Reshuffle
Kabinet : Mempercepat Capaian Nawacita
Oleh: Andaru Satnyoto
Saat ini berkembang wacana di masyarakat
tentang isu reshuffle kabinet atau pergantian menteri-meneteri Kabinet Kerja
2014 – 2019, yang terungkap di media massa dan berbagai pernyataan lembaga
ataupun dalam beberapa diskusi publik belakangan ini. Mengingat pemerintahan
sudah berjalan sekitar 1,5 tahun, tentunya
penilaian saat ini yang terjadi di
masyarakat, bukan
suatu evaluasi akhir untuk menilai
kinerja pemerintahan Jokowi. Bagi Presiden Jokowi penilaian evaluatif Kabinet Kerja
ini penting untuk melihat secara kritis seberapa jauh pencapaian Nawacita visi
misi Presiden Jokowi.
Perubahan susunan kabinet atau reshuffle tentu tidak ada salahnya karena
itu wilayah kewenangan sepenuhnya Presiden untuk mewujudkan janji politiknya
sebagai bagian dari perwujudan cita-cita nasional. Oleh karena itu tidak ada salahnya jika
Presiden melakukan penilaian terhadap menteri-menteri di Kabinet Kerja-nya
dengan melihat capaian program kerja yang sudah digariskan dalam Nawacita.
Dalam realitasnya, tentu harus ada
tolak ukur kinerja kementrian yang dalam menjalankan Nawacita, sebagai garis
program yang dikampanyekan Jokowi sewaktu Pilpres 2014.
Meskipun evaluasi atau penilaian
masyarakat saat ini masih bisa saja menimbulkan pro kontra, namun apapun penilaian berbagai kalangan masyarakat terhadap jalannya
Pemerintahan Jokowi, terutama kinerja para menteri Kabinet Kerja, patut
mendapat apresiasi positif. Hal itu menunjukkan bahwa rakyat secara aktif peduli
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuatu yang korelatif dengan tingkat
partisipasi pemilih (dukungan) pada Pilpres yang lalu. Kritik serta sumbang
saran merupakan cermin yang diperlukan oleh para pemegang otoritas yang
mendapatkan amanat tanggung jawab publik sesuai kontitusi dan sah adanya.
Justru kritik yang direspons positip dapat makin memperkuat legitimasi publik
terhadap pemerintah secara umum. Oleh karena dengan model interaksi positip
rakyat dan pemerintah demikian, akan makin memperkuat proses demokrasi
partisipatif kini dan mendatang. Kritik rakyat adalah energi perbaikan bagi
pemerintah.
Pengamatan secara
umum penilaian masyarakat terhadap kinerja pemerintahan sebenarnya tidaklah negatif. Bahkan umumnya masyarakat sebenarnya
relatif apresiatif terhadap usaha Jokowi melakukan percepatan pembangunan
khususnya infrastruktur, deregulasi berbagai aturan untuk kemudahan investasi
dan penguatan kemampuan pemenuhan pangan secara sistematis dalam jangka panjang.
Ada beberapa isu yang patut terkait hal ini antara lain:
Pertama, kinerja ekonomi terkait dengan
kebutuhan hidup orang banyak, dimana harga-harga barang kebutuhan sehari-hari dirasakan masyarakat telah meningkat sementara
kenaikan pendapatan tidak banyak berubah. Masyarakat merasakan bahwa pendapatan
tahun lalu, misalnya, tidaklah meningkat
signifikan atau berubah banyak, padahal harga barang telah meningkat. Kenaikan
harga kebutuhan pangan dan non pangan menjadi beban
keluarga (masyarakat) umumnya. Pada sisi ini
terkait pula dengan peningkatan peluang kerja baru. Pertumbuhan lapangan kerja
masih belum menurunkan tingkat pengangguran secara signifikan. Tentu ini tidak
terlepas dari problem pelambatan eknomi global. Sebagian usaha menciptakan
lapangan kerja juga terdorong (mendapat insentif) dari percepatan pembangunan
infrastruktur baik di Jawa dan luar Jawa
dan target pembangunan listrik
yang besar hingga mencapai 35 ribu Megawatt. Tentu hal ini tidak mudah, tetapi
harus dilaksanakan untuk terobosan kemajuan.
Kedua, adanya berbagai debat publik, setelah adanya perbedaan-perbedaan pandangan antara
anggota kabinet. Hal ini tidaklah negatif. Karena dengan perdebatan itu juga
memunculkan pandangan-pandangan masyarakat, sehingga dapat memberi masukan atau
bahkan menguji seberapa jauh pandangan itu bermanfaat untuk rakyat. Salah satu
contoh perdebatan yang cukup seru adalah soal pilihan kebijakan pengolahan
migas di darat (onshore) atau di laut (0ffshore). Presiden telah memutuskan
pengolahan di darat, dengan berbagai pertimbangan kemanfaatan untuk rakyat dan
pembangunan Kawsan Timur Indonesia.
