Translator

Friday 15 April 2016




PILKADA DKI JAKARTA: MENDENGAR SUARA RAKYAT
Oleh: Andaru Satnyoto*

Dalam Pertemuan Focus Group Discussion (FGD) “Integrasi Ideologi Pancasila Dalam Pendidikan Kader PDI Perjuangan”, 2 Maret 2016 lalu, salah satu pembicara Dr. Mohammad Sobari dalam mengawali pemaparan pemikirnnya, menceritakan mitologi tentang pendidikan calon raja / calon pemimpin  negara, calon pemimpin masyarakat, yang kurang lebihnya sebagai berikut:  Konon, dalam suatu kerajaan yang sedang bertumbuh dan berkembang menjadi negara yang kuat, seorang raja sedang memikirkan bagaimana mendidik calon raja atau pemimpin berikutnya. Untuk itu Raja kemudian meminta seorang Maha Resi dapat mendidik, mempersiapkan calon raja, atau putra mahkota. Sang maha Resi kemudian meminta anak tersebut sang Putra Mahkota untuk pergi ke hutan mencatat, melaporkan apa yang didengarnya dari dalam hutan tersebut. Beberapa waktu kemudian Putra Raja kembali ke hadapan Maha Resi dan melaporkan begitu banyak suara yang didengarnya hampir semuar\ suara binatang dikatakannya didengarnya. “Baiklah, saya telah menyimak semua laporanmu” Kata Maha Resi. Selanjutnya ia meminta Putra Raja tersebut untuk kembali ke hutan. Setelah beberapa lama waktu, Putra Raja, kembali lagi melaporkan suara-suara yang dia dengar. Kali ini sudah tidak banyak lagi suara-suara yang dilaporkannya, sudah dia pilah suara-suara penting yang dia dengarkan. Maha Resi menyimak dengan penuh perhatian dan kemudian memerintahkan putra raja untuk kembali ke hutan. Tentu ini menjadi suatu yang sepertinya menjengkelkan , tetapi putra raja tetap menurut pada permintaan Maha Resi, dan ia kembali ke hutan. Setelah beberapa lama di hutan, Putra Raja makin belajar, makin mengerti, mengidentifikasi berbagai suara secara lebih hening, lebih jernih, termasuk suara-suara dalam kesenyapan. Akhirnya setelah beberapa lama, Putra Raja kembali dan melaporkan pengalamannya, pengalaman spiritualnya, pengalaman keheningannya pada Maha Resi. Putra Raja belajar dan mampu mendengar suara-suara yang  amat kecil sekalipun, bahkan suara-suara yang tidak terdengar, tidak tersuarakan dalam keriuhan hutan. Putra Raja mampu mendengar suara-suara yang hening, suara-suara sunyi, suara-suara yang sangat dalam, sangat jauh dari hiruk pikuk suara-suara biasa yang ada.
Dari cerita ini, kita dapat belajar, bahwa sejatinya pemimpin, termasuk para pemimpin masyarakat, pemimpin partai politik dari level yang paling kecil sampai pusat sebagai kader partai, haruslah mampu menangkap semua suara-suara di tengah komunitas. Bahkan termasuk suara-suara yang tak terkatakan, suara-suara hening, suara-suara yang senyap, suara-suara terdalam, terjauh dalam masyarakatnya.  Inilah esensi, jati diri pemimpin yang harus mampu mendengar suara sekecil apapun, suara-suara yang harus diperhatikan karena menyangkut rakyatnya, komunitasnya, masyarakatnya. Inilah tugas pemimpin di era demokrasi, juga untuk mendengar suara-suara rakyatnya, suara yang kecil dalam dan jauh pun. Demikian pula dalam hajatan pilkada mestinya suara-suara rakyat itu dapat didengarkan, termasuk suara-suara yang tak terkatakan. Hanya dengan dengan kejernihan hati dan pikiran pemimpin dapat menangkap suara-suara yang terdalam.. Termasuk dalam Pilkada DKI Jakarta, sudah menjadi kewajiban pempin partai politik untuk memilih dan merekrut calon pemimpin yng dikehendaki rakyat, sesuai dengan suara dan hati nurani masyarakat. Oleh karena itu setiap pemilihan kepala daerah sering begitu riuh rendah perdebatan dan suara rakyat. Hal ini harus ditangkap esensi terdalamnya.
