetapi harus mengaktualkannya dalam dinamika politik global yang makin beragam termasuk aktornya yang makin banyak, tidak terbatas hannya aktor negara. Negara tidak hanya normatif, tetapi harus aktual memainkan pengaruhnya secara internal maupun global/internasional[10]
            David Held, (Democracy and Global System, 1991) menyebutkan bahwa globalisasi memiliki dua aspek sekaligus. Pertama, globalisasi adalah aktifitas ekonomi, politik dan sosial yang jangkauannya mencakup secara global (seluruh dunia dunia). Kedua, globalisasi merujuk adanya intensifikasi tingkat-tingkat interaksi dan saling keterkaitan (interconnectedness) antara negara dan masyarakat sehingga terbentuk komunitas internasional. Hal ini dimungkinkan oleh perkembangan yang luar biasa dari teknologi komunikasi dan informasi, yang diikuti pula perubahan dalam pola hubungan dagang, hukum, organisasi, dan dalam hubungan antara manusia dan masyarakat dari berbagai tempat yang berbeda. Kelompok transformasionalis melihat negara tidak lagi bisa berlindung dibalik klaim kedaulatan negara dan menjadi satu-satunya aktor penting dalam pengambilan keputsan, tetapi negara sejajar dengan aktor lain khususnya lembaga-lembaga “governance” internasional.
            Sejalan dengan pemikiran pemikiran diatas, salah satu dampak yang signifikan dari globalisasi ini terutama adanya penurunan atau krisis otonomi negara (kedaulatan) nasional. Akibatnya memaksa negara-negara untuk bekerja sama lebih erat agar dapat mengatasi masalah-masalah baru yang muncul dari suatu negara atau yang muncul di banyak negara yang tidak dapat diatasi sendiri oleh satu negara.  


Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut [11] :

Growth of global interconnectedness
in a number of key dimensions :
economics, politics, technology,
communications and law


 


Growing permeability of borders

Diminution of state’s capacity to generate
policy instruments able to control the
flow of goods and services, ideas
and cultural products, etc.
 

Growth in requirement of states to
co-operate with each other to
control policy outcomes

Growth in international agencies and
institutions, e . g . mechanisms to
sustain the balance of power,
expansion of regimes, development
of international organizations, multilateral diplomacy,
scope of  international law and co-operation with
non-state actors and processes

Creation of a system of global
governance which, as one of its
outcomes, sustains and redefines
the power of state