Ketiga, program pembangunan untuk swasembada pangan khususnya padi / beras,
jagung, kedelai dan daging sapi relatif membutuhkan waktu sekurangnya 3
tahun. Swasembada pangan saat ini
memerlukan perluasan lahan sawah yang massif bisa mencapai 1 juta hektar, dan
penambahan jumlah sapi hingga sekitar 300 ribu ekor indukan dan bakalan. Kerja
ini sebagian kecil mulai tahun lalu dan
diteruskan tahun ini dan lanjut tahun-tahun mendatang. Pembuatan waduk-waduk
baru juga diperkirakan baru bisa memberikan manfaat pada tahun 2017 / 2018.
Sementara perbaikan alur sarana irigasi tersier, yaitu sarana peyaluran dan
pengaturan air yang langsung ke sawah juga masih berlangsung, sebagian sudah
selesai, namun dampaknya masih belum maksimal karena tidak memberikan
penambahan sawah baru yang massif.
Kempat, isu pendidikan yang mencakup pembenahan kualitas dan kemampuan
peserta didik dan juga guru-guru agar semakin merata dan meningkat. Disamping
itu hingga saat ini ada sorotan terhadap sekolah-sekolah bahkan juga perguruan
tinggi yang menjadi tempat kampanye tumbuhnya bibit radikalisme sempit
keagamaan dan sikap intoleransi. Sarana pendidikan, sekolah dan perguruan
tinggi seharusnya makin membuka wawasan toleransi dan semangat keindonesiaan
(nasionalisme) yang kuat. Ini yang harus benar-benar diperhatikan dan tidak
mudah karena terutama berkait dengan kognisi dan mental spiritual.
Kelima, problem pembangunan pedesaan. Pedesaan saat ini masih relatif
tertinggal dan menyimpan beban pengangguran. Penggelontoran dana desa yang
terus bertambah setiap tahun, jika tidak diiringi peningkatan produktifitas dan
kreatifitas penegembangan ekonomi, justru akan menjadi beban di masa depan dan
membuat desa kehilangan kemandiriannya. Pembangunan pedesaan saat ini merupakan
salah satu titik krusial untuk perbaikan taraf hidup masyarakat. Hal ini karena
pedesaan telah lama menyimpan maslah-masalah kemiskinan, yang belum ada titik
pemecahan komprehensif. Di Korea Selatan
misalnya program modernisasi, pengentasan kemiskinan dan produktiftas
masyarakat pedesaan melalui apa yang dikenal dengan Program Saemaul Undong.
Keenam, dampak kampanye dan kompetisi
presiden tahun lalu yang cukup ramai, melambungkan harapan rakyat akan hebatnya
pemerintahan yang akan dibentuk dibawah pemenang pilpres Jokowi-JK. Ekspektasi
atau harapan yang sangat tinggi ini tidak mudah direalisir mengingat beban
persoalan yang sedang berjalan dan dari masa pemerintahan sebelumnya juga cukup
besar. Misalnya masyarakat menginginkan tindakan tindakan perbaikan besar atau
drastis pemerintahan. Namun, seolah pemerintahan berjalan seperti biasanya,
pemotongan anggaran perjalanan dinas, penghematan anggaran pegawai dan
sebagainya di mata masyarakat tidak tampak. Perbaikan perijinan dan kemudahan
perijinan usaha juga masih belum tampak atau belum selesai dikerjakan dan
perda-perda perijinan yang tumpang tindih juga harus dihapuskan.
Hingga saat ini penilaian kinerja
kabinet berdasarkan indikator tertentu sesuai dengan sasaran yang akan dicapai
pemerintahan seperti tertuang dalam Nawacita belum tampak. Yang
ada penilaian umum berdasarkan opini publik yang berkembang terutama melalui
media massa dan media elektronik. Kadangkala
penilaian umum lebih kuat ada pada permukaan,
atau
kurang komprehensif dan tidak menyentuh pula hal-hal yang substantif, sehingga
bisa jadi penilian umum dan presiden berbeda.
Waktu kerja presiden,
yang masih belum genap setengah jalan dari rentang 5 tahun umur Kabinet Kerja,
bisa dibilang baru pada taraf meletakkan pondasi kerja. Presiden Jokowi sudah
saatnya menimbang obyektif kinerja
para menterinya: mana yang memuaskan dan
sejalan dengan Nawacita. Kementrian mana
yang belum berprestasi dan bahkan menimbulkan beban pemerintah, haruslah
diganti. Karena itu, reshuffle
kabinet bisa dilakukan dengan melihat capaian program-program kerja
pemerintahan Presiden Jokowi
yang selama ini kita kenal sebagai Nawacita di setiap kementrian. Dengan reshuffle kabinet, diharapkan jalannya pemerintahan bisa lebih efisien, mempercepat pencapaian Nawacita dan efektif merealisasikam program kerjanya
sesuai yang diharapkan rakyat Indonesia dan sesuai janji kampanye pilpres 2014.
Kita berharap upaya-upaya mendorong
reshuffle kabinet hanya dilakukan dengan mempertimbangkan capaian program
sesuai Nawacita, bukan pesanan dan tekanan politik partisan.
Jakarta, 7 April 2016
Andaru Satnyoto
Dosen Program Studi Hubungan Internasional, Fisipol,
UKI Jakarta.
No comments:
Post a Comment