Translator

Tuesday 23 April 2013

Pendirian Dan Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa (The League of Nations)*



Seri Organisasi  Internasional :



Pendirian Dan Kegagalan  Liga Bangsa-Bangsa (The League of Nations)*


Oleh:  Andaru Satnyoto*

1.      Pendahuluan

Pada masa Perang Dunia (PD) I, dunia mengalami suatu peristiwa yang sangat dramatis menyangkut peradaban manusia, dimana perang tersebut telah mengakibatkan korban yang besar. Hal ini tidak terlepas dari kemajuan perlengkapan dan senjata tempur yang efektif. Perang Dunia I telah memasuki babak baru kemajuan teknologi, khususnya persenjataan dan sistem angkutan atau logistik yang sudah mengenal kapal mesin dan kereta api.  

Dalam masa PD I  ini muncul dua fenomena sekaligus, yaitu pada satu sisi, meningkatnya semangat nasionalisme dan patriotisme dan segala upaya untuk mendorong usaha pemenangan perang. Semangat ini sering kali juga memicu semangat berperang juga menambah rasa kebencian dan permusuhan antar pihak yang berkonflik. Sedang sisi lain mulai muncul usaha-usaha yang kuat untuk menghentikan permusuhan dan kebencian, serta usaha mencegah munculnya perang kembali. Walaupun tidak semua tokoh masyarakat dan pemimpin dunia percaya, bahwa kerjasama internasional sebagai jalan terbaik (best way) untuk dapat mencegah perang atau bahkan menghilangkan perang di masa depan. 

Sejak pecahnya perang dunia pertama yang memilukan karena demikian banyak korban, ada banyak optimisme bahwa organisasi internasional dapat mencegah konflik militer, dapat mencegah perang. Oleh karena itu ada upaya-upaya kerjasama internasional mencegah dan menghilangkan perang.  Namun akibat adanya kekuatan-kekuatan kontradiktif dari semangat nasionalisme, warisan “kebencian” perang dan sebagainya, usaha ini tidak mudah. Bahkan sebagian semangat tersebut masih terus  terbawa ke dalam organisasi internasional yang kemudian terbentuk. Tidak ada pemimpin negara-negara nasional yang bersedia menyerahkan sebagian kewenangan dan kedaulatnnya  kepada organisasi internasional berkait  isu-isu yang berhubungan dengan persoalan nasionalisme. Jadinya organisasi internasional global ini seolah-olah tanpa kekuatan riil, tanpa kemampuan kekuasaan (toothless international organizations). Disamping itu juga mekanisme pengaturan yang cenderung menguntugkan pada pihak pemenang PD I dan cenderung tidak ramah terhadap bekas musuh dalam PD I, mengakibatkan tidak ada semangat merangkul semua pihak, termasuk musuh dalam PD I. 

Beberapa pengaturan yang tidak kondusif bagi pengelolaan perdamaian yang langgeng, antara lain: Pertama, pihak negara-negara musuh dalam PD I tidak diterima jadi anggota, dan baru dapat diterima jadi anggota hanya apabila direkomendasi oleh negara-negara besar sekutu. Kedua, Dominasi negara-negara besar diproteksi melaui mekanisme sebagai anggota tetap dan mencegah pemberian sanksi bagi negara-negara besar, dengan ditetapkan sebagai anggota tetap liga bangsa-bangsa, dan juga punya hak veto yang dapat membatalkan putusan-putusan yang diambil dari sidang –sidang LBB. Negara-negara besar seperti Inggris, mendiktekan kekuasaan untuk pendudukan (penyelesaian) bekas-bekas tanah jajahan atau wilayah dibawah pengaruh negara-negara yang kalah perang. Proses perdamaian masih saja menyisakan berbagai mekanisme perubahan damai yang kurang memuaskan dan sanksi-sanksi militer masih dipergunakan, meski kadang tidak efektif, senantiasa ada harapan bahwa organisasi internasional baru dapat membantu mencegah konflik bersenjata.

2.      Proses Pendirian Liga Bangsa-Bangsa

Selama PD I, para pemimpin negara-negara sekutu mengupayakan dan mendiskusikan tentang pengelolaan perdamaian pasca perang dan bagaimana caranya mencegah perang. Usaha serius ini awalnya lebih dominan dilakukan oleh  tokoh-tokoh masyarakat sipil, akademisi dan diplomat. Baru kemudian setelah berkembang, peminpin negara mulai terlibat. Organisasi yang secara kuat mengembangkan pemikiran perdamaian, misalnya League To Enforce Peace, didirikan di Philadelphia, Pennsilvania, Juni 1915. Gerakan ini dimotori mantan Presiden AS, William Howard Taft. Kemudian pada bulan Mei 1916 Presiden Woodrow Wilson turut terlibat dan menyampaikan pidatonya dan mendorong berbagai prinsip perdamaian. 