Interdependent global system created, wich
none the less remains highly fragile-
vulnerable to shifts in resources,
ideologies and technologies.
            Dalam bidang ekonomi, bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia, globalisasi dirasakan sebagai adanya “tekanan” untuk meliberalisasikan struktur ekonomi dalam negeri. Hal ini merupakan dorongan untuk menyesuaikan struktur ke dalam negeri agar sesuai dengan arus global / internasional. Tekanan liberalisasi ini secara umum bekerja melalui dua “mekanisme berbeda”, yaitu: mekanisme interdependensi perdagangan barang, jasa dan investasi, dan melalui mekanisme penyehatan negara-negara yang mengalami krisis ekonomi ataupun moneter.[12]
            Pertama adalah melalui implikasi peningkatan perdagangan dan interdepensensi finansial (kuangan) terhadap pilihan kebijakan ekonomi  yang relevan. Meningkatnya interdepedensi ini berarti meningkatnya bobot aktor-aktor ekonomi domestik yang mempunyai kaitan dengan aktor luar/internasional. Hal ini mendorong adanya peningkatan tekanan untuk keterbukaan pasar keuangan agar sesuai dengan keinginan internasional dan juga pemodal dalam negeri. Karena hal ini akan memaksimalkan keuntungan ekonomis pada aktor yang terlibat. Oleh karena itu sangat mudah dipahami apabila industri-industri keuangan (financial firms) dari negara-negara industri sangat aktif melakukan lobi-lobi untuk membuka pasar uang negara berkembang. Industri finansial internasional juga mempengaruhi pemerintahannya / negara-negara maju untuk tetap melakukan tekanan-tekanan secara bilateral maupun multilateral agar pasar financial internasional khususnya di negara-negara berkembang dapat lebih terbuka aksesnya.
            Hal ini misalnya, tercermin dalam berbagai argumentasi AS dan negara-negara industri lainnya dalam proses perundingan Putaran Uruguay sejak tahun 1986 dan berlanjut terus hingga dalam organisasi perdagangan dunia / WTO, antara lain :
1.    Perdagangan bebas tradisional yaitu perdagangan barang seperti yang telah banyak diatur  dalam GATT hingga saat ini tidak lagi mencukupi, sektor jasa saat ini dipandang juga sangat penting. Oleh karena itu cakupan liberalisasi juga harus sampai ke sektor jasa.
2.    Dalam upaya memfasilitasi pertukaran dan arus jasa ini, maka proteksi-proteksi yang ada hanya menimbulkan inefisiensi dan ketidakmakmuran secara menyeluruh. Oleh karena itu usaha-usaha jasa yang memfasilitasi perdagangan, investasi dan pasar uang mestinya bisa dibuka tanpa diskriminasi untuk kemakmuran bersama. Pada gilirannya hal ini perlu diadakan harmonisasi dan koordinasi kebijakan makro ekonomi dan finansial antara negara dapat dihilangkan distorsi pasar.
3.    Adaya kemungkinan penggunaan cross retaliation (pembalasan silang) dalam perselisihan perdagangan. Misal suatu negara yang melanggar regulasi internasional bidang bea masuk otomotif, barang-barang ekspornya dapat dikenai pembalasan melalui tarif tinggi tidak hanya barang-barang otomotif tetapi bisa barang lainnya, sehingga akan menghambat perdagangannya. Apabila hal ini dipaksakan, dikhawatirkan bahwa Dispute Setlement Body  (DSB) yang menentukan hukuman akibat pelanggaran perdagangan dan memiliki kekuasaan besar,  cenderung dikontrol oleh negara-negara maju.[13]
Disamping itu dengan kompleksitas dan membesarnya perdagangan dan investasi membuat kontrol  terhadap aliran/gerak pasar yang sangat sulit. Kenyataan lain membuktikan pula bahwa integrasi ekonomi tidak hanya merubah proses distribusi  barang dan jasa, tetapi lebih jauh lagi berakibat pada mencairnya makna batas-batas negara dalam ekonomi internasional.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keterkaitan perdagangan internasional dan investasi, serta kesempatan membuka pasar jasa internasional yang timbul akibat meningkatnya pasar finansial internasional memberi tekanan agar timbul liberalisasi dan internasionalisasi pasar finansial  dan pasar barang domestik serta melemahkan kontrol negara atas kehidupan ekonomi dan finansial nasional
Kedua, tekanan internasional untuk liberalisasi finansial/jasa ini  melalui saluran mekanisme penyehatan negara menghadapi krisis ekonomi/neraca pembayaran suatu negara. Negara terancam krisis biasanya akan melakukan kebijakan untuk memperketat kontrol atas pergerakan kapital/modal. Untuk membatasi pelarian modal dan meminimalkan dampak defisit neraca pembayaran dalam jangka pendek. Akan tetapi kenyataan dalam dua dekade belakangan  ini, setelah banyak menyesuaikan diri dengan model pasar terbuka IMF, justru negara- negara yang ikut program IMF menunjukan cenderung rentan terhadap krisis baru. Dan munculnya krisis baru makin mendorong keterlibatan lebih jauh IMF maupun  Bank Dunia. Ada gejala bahwa krisis ekonomi , misalnya neraca pembayaran justru mendorong keterbukaan terhadap peran finansial internasional atau makin terjadi  internasionalisasi pasar finansial.
Upaya ini dilakukan dengan koordinasi IMF yang biasanya disertai dengan program penyehatan suatu ekonomi nasional yang berporoskan liberalisasi lebih lanjut pengelolaan ekonomi dan finansial negara yang bersangkutan. Selama tahun 1985-1990, misalnya IMF melaporkan adanya krisis keuangan negara-negara liberalisasinya makin meningkat, dan disertai pula meningkat jumlah negara yang melakukan liberalisasi dari 22 negara menjadi 62 negara. Upaya liberalisasi ini umumnya dalam kerangka memulihkan kepercayaan investor dan mengembalikan modal yang telah ditanam suatu negara dan berupaya menarik kembali modal suau negara yang dibawa keluar untuk stabilisasi krisis ekonomi.
 Dengan melihat proses di atas dapat dibayangkan bahwa hal ini membawa implikasi yang luas dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional. Secara tidak langsung liberalisasi tampaknya, tidak sekedar adanya keyakinan bahwa perekonomian akan lebih baik jika diliberalkan, terlepas konteks kesiapan sarana, prasarana dan sumber daya manusianya. Tetapi liberalisasi lebih merupakan hasil (respon) tekanan internasional secara sistematik terhadap ekonomi suatu negara.[14]
Pada waktu lalu ketika saat-saat krisis ekonomi dan keuangan di negara-negara berkembang mulai Asia Timur, Amerika Latin dan negara-negara Eropa Timur khususnya negara pecahan Uni Soviet, negara-negara maju bertindak menjadi “penolong”.  Negara-negara maju melalui organisasi-organisasi internasional  berusaha melakukan semua tindakan yang perlu untuk memperbaiki krisis tersebut, namun kadang yang terjadi justru menbawa pada keadaan yang lebih sulit. Banyak kasus program-program IMF secara jelas memperburuk keadaan negara-negara Asia Timur, dan program “shock therapy” yang  didesakkan IMF memainkan peran penting kegagalan transisi Eropa Timur, khususnya negara-negara pecahan Uni Soviet dan banyak negara lain di Asia.[15]
Program liberalisasi yang digerakkan IMF dan bank Dunia mencakup  tiga pilar program pokok yaitu: Liberalisasi perdagagangan dan keuangan, deregulasi dan privatisasi. Tiga pilar kebijakan didorong agar pemerintahan dapat lebih efisien dan alokasi sumber ekonomi menjadi lebih tepat sasaran dengan pasar (market) sebagai pengerak utamanya. Melalui kebijakan ini pemerintah didorong untuk tidak melakukan bisnis atau melepaskan bisnisnya (privatisasi) karena tidak kompeten, tidak efisien dan menjadi sumber masalah  anggaran. Dalam kerangka kebijakan efisiensi anggaran juga pemerintah negara-negara peserta program hutang bank Dunia dan IMF ditekan untuk secara bertahap menghilangkan subsidi yang dianggap cenderung misalokasi sumber daya dan hal ini berarti pemborosan. Sedangkan pada sektor perdagangan dan keuangan, kebijakan didorong untuk meminimalkan campur tangan pemerintah dalam perdagangan dan jasa keuangan, dan restorasi pasar dengan menghilangkan berbagai sistem proteksi industri baik dengan tarif maupun non tarif. Termasuk dalam aspek ini dalah devaluasi mata uang dan meciptakan sistem kurs mengambang (floating) bergantung dinamika pasar. Hal ini sejalan dengan kebijakan deregulasi untuk memudahkan segala usaha dan kompetisi usaha di masyarakat baik pada level nasional maupun internasional. Deregulasi juga ditujukan untuk menjaga kemudahan-kemudahan usaha dan pertumbuhan ekonomi. Namun seringkali kemudahan menjadi penyelewengan termasuk penggunaan dana-dana bank secara tidak bertanggungjawab dan berakhir dengan mismanajemen dan kebangkrutan.[16]
Jika kita melihat kasus krisis di Indonesia, saat ini tampak bahwa sesungguhnya krisis dan liberalisasi tidaklah mendadak. Jika kita pelajari dinamika pressure (tekanan) itu dan responnya dalam bentuk usaha liberalisasi pengaturan ekonomi terus berlangsung. Sesungguhnya proses ini telah timbul sejak tahun 1970-an pada waktu krisis harga minyak dan memuncak pada tahun 1980-an  ketika kembali terjadi permasalahan harga minyak. Oleh karena itu sejak tahun 1980-an sudah terjadi deregulasi ekonomi untuk menyesuaikan pasar global.[17]
Namun deregulasi tersebut tidak tuntas atau bahkan masih tetap terdistorsi oleh karena adanya pola korupsi, dan kolusi yang sudah sangat kuat. Hal ini masih berlanjut hingga runtuhnya  rezim Orde Baru, bahkan sampai tingkat tertentu hingga saat ini. Sesungguhnya pembiayaan pembangunan atau perdagangan selama ini juga dilaksanakan dalam kondisi defisit anggaran. Dengan demikian, akumulasi kesulitan terus berlanjut dalam jumlah yang sangat besar. Misal utang luar negeri Indonesia sudah hampir setara dengan produk nasional kotor/buto pada waktu sekitar masa krisis 1997/1998.  Krisis moneter yang berlanjut pada krisis ekonomi di Indonesia telah membawa arah liberalisasi ekonomi lebih lanjut. Pemerintah Indonesia telah menandatangani kesepakatan pembaruan ekonomi untuk mengatasi krisis yang bertumpu pada kebijakan liberalisasi. IMF menyediakan “standby loan” sebesar 23 milyar Dollar AS, sehingga keseluruhan 43 milyar Dollar AS.
          Terdapat harapan bila Indonesia dapat secara konsisten melakukan restrukturisasi dan program penyehatan secara konsisten maka diharapkan ekonomi dapat pulih dan pada saat bersamaan memiliki struktur ekonomi yang integral dengan ekonomi internasional. Namun melihat pengalaman-pengalaman negara-negara yang dibantu IMF, seperti Bolivia, Argentina, Mexico dan negara-negara eks Uni Soviet termasuk Eropa Timur, menunjukkan bahwa, pemulihan membutuhkan waktu yang panjang. Bakan hingga kini Mexico pun belum pulih benar dari dampak krisis tahun 1984/85 -1995.
Bahkan lebih sisnis lagi, dikatakan Indonesia sudah tidak memiliki kedaulatan ekonomi. Semua strategi penyehatan (baca : penyesuaian) kembali ekonomi nasional bertumpu pada agenda-agenda yang disepakati bersama Indonesian dan IMF. Dan lebih jauh lagi terdapat kekhawatiran akan membawa ke dalam jebakan utang  (debt trap) kapitalisme yang tak akan pernah berakhir dalam proses pembangunan atau eksistensi negara.
Sedang dalam bidang politik juga terjadi penyesuaian domestik terhadap tekan globalisasi, khususnya dalam intergrasi nasional. James J. Coleman dan Carl G. Rosburg, sebagaimana dikutip Nazaruddin Sjamsudin menyebutkan bahwa intergrasi nasional mencakup integrasi vertikal (elite-massa) dan horisontal (teritorial). Integrasi vertikal merupakan upaya menjembatani elite dengan mana dalam rangka pengembangan proses politik yang padu dan positif. Sedangkan integrasi horisontal bertujuan untuk mengurangi diskontinyuitas dan ketegangan kultur kedaerahan dalam rangka proses penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen.[18]
Dalam upaya integrasi ini Indonesia memiliki kemajemukan masyarakat yang luar biasa.Masing-masing sub kultur daerah dan budaya, seperti agama, tidak memiliki pola afiliasi saling silang (cross cutting affliates) yang tinggi. Oleh karena itu potensi konflik bisa sangat tingi, karena tidak ada aspek integratif yang menghubungkan antar pihak dalam masyarakat.[19]
Disamping itu suasana antar golongan masyarakat dan antar daerah memiliki kesenjangan ekonomi yang masih relatif tinggi. Selama ini seolah-olah terdapat polarisasi ekonomi antara Jawa – Luar Jawa, Indonesia Barat – Indonesia Timur, dan antara kota dan pedesaan. Polarisasi ekonomi juga tercermin pada level individual antara kaya dan mskin yang memiliki jarak yang jauh. Selama ini terdapat pandangan umum bahwa sebagian besar pembangunan sebenarnya lebih dinikmati oleh sebagain kecil ( sekitar 20%) penduduk Indonesia yang berpenghasilan tinggi.
Pada masa lalu, integrasi nasional ditempuh dengan cara yang otoritarian. Selama rezim Orde Baru/Suharto menindas berbagai wacana kritis, upaya demokratisasi dan pemberdayaan kekuatan rakyat. Demikian pula  aspirasi daerah penghasil sumber daya alam untuk mendapatkan bagian lebih besar hasil kekayaan tersebut dan percepatan pembangunan yang lebih adil senantiasa ditutup-tutupi. Bahkan untuk daerah-daerah rawan keamanan daerah cenderung ditekan, bahkan ditindas dengan pendekatan militer keamanan . Hal ini sering dikhawatirkan dapat menjadi “bom waktu” perpecahan yang sangat bahaya. [20]Walaupun demikian untuk kasus Indonesia, desintegrasi dalam bentuk pecahnya negara memang, relatif masih belum aktual, namun secara sosial masyarakat terasa terpecah atau kurang menyatu.
Pada masa lalu strategi otoritarian, represif dapat mempertahankan integrasi nasional dan status quo, namun saat ini dengan adanya era globalisasi yang sangat terbuka, dan disertai tuntutan demokrasi dan penegakan hak-hak asazi manusia tindakan represif tidak lagi dapat diterima. Bahkan upaya integrtif yang represif dapat kontra produktif dalam usaha mengintegrasikan bangsa secara keseluruhan. Dalam perspektif inilah, dewasa ini upaya reprsif pemerintah di Papua, misalnya sangat disayangkan dan ditolak masyarakat. Upaya represif dapat makin menmbulkan perpecahan masyarakat, bahkan dapat pula mengundang upaya intervensi pihak luar atau asing.
Untuk itu upaya integrasi tampaknya lebih tepat dengan mengedepankan atau menekankan usaha dialogis dan demokratis. Dengan demikian penyesuaian politik dalam negeri berarti melakukan perubahan-perubahan struktur politik yang lebih mampu mengakomodasi aspirasi demokratis. Kasus Aceh sebelum 2005, dan Papua hinga saat ini, menunjukkan hal ini. Bila pemerintah melakukan operasi besar di Papua,  sangat rentan timbul pelanggaran-pelanggaran HAM, yang dapat mengundang perlawanan lokal lebih intensif atau intervensi atau tekanan dari luar. Saat ini sudah banyak LSM internasional pemerhati Papua, kaukus anggota parlemen di kawasan negara-negara Pasifik (solodarits Melanesia), juga ada beberapa anggota parlemen Inggris dan AS yang getol mengkritisi masalah Papua. Sedangkan pada sisi diplomatik sebagai ujung tombak untuk penyesuaian ofensif internasional tampaknya kurang dilakukan. Dalam aspek penyesuaian internasional, Indonesia tampaknya relatif hanya sibuk di sekitar ASEAN yang sebenarnya tidak terlalu memiliki dampak pada masalah Papua.
Pemikiran tersebut terkait pula dengan kecenderungan baru globalisasi keamanan, yang tidak hanya menyangkut militer, tetapi juga keamanan individu yang sama-sama mendapat perhatian internasional. Dalam masalah politik dan keamanan, globalisasi juga telah memberikan peluang munculnya atau menguatnya kecenderungan intervensionisme dengan alasan utuk keperluan kemanusiaan atau humanitarian intervention dan keamanan sipil suatu wilayah. Juridiksi domestik suatu negara atau kedaulatan dapat menjadi relatif atau tidak dihormati bila terjadi pelanggaran HAM yang kasar atau luar biasa (gross violation) seperti terjadi di Kosovo, Bosnia (konflik Balkan) dan Rwanda. Intervensi kekuatan internasional baik dengan senjata (force) maupun dengan misi minimal untuk mendukung perdamaian ( Peace Keeping Operation / PKO ) telah mulai lazim dilaksanakan. Kencenderungan ini mendapatkan pembenaran melalui sikap Sekjen PBB yang cenderung menerima humanitarian intervention (pidato Kofi Annan dalam sidang umum PBB 1999). Dengan melihat kemungkinan besarnya intervensi asing bila banyak terjadi pelanggaran HAM, maka respon yang relatif aman cenderung menyesuaikan penanganan dalam negeri sejalan dengan arus global yang secara terbuka mengedepankan HAM, lingkungan dan demokrasi.
            Dengan kuatnya tekanan dan pengaruh globalisasi termasuk di dalamnya arus liberalisasi, umumnya mendorong negara untuk menyesuaikan keadaan domestiknya. Upaya respon negara-negara berkembang termasuk Indonesia,  kadang sangat agresif atau ofensif. Pilihan respon ke arah ofensif ke dalam negeri juga didorong oleh karena perubahan ke dalam relatif lebih mudah, walaupun kadang kala juga memerlukan biaya besar baik politik, sosial dan ekonomi. Namun hal  ini masih dipandang realistis, dibanding upaya merubah sistem dunia yang cakupannya sangat luas, sehingga banyak memerlukan energi diplomasi. Kebanyakan negara berkembang mengikuti alur reformasi sistem sosial ekonomi politik yang menjadi pedoman lembaga-lembaga internasional. Terlebih lagi bila negara tersebut terikat hutang baik kepadaBank Dunia untuk pembiayaan pembangunan maupun hutang kepada IMF untuk pembiayaan perdagangan luar negeri atau stabilisasi moneter atau bila menghadapi krisis hutang dan ekonomi secara umum.

Daftar Pustaka
Friedman, Thomas L.  Memahami Globalisasi: Lexus dan Pohon Zaitun, Bandung: Penerbit ITB, 2000
Held, David (ed.), Political Theory Today”, California: Stanford University Press, 1991.
Holsti, K.J. International Politics: A Framework For Analysis (6th. ed.), New Jersey: Prentice Hall International, 1992.
Harris, Syamsudin , et.al., Indonesia Diambang Perpecahan, Jakarta: Erlangga, 1999.
Ikenberry,  G. John. “The State and Strategies of International Adjustment”, World Politics, Vol. XXXIX. No. 1, Oktober 1986,
Keohane, Robert. and  Helen V. Milner, Internationalization and Domestic Politics, New York: Cambridge University Press, 1996.
Khoor Kok Peng, Martin.  Imperialisme Ekonomi Baru: Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia  Ketiga, Jakarta: Gramedia, 1993.
Mas’oed, Mohtar. Studi Hubungan Internasional : Tingkat Analisis dan Teorisasi, Yogyakarta : PAU, UGM, 1989.
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1984.
Prawiro, Radius.  Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Jakarta: Gramedia, 1998.
Robertson, Roland. Globalization: Social Theory and Global Culture, London: SAGE Publications Ltd, 1992.
Sjamsudin, Nazarudin. “Dimensi-Dimensi Vertikal Dan Horisontal Dalam  Integrasi Politik”Jurnal Ilmu Politik, No. 8 tahun 2000.
Stiglitz, Joseph. Making Globalization Work, New York: Allen Lane (Penguin Group ), 2006.
Viotti, Paul R. dan Mark V Kauppi,  International Relations and World Politics: Security, Economy, Identity, (4th. ed), New Jersey: Pearson Education  International (Prentice Hall), 2009.
Winarno,Budi,  Globasasi & Krisis Demokrasi, Jogjakarta: Media Pressindo, 2007.
__________    , Melawan Gurita Neoliberalisme, Jakarta: Erlangga, 2010.



[1] Budi Winarno, Globaisasi & Krisis Demokrasi, Jogjakarta: Media Pressindo, 2007, hlm. 122 – 124.
[2]  Paul R Viotti dan Mark V Kauppi, International Relations and World Politics:Security,Economy,Identity, (4th. ed), New Jersey: Pearson Education International/Prentice Hall,  2009,  hlm. 7. 
[3] Ibid, hlm.5-7.
[4]  Lihat pula, Mohtar Mas’oed, Studi Hubungan Internasional : Tingkat Analisis dan Teorisasi, Yogyakarta : PAU, UGM, 1989, hlm. 85-91.
[5] Tokoh realis H.J  Morgenthau melihat hal ini lebih terbatas lagi  dan meletakkan kepentingan nasional (national interest) sebagai “power” atau kekuasaan, sedangkan Holsti melihat lebih terperinci mencakup keamanan, otonomi, kesejahteraan dan prestige negara,  lihat  K.J. Holsti, International Politics: A Framework For Analysis (6th. ed.), New Jersey: Prentice Hall International, 1992, hlm.  82-114.
[6] G. John Ikenberry, “The State and Strategies of International Adjustment”, World Politics, Vol. XXXIX. No. 1, Oktober 1986, hlm. 57-60.
[7] G. John Ikenberry, Ibid. hlm. 118 – 119.

[9]  Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture, London: SAGE Publications Ltd, 1992, hlm. 8. Lihat pula penjelasan Thomas L. Friedman,  dalam bukunya, Thomas L. Friedman, Memahami Globalisasi: Lexus dan Pohon Zaitun,Bandung: Penerbit ITB, hlm. 12 -28. Lihat pula penjelasan tentang globalisasi dari Budi Winarno, Op.it, hlm . 1- 36.

[10]  Budi Winarno, Op.cit. hlm. 12-14.
[11] David Held, “Democracy: The Nation State And The Global System” dalam David Held (ed.), Political Theory Today”, California:Stanford University Press, 1991, hlm. 206-209.
[12]  Robert Keohane and  Helen V. Milner, Internationalization and Domestic Politics,New York:Cambridge University Press, 1996, hlm. 211.
[13] Martin Khoor Kok Peng, Imperialisme Ekonomi Baru: Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia  Ketiga, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 16-18.
[14] Untuk keterangan lebih jauh lihat dalam buku Robert Keohane and Helen Milner diatas.
[15] Joseph Stiglitz, Making Globalization Work, New York: Allen Lane (Penguin Group ), 2006, hlm. IX – X.
[16] Cf, Budi Winarno, Melawan Gurita neoliberalisme,  Jakarta: Erlangga, 2010, hlm. 47 – 66.
[17] Radius Prawiro, Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Jakarta: Gramedia, 1998, hlm. 297 – 465.
[18]  Nazarudin Sjamsudin, “Dimensi-Dimensi Vertikal Dan Horisontal Dalam  Integrasi Politik” Jurnal Ilmu Politik, No. 8 tahun 2000, hlm. 31-47.
[19] Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1984, hlm 27-50.
[20] Syamsudin Harris , et.al., Indonesia Diambang Perpecahan, Jakarta: Erlangga, 1999, hlm. 11 – 21.