Memang tidak terelakkan,  bahwa politik di Ibu Kota Jakarta,  khususnya persiapan Pemilihan Kepala Daerah  (Pilkada) langsung  atau Pilkada DKI Jakarta 2017, sekarang ini demikian dinamis,  intens dan seolah bergejolak. Isu yang riuh ini tidak terlepas dari manuver Gubernur petahana (incumbent) Basuki Tjahaya Purnama  alias Ahok yang menyatakan maju menjadi Calon Gubernur dalam Pilkada 2017 mendatang. Gubernur DKI Jakarta , Ahok yang saat ini didampingi oleh Wakil Gubernu (Wagub)  Jarot Syaiful Hidayat didukung oleh PDI Perjuangan sewajarnya memang  bisa  diusung oleh PDI Perjuangan yang memiliki cukup kursi (28 kursi) dukungan di DPRD DKI Jakarta atau lebih 22 kursi minimal yang dibutuhkan.
Majunya Ahok sebagai calon independen atau lebih tepatnya calon perseorangan, konon (seperti yang kita lihat di berbagai media massa) dilatarbelakangi oleh beberapa hal antara lain: pertama, menghargai relawan Teman Ahok yang bersusah payah mencari dukungan mengumpulkan KTP warga DKI untuk maju calon independen. Kedua, Teman Ahok meminta pendamping juga dari independen sekalipun Jarot Syaiful Hidayat yang dari PDI Perjuangan , harus keluar dari partai, maju bersama Ahok sebagai independen. Ketiga, Teman Ahok cenderung tidak mempercayai bahwa PDI Perjuangan bersedia mengusung Ahok sehingga beresiko Ahok tidak dapat maju sebagai Gubernur. Keempat, tampaknya Ahok mempertimbangkan  bahwa dengan maju melalui partai lebih mahal ketimbang maju melalui independen. Bahkan Ahok sempat menyebut lebih 100 milyar rupiah dana diperlukan untuk maju melalui jalur usungan partai politik.
Keadaan dan sikap majunya Ahok sebagai cagub DI Jakarta 2017 demikian menimbulkan reaksi keras  yang beragam antara lain: Pertama, ada yang menganggap bahwa,  sikap dan cara majunya Ahok sebagai cagub sebagai upaya deparpolisasi, dalam pengertian usaha untuk mengecilkan dan mengurangi atau bahkan menghilangkan peran partai politik. Kedua, Bahwa biaya pencalonan gubernur atau kepala daerah untuk partai politik di DKI Jakarta cukup besar dianggap memberatkan. Jadi lebih baik melalui jalur perseorangan saja yang dianggap lebih kecil. Oleh karena Ahok merasa tidak punya banyak biaya, Walaupun hal ini telah dibantah oleh partai-parai politik dan Ahok, namun dampak informasinya  cukup negatif di tengah masyarakat.  Oleh karena itu Ahok dianggap melakukan kebohongan dan berupaya menjelek-jelekan partai politik.  Karena pengalaman membuktikan bahwa partai politik yang mengusung Jokowi Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu,  justru yang bersusah payah mencari dana untuk keperluan kampanye dan kerja bersama  pengurus partai politik pengusung dari level pusat hingga ranting, khususnya PDI Perjuangan untuk suksesnya Jokowi – Ahok.
Suasana politik di DKI Jakarta dalam satu tahun ke depan tentu akan terus dinamis dan berubah. Namun satu hal penting bahwa partai politik menghadapi suatu tantangan untuk membuktikan bahwa keberadaannya sejalan dan dibutuhkan masyarakat, partai politik adalah alat perjuangan politik rakyat.  Partai politik ditantang untuk menjadi wajah dan wadah aspirasi rakyat. Partai ditantang untuk bias menjadi saluran suara rakyat.
Tantangan partai politik tersebut tidak mudah. Hal ini karena faktor realitas persepsi masyarakat yang negatif terhadap partai politik dan fakta adanya kader-kader partai  pejabat publik, anggota DPRD atau DPRRI yang jadi tersangka korupsi, terlibat narkoba atau perkara hukum lainnya. Suasana ini makin menimbulkan menguatnya sikap anti partai politik masyarakat.  Faktor lain adalah faktor historis keberadaan partai terutama pada masa Orde Baru yang dikerdilakan baik melalui deparpolisasi maupun depolitisasi massa rakyat.
Pengalaman  empiris dan historis (sejarah) pada masa lalu ini tampaknya cenderung memperkuat suasana anti partai politik yang timbul atau ada saat ini. Pengalaman masa lalu, selama Orde Baru,   sekitar 30 tahun, secara sistematis pemerintah / penguasa Presiden Suharto melalukan deparpolisasi  dalam arti yang sebenarnya seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa deparpolisasi berarti pengurangan jumlah partai politik (dalam kehidupan kenegaraan). Partai politik pada masa Orde Baru hanya dua yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang sering dikenang sebagai partai PDI Banteng segilima, dan Partai Persatuan Pembangunan atau Partai Ka’bah dan satu Gologan Karya mewakili unsur karya masyarakat dalam pemilihan umum.
Penguasa / pemerintah juga melakukan proses depolitisasi melalu kebijakan massa mengambang  (floating mass) yang memisahkan partai dengan massa rakyat. Partai politik praktis hanya berhubungan dengan rakyat  lima tahun sekali pada waktu pemilihan umum. Sedangkan sebaliknya Golkar yang dianggap representasi pemerintah memiliki kaitan langsung dengan rakyat dan bertugas seolah-olah melindungi dan mewakili kepentingan masyarakat. Dengan jaminan atau argumen bahwa Golkar yang merupakan golongannya  pemerintah tidak akan mungkin menjerumuskan (Bahasa Pak Harto njlomporongke rakyat). Hal ini juga dilengkapi trauma masyarakat atas keikutsertaan pada partai politik (karena afiliasi atau anggota dan pengurus PKI) yang kemudian ditindas, dibunuh dan dipenjarakan bahkan tanpa pengadilan. Pada masa Orde baru, penulis sebagai aktifis yang juga terjun ke masyarakat,   di desa-desa atau kecamatan, seringkali  mendengar ungkapan, “Mas di sini  di kecamatan ini, tidak ada politik, semua desa di sini, semua Golkar, jangan main-main politik di sini”. Ini yang sepertinya kelihatan pernyataan biasa, sesungguhnya  bagian dari depolitisasi massa rakyat. Berpolitik kalau tidak ikut pemerintah adalah sengsara, sensistif dan menyulitkan semua pihak.  Bersama pemerintah berarti  seseorang  itu harus  ikut Golkar bukan ikut partai politik.  Inilah yang disebut sebagai depolitisasi argumen.
Oleh karena itu pengalaman berpartai atau berpolitik atau tepatnya partisipasi rakyat dalam partai politik yang bebas barulah timbul setelah runtuhnya Orde Baru, pada masa atau era reformasi ini, sejak 1998. Pengalaman partisipasi politik yang bebas,  yang  asli, yang “genuine” ini,  terutama dalam partai politik muncul setelah pada masa pemerintahan Habibie 1998-1999 melakukan keterbukaan dan membebaskan berdirinya partai politik. Beragamnya partai politik belakangan mulai dikritisi karena menimbulkan suasana kurang stabilnya politik atau sekedar kegaduhan politik. Disamping itu dalam proses pengelolaan negara baik pusat maupun di daerah ternyata di mata masyarakat partai politik dianggap terlibat dalam berbagai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme yang  dijadikan musuh bersama dan tuntutan pembubaran orde baru. Isu KKN inilah yang juga dihantam pada waktu reformasi 1998 digulirkan
Isu lain adalah adanya informasi bahwa partai menjadi sarana pemerasan bagi para calon pemimpin daerah, Walikota, Bupati, Gubernur dan sebagainya. Muncul isu-isu bahwa untuk ikut seleksi dan diputuskan menjadi clon Bupati misalnya harus membayar biaya tertentu, membayar mahar politik. Informasi bahwa partai politik minta mahar dan sebagainya ini memang menyebar tapi tidak secara terbuka. Hal ini juga beresonansi memperkuat suasana atau sikap anti partai politik.
 Hal-hal inilah yang kemudian  menimbulkan dan memperkuat suasana anti partai politik. Jadi, dikaitkan dengan politik di atas khususnya pada Pilkada DKI Jakarta, yang terjadi sebenarnya bukan deparpolisasi tetapi lebih pada tumbuh-menguatnya suasana anti partai politik. Masyarakat seolah mulai menganggap partai politik menjadi bagian persoalan masyarakat, partai politik menjadi persoalan bangsa. Dalam media sosial atau berita on-line misalnya tanggapan pengguna sangat banyak yang negatif terhadap partai politik. Muncul pandangan bahwa  berpolitik tidak harus ikut partai politik. Bahkan ada yang menyebut berpolitik tanpa partai politik. Disinilah dalam suasna menuju pilkada DKI Jakarta saat ini, kemudian  muncul isu seolah calon perseorangan lebih baik; calon perseorangan atau sering disebut sebagai calon independen sebagai alternative demokrasi. Khususnya untuk pilkada DKI Jakarta karena Ahok menggunakan jalur perseorangan / independen. Suasana yang cenderung anti partai ini tidak muncul pada pilkada DKI Jakarta 2012, meskipun juga ada calon gubernur dari independen. Ini kemungkinan muncul karena faktor Ahok yang menjadi tokoh idola masyarakat untuk pilkada DKI sebagai mana dalam survey-survey selama ini. Faktor Ahok makin kuat juga terjadi, setelah Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung yang diharapkan dapat menandingi Ahok mundur dari pencalonan diri dalam pilkada DKI Jakarta. Dengan kuatnya arus   Ahok ini pada satu sisi, dan kurangnya atau lambatnya dukungan partai politik terhadap Ahok,  kemudian menampakkan bahwa partai politik menjadi lawan rakyat, partai politik tidak sejalan rakyat. Hal ini memperkuat pula resonansi suasana anti partai politik. Jadi dalam situasi ini seolah terbangun  suasana  anti partai politik. Partai politik tidak ada gunanya bagi rakyat. Partai politik menjadi parasit bagi kepentingan rakyat dan sebagainya.
Inilah tantangan utama partai politik.  Tantangan utama bagi  partai politik dalam Pilkada DKI Jakarta, sesungguhnya bukan bukan menghadapi Ahok, tetapi gerakan anti  partai  politik. Memang  secara sekilas penampakan soal ini tidak mudah dilihat. Karena secara politik suasana sikap anti partai belum sampai pada tuntutan sistematis untuk merubah undang-undang atau pengaturan yang mengurangi peran-peran utama partai politik dalam rekrutmen pemimpin politik, pengelolaan negara / pemerintahan , penganggaran, agregasi kepentingan, pembuatan peraturan dan perundangan dan sebagainya. Secara prinsipil tentu tidak mungkin pula, bila saat ini membangun dan mengelola negara tanpa partai politik. Secara prinsip dan legal pengelolaan demokrasi tanpa partai politik tentu bertentangan dengan konstitusi kita, UUD 1945. Dalam konstitusi negara sebagai wujud kontrak bersama seluruh masyarakat, seluruh rakyat dalam mengatur negara, menyepakati peran sentral partai politik dalam mengelola demokrasi negara.  Partai politik merupakan lembaga pengelola / pilar demokrasi negara dan lembaga pengelola politik kesejahteraan atau anggaran dan pengelola politik kenegaraan melalui rekrutmen pemimpin / pejabat negara di lembaga-lembaga negara baik langsung atau tidak langsung, melalui mekanisme kepemimpinan lima tahunan, yang ditentukan berdasarkan rezim pemilu demokratis, langsung , umum ,bebas,  rahasia,  jujur dan adil (rezim pemilu luber jurdil).
Untuk itu , partai politik harus mampu menjadi alat terdepan pengelolaan negara secara demokratis. Partai politik (kader-kader partai) harus  memiliki kesadaran terdepan dalam membangkitkan semangat rakyat untuk memperjuangkan kepentingannya. Meminjam istilah Bung Karno, gunanya partai politik adalah menjadi obor rakyat, menjadi suluh keasadaran massa tentang politik, tentang kemerdekaan, tentang kesejahteraan rakyat. Partai politik harus mampu menjadi pemimpin massa rakyat, partai politik harus menjadi teladan massa rakyat. Partai politik harus memiliki pengaruh atau berwibawa di depan massa rakyat. Hal ini hanya bisa  terjadi kalau partai politik mampu hidup bersama rakyat, mampu menyelami hatinya rakyat (kutipan bebas dari Bung Karno, Risalah Indonesia Merdeka, 1933). Partai politik dalam hal ini kader-kader partai politik harus mampu menjadi teladan, menjauhi sikap elitis, sikap menjauhi rakyat, tidak peka terhadap kebutuhan rakyat, dan korupsi. Partai politik harus mampu menjadi pusatnya perjuangan rakyat,  partai politik menjadi hatinya rakyat. Hal ini hanya bisa  terjadi kalau partai politik menyatu dengan rakyat,  mampu mendengar secara jernih suara rakyat yang terdalam, suara rakyat yang terjauh, suara rakyat yang tak tersuarakan sekalipun, suara rakyat yang senyap, suara silent majority. Jika suara rakyat itu menjatuhkan pilihan dukungan pada Ahok, maka  partai politik sudah sewajarnya mendukungnya. Partai politik menampung dan mengagregasikan suara, tuntutan dan kepentingan rakyat.

Jakarta, 27  Maret 2016

Andaru Satnyoto, SIP.,MSI

*Penulis adalah  Dosen FISIPOL UKI Jakarta, punya pengalaman dan terlibat kegiatan partai politik, dalam pemilihan legislatif dan pernah sebagai konsultan pilkada  di Indonesia.