Pada awal January 1917, Presiden Woodrow Wilson  berpidato di depan Senat Amerika Serikat menyampaikan pentingnya suatu  Liga Perdamaian   (League For Peace) yang didukung oleh kekuatan kolektif negara-negara besar. Satu tahun kemudian ia menyampaikan pidato di Kongres AS, yang kemudian dikenal Pidato Fourteen points Woodrow Wilson, yang menyerukan pendirian Liga Bangsa-Bangsa, ia menyatakan bahwa,...”A general association of nations must be formed under specific covenants for the purpose of affording mutual guarantee of political independence and territorial integrity to great and small state alike”. Fourteen points ini kemudian diterima Kongres dengan sedikit catatan. Demikian pula ketika ditawarkan kepada kepala-kepala negara-negara sekutu, yang kemudian diterima dan komit atau bertekad untuk memuat organisasi keamanan bersama sebagai bagian dari pengaturan pasca perang atau masa perdamaian.

Di Inggris dukungan terhadap Liga Bangsa-Bangsa datang dari kelompok sejarawan, diplomat dan pengacara yang dipimpin oleh Lord Phillimore seoang hakim dan ahli hukum internasional. Di Perancis suatu komite tingkat menteri yang dipimpin oleh Leon Bourgeoise, mendiskusikan Liga Bangsa-bangsa yang terutama menyangkut sistem sanksinya. Lord Phillimore ini kemudian banyak mempengaruhi draft awal yang disiapkan Kolonel E.M House seorang staf pibadi Presiden Wilson. Pada bulan Desember 1918, sebulan setelah gencatan senjata dan sebulan sebelum perundingan perdamaian, Presiden Wilson berangkat ke Paris dan mendapat sambutan yang sangat hangat, sangat antusias.

Setelah tiba di Paris, Perancis satu rencana  terkait pendirian  LBB, dipersiapkan oleh Jendral Jan Christiaan Smuts dan banyak mendapat perhatian karena dipublikasikan ke masyarakat. Proposal tersebut juga menyertakan petunjuk-petunjuk praktis, antara lain:  sistem mandat  untuk negara-negara  koloni Jerman atau yang kalah perang. Dewan yang anggotanya terdiri dari anggota tetap dan yang berganti (dirotasi),  dan komite-komite teknis untuk menyelenggarakan kerjsama sosial dan  ekonomi organisasi. Walaupun banyak penyumbang pemikiran tentang rencana pendirian organisasi internasional ini, namun Presiden Wilson lah yang mendapat sanjungan dan penghormatan.

Pada tanggal 18 Januari 1919, Konferensi perdamaian dibuka di Paris Perancis.  Melalui dorongan delegasi Inggris dan Amerika Serikat konferensi menerima resolusi,  bahwa pendirian Liga Bangsa-Bangsa akan menjadi bagian integral dari perjanjian perdamaian yang akan dihasilkan dalam perundingan ini.  Selanjutnya Wilson ditunjuk sebagai Ketua Komite 19 orang anggota yang terdiri dari 2 orang dari setiap negara besar, dan  seorang dari negara lebih kecil.  Tim ini mampu menghasilkan dokumen  draft Liga Bangsa-Bangsa .   Setelah itu masing-masing negara mengkajinya. Pada tanggal 14 Maret 1919,  setelah Wilson tiba di Paris kembali Komite dapat menyetujui  sebagian besar draft dan beberapa perubahan minor atas draft LBB. Keputusan lain yang diambil misalnya, misalnya lokasi kedudukan LBB di Geneva, Swiss, penunjukkan Sir  Erric Drummond sebagai Sekretaris Jendral  LBB yang pertama. Rencana LBB kemudian dibawa ke pleno perundingan perdamaian 28 April 1919.  Semua rencana organisasi tersebut dapat diterima secara aklamasi. Namun karena perjanjian ini terikat sebagai bagian dari perdamaian Versailles,   maka hari lahirnya LBB mengikuti selesai dan diratifikasinya perundingan perdamaian,  tanggal 10 Januari 1920. Untuk sementara sekretariat LBB berada di London, Inggris.

3.Sekilas  Liga Bangsa-Bangsa

Pada awal Januari 1920, 42 negara telah meratifikasi dokumen perjanjian perdamaian. Negara-neara ini yang kemudian  juga disepakati sebagai anggota asli (original members) LBB. Hanya sayangnya AS dengan Presiden Wilson yang gigih mendorong pendirian LBB tidak pernah jadi anggota LBB. Total jumlah keanggotaan terbesar mencapai 63 negara, dan dengan beberapa kasus pengunduran diri, jadi total sekitar 60 negara aktif sebagai anggota.

Tujuan utama LBB adalah mempromosikan perdamaian dan mencegah munculnya berbagai perang.  Hal ini juga terlihat pegaturan LBB. Dari 26 pasal-pasal LBB, 10 pasalnya terkait dengan usaha mencapai tujuan tersebut. Walaupun perang masih dapat dimaklumi, namun harus dicegah , dan siapapun agresornya harus diberikan tindakan / hukuman secara setimpal melalui tindakan kolektif yang efektif.

Dua prinsip dasar LBB untuk mengelola sistem perdamaian LBB adalah : 1. Negara-negara anggota sepakat untuk menghormati dan menjaga integritas teritorial dan kemerdekaan negara lain. 2. Perang dan ancaman perang merupakan ancaman bagi semua anggota LBB.  Negara-negara Liga yang terlibat sengketa namun  tidak bisa melakukan negosiasi,  mereka sepakat untuk menyerahkan sengketa ke arbitrasi, penyelesaian hukum  pengadilan atau meminta pertimbangan Dewan Liga. Para pihak setuju untuk tidak mengambil langkah perang apapun alasannya sampai setidaknya dalam 3 bulan berikut dalam hearing (penyelesaian) masalah dicarikan solusi konstruktifnya. 

Untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa melalui judicial settlement, pasal 14 Covenan menugaskan Dewan Liga untuk membuat suatu pengadilan. Dalam hal hearing / dengar pendapat atas suatu sengketa, Dewan Liga membuat suatu aklamasi rekomendasi, anggota Liga setuju untuk tidak mengambil tindakan perang pada negara yang mematuhi rekomendasi. Jika persetujuan aklamasi tidak dapat diambil, maka negara-negara anggota bebas untuk mengambil tindakan masing-masing.

Pasal 16, memberikan Liga kekuatan untuk bertindak terhadap negara yang melawan perdamaian (semacam agresor)  dan dianggap sebagai musuh bersama. Liga dapat memberikan sanksi melalui tindakan kolektif efektif, bila negara-negara angota dapat mematuhi kewajibannya. Pelanggaran terhadap perjanjian dapat dianggap sebagai musuh bersama, sehingga Liga juga dapat mengambil tindakan militer yang diperlukan dan susunan kekuatan internasional tersebut.

Dalam mencegah perang, Liga juga mendorong kebijakan perlucutan senjata, sehingga kemampuan suatu negara hanya sebatas untuk keamanan dalam negeri (nasional) saja. Liga juga mendorong agar pabrik-pabrik senjata swasta  dibatasi,  dan negara-negara anggota sepakat untuk publikasi persenjataan dan industrinya dimuat dalam buku annual Armaments Yearbook.

Meskipun relatif sedikit, Liga juga juga mendorong kerjasama sosial ekonomi. Namun tidak ada alat kelengkapan organisasi yang didisain untuk keperluan tsb. Namun komitmen kerjasama sosial ekonomi lebih terkait dengan perjanjian perdamaian dan diatur tersendiri, seperti pendirian kerjasama buruh dalam ILO.  Dalam beberapa kasus, khusus memberi perhatian beberapa aspek tenaga kerja antara lain: 1. Perlakuan adil bagi rakyat wilayah yang belum berpemerintahan sendiri (non self governing peoples). 2. Supervisi atas masalah perdagangan perempuan dan anak. 3. Supervisi perdagangan obat-obat  terlarangbius obat-obat/. 4. Supervisi perdagangan senjata. 5. Kebebasan komunikasi dan transit . 6. Perlakuan adil dalam perdagangan untuk semua negara. 7. Pencegahan dan kontrol penyakit. Termasuk mempromosikan Palang Merah sebagai lembaga yang sesuai untuk kerjasama kesehatan dan kemanusiaan. Liga diharapkan juga mengatur kerjasama-kerjasama teknis, namun ini tidak pernah mampu dilaksanakan.

Untuk tidak melakukan aneksasi, Liga menyetujui adanya suatu sistem mandat untuk wilayah-wilayah koloni bekas musuh. Pemegang mandat terutama Ingris dan Perancis, juga Australia, New Zealand, Jepang, Belgia, dan Afrika Selatan. Status mandat berbeda-beda bergantung situasi politisnya. Liga juga menyetuji agar perjanjian-perjanjian internasional terbuka, dan kesepakatan didaftarkan dan dipublikasikan pada sekretariat Liga. Sidang (Assembly) akan mereview atau meninjau berbagai perjanjian internasional tsb.

Alat kelengkapan organisasi utama berpusat pada The Assembly, The Council dan Sekretariat. Sidang Liga dan Dewan Liga merupakan organ perwakilan dimana setiap anggota memiliki satu suara. Sedang sekretariat merupakan staf pegawai sipil internasional, bersifat tidak memihak dan melayani organisasi secara keseluruhan. Masa sidang biasa berlangsung satu bulan, dengan 3 orang delegasi dan cadangan (alternate) delegasi juga 3 orang. Disamping itu setiap perwakilan tersebut bisa mempunyai tim support dan staf.  Semua anggota LBB otomatis anggota Sidang Liga. Sedangkan alat kelengkapan Sidang Liga berupa 6 komite,  meliputi Komite : 1. Legal. 2. Organisasi Teknis  3. Pengurangan senjata. 4. Bugdet dan finance. 5. Sosial dan humanitarian. 6. Komite Politik.  Pengambilan keputusan komite bisa berdasarkan voting, tetapi pada pengambilan keputusan pleno Sidang Liga dengan aklamasi. Keputusan menyangkut masalah prosedur cukup dengan majority rule, aspek penting lain tapi tidak harus aklamasi adalah admisi masuk anggota baru dan  pemilihan anggota Dewan Liga.

Dewan Liga yang semula didisain diisi 5 anggota tetap dan 4 anggota biasa. Namun karena AS tidak jadi, Dewan menjadi minimum 8 dan bervariasi antara 8 hingga 15 anggota. Anggota tetap semula didisain untuk AS, Inggris, erancis , Italia dan Jepang. Namun kemudian berubah, Germany diberi status anggota tetap setelah masuk 1926, dan Uni Soviet /  Rusia 1934. Keluarnya Jerman, Jepang dan Itali dari Liga membuat  Liga kurang juga kurang kuat.  Sesunguh Dewan (Concil) didisain lebih kuat terlihat persidangan Sidang Liga hanya setahun sekali bahkan semula direncanakan 3 tahun sekali, sedang Dewan dapat setiap waktu. 5. Memberikan pertimbangan atas masalah-masalah yang dimintakan oleh Dewan Liga. 6. Menyiapkan (memulai) revisi teraties (covenant).

Tugas Dewan Liga meliputi: 1. Melakukan upaya perdamaian yang bertikai. 2. Mengeluarkan anggota yang melanggar piagam liga (covenant). 3. Supervisi terhadap (pemegang) mandat. 4. Persetujuan terhadap pengangkatan staf sekretariat. 5. Kekuasaan mmemindahkan markas sekretariat. 6. Formulasi rencana perlucutan senjata. 7. Membuat rekomendasi metode melaksanakan penyelesaian sengketa secara damai  dan penerapan  sanksi. 8. Liga wajib bertemu atas permintaan anggota untuk  membahas setiap ancaman terhadap perdamaian.

Tugas bersama Dewan dan Sidang Liga pada dasarnya mengadakan pertemuan membahas masalah dan tindakan yang berkaitan dengan perdamaian. Disamping itu agar minta pendapat Permanent Court Of International Justice. 3 Tugas bersama  lainya  meliputi: 1. Penunjukan sekretaris jendral. 2. Pemilihan anggota Permanent Court Of International Justice. 3. Persetujuan perubahan alokasi kursi anggota tetap dan tidak tetap Dewan Liga.

Dibandingkan dengan Dewan Liga,  Sidang Liga cenderung kurang kuat, untuk itu sejak awal Sidang Liga berupaya memperluas pengaruhnya. Oleh karena itu, sejak sidang pertamanya 1920, Sidang Liga berupaya menjadi lebih prestis dibandingkan Dewan Liga, melalui pidato-pidato ketua delegasi, perdebatan menjadikan Liga sebagai forum dunia. Laporan Dewan Liga (The Council) dijadikan basis perdebatan, dianalisis dan dikritisi Sidang Liga.

Sedangkan Sekretariat Jendral juga membuat basis baru penyelenggaraan organisasi internasional. Sekretariat yang memiliki cukup banyak staf yang kapabel dan membuat tradisi baru untuk loyal pada Sekjen LBB dan organisasi bukan negara asal mereka. Walaupun Sekjen Sir Erric Drummond cenderung lebih menekankan perannya untuk memimpin administrasi yang efisien, dari pada menjalankan  kepemimpinan  politis organisasi internasional. Fungsinya menjadi pemimpin administrasi sipil internasional untuk mendukung pelayanan baik Sidang maupun Dewan Liga.

Organ lain LBB yang penting adalah Permanent Court Of International Justice. Organ ini memiliki piagam sendiri, namun tetap sebagai bagian dari perjanjian penyelesaian secara damai perang dunia. Dan seperti disebut didepan bahwa dewan dan Sidang Liga dapat secara aktif meminta pendapat (hukum) Permanent Court of International Justice. Secara teoritis organisasi ini merupakan organisasi terpisah, hal ini tentu terkait upaya agar organ peradilan ini benar-benar dapat independen.

Dalam organisasi Liga Bangsa-Bangsa, selain adanya organ utama tersebut, juga ada sekitar 20 organisasi satelit yang berada di sekitar Liga, sebagai organisasi pendukung dan 3 organisasi kerjasama teknis yaitu: 1. Economic and Financial Organization, 2. The organization For Communications and Transit, 3. The healt Organization. Komisi-komisi pendukung antara lain: Komis Mandat LBB, Komisi Penasehat Tentang Opium dan Obat-obatan terlarang, Komisi konfernsi Perlucutan senjata dan sebagainya.

4.    Capaian dan Kegagalan LBB

Jika LBB dinilai dari tujuan utama dan umum LBB untuk mencapai perdamaian dan penyelesaian sengketa tidak dengan perang, maka LBB secara garis besar (umum) dapat dikatakan  gagal. Namun demikian ada beberapa aspek keberhasilan yang dapat diletakkan LBB antara lain: Pertama, dalam sepuluh tahun awal berdirinya ada banyak sengketa yang dapat diselesaikan dengan damai. Sukses ini terutama karena keterlibatan negara kecil dan sedang untuk mendorong negara-negara besar melakukan tekanan agar sengketa dapat diselesaikan dengan damai. Salah satu sukses adalah memfasilitasi penyelesaian perbatasan Yunani dan Bulgaria, 1925. Aspek kedua keberhasilan, adalah LBB menjadi tonggak dasar dari perlunya organisasi internasional dalam mengelola perdamaian dan kerjasama internasional. Tonggak dasar inilah yang sedikit banyak ikut mempengaruhi model kehadiran PBB pada masa setelah Perang Dunia II. Ketiga, melalui organisasi lainya dan komite-komite sekitar LBB mulai berkembang kerjasama soial ekonomi dan kerjasama teknis yang penting bagi perkembangan organisasi internasional umumnya.

Beberapa kegagalan LBB antara lain dan terutama terkait kegagalan LBB mencegah dan menghukum agresi, seperti agresi Jepang ke Manchuria 1931, Serbuan Italia ke Etiophia dan Eritrea 1934-1935, dan serbuan Jerman ke negara-negara Eropa sejak 1939. Kegagalan ini pada akhirnya secara efektif  mengakhiri LBB. Kegagalan ini tidak terlepas dari keberadaan kelemahan organisasi  antara lain: Pertama, Sistem keanggotaan yang memberikan ruang berbeda, seperti masuknya koloni-koloni Inggris dan perlakuan yang membuat Inggris bisa memiliki 6 suara. Kedua, negara besar sponsor berdirinya LBB, yaitu AS tidak masuk anggota. Ketiga, sistem sanksi bagi pelanggar perdamaian tidak dapat efektif dan sulit ditegakkan. Keempat, sistem pengambilan keputusan atas masalah penting dan perdamaian termasuk sanksi yang membutuhkan suara aklamasi jelas sulit dicapai, sehingga tindakan kolektif negara-negara pencinta damai tidak dapat diwujudkan. Secara umum, mungkin karena juga masih dalam proses belajar, LBB mengalami kegagalan akibat organisasi tidak cukup diperlengkapi dalam mencapai tujuan (not well equipped). Negara-negara anggota belum cukup mengorbankan kepentingannya untuk kepentingan bersama perdamaian dan keamanan internasional.

Disusun Oleh Andaru Satnyoto, Dosen Hubungan Internasional FISIPOL UKI Jakarta. 
Catatan: Tulisan ini bagian materi kuliah Organisasi International,  yang sebagian besar bahannya diterjemahkan dari buku: A Leroy  Bennett: “International Organizations: Principles & Issues, New Jersey: Prentice Hall Inc., 1991, h.22-39.

Wednesday 10 April 2013

KRISIS SEMENANJUNG KOREA



KRISIS  SEMENANJUNG KOREA 

Oleh: Andaru Satnyoto*

Belakangan ini pemberitaan masalah konflik Korea Utara  (North Korea atau Democratic People's Republic of Korea)  dan Korea Selatan makin meningkat. Kim Jong Un yang baru saja memimpin Korea Utara, menggantikan ayahnya yang meninggal dunia beberapa waktu lalu, berkali-kali memberikan ancaman akan menyerang Korea Selatan, dan  juga Amerika Serikat. Kim Jong Un bahkan meminta berbagai perwakilan negara sahabat atau kedutaan besar asing segera mengevakuasi warganya keluar dari Pyongyang, Ibu Kota  negara Korea Utara. Kim Jong Un juga segera menggerakkan pasukan, memerintahkan penempatan rudal-rudalnya ke posisi-posisi strategis dan sedekat mungkin pada sasaran Amerikat atau Korea Selatan, melakukan latihan perang secara terbuka dan menyatakan perang terhadap Korea Selatan dan AS. Korea Utara  juga menghidupkan kembali fasilitas nuklirnya. Pertanyaanya apakah tindakan Korea Utara, ini merupakan ancaman serius atau sekedar gertak sambal Korea Utara dab bukan menuju perang total.?

Perspektif teoritis : sebab perang

Dalam pemikiran (perspektif) idealis atau pengamat kelompok idealis, perang Korea tidak akan muncul kembali, karena secara teknis perang akan sangat mahal dan itu tidak akan dikehendaki oleh masyarakat. Korea Utara dapat mengalami kesulitan ekonomi  bahkan akan menuju kebangkrutan total dan tumbangnya rezim kim Jong Un sendiri. Negara tidak akan mampu membiayainya perang panjang dan skala besar. Ekonomi Korea Utara juga relatif lemah. Disamping itu sekutu terdekat Korea Utara yaitu Republik Rakayat Cina (Cina) tidak berminat mendukung perang Korea Utara. Cina masih terus mengupayakan perbaikan atau pemulihan ekonomi, sehingga dapat diduga Cina tidak ingin kehilangan momentum perbaikan ekonomi pada saat Cina juga mengalami transisi kepemimpinan politik ke kelompok yang lebih muda dibawa Presiden baru Cina Xi Jin Ping.

Namun demikian, dalam perspektif kelompok realist, adanya pernyataan terbuka dan gerakan musuh (deployment) pasukan dan alat, telah merupakan sinyal yang  cukup untuk memberikan respon serupa.  Oleh karena itu, bagi realist kebijakannya pasti   "memeriksa gudang senjata" dan menyiapkan pasukan. Bagi kaum realist, sistem internasional merupakan sistem anarchie (no world goverment  atau no governemnt above them), mendorong setiap negara harus mengupayakanan  keamanan, perlindungan dan kemerdekaannnya dengan kekuatan sendiri semaksimal mungkin. Amerika Serikat dan Korea Selatan, misalnya, tidak boleh bergantung pada kebijakan Cina untuk melunakkan Korea Utara, atau setidaknya tidak terus menerus mengeluarkan ancaman terhadap Korea Selatan dan AS.  Kekuatan nasional suatu negara harus mampu menjamin minimum kepentingannya berupa kemampuan menjaga eksistensi negara, keutuhan bangsa dan masyarakat. Dalam sistem yang anarki suatu negara akan selalu terdorong untuk memaksimalkan kekuatannya dan sedapat mungkin melemahkan kekuatan negara lawan. Kekuatan negara juga akan dapat menjaga prestise (prestige) suatu negara dihadapan negara-negara lain di  dunia.

Tetapi mengapa Korea Utara yang lemah, justru seolah-olah mendorong atau menarik-narik diri ke arah perang. Bukankan ini sesuatu yang tidak masuk akal? Dari sudut pandang realist, justru ini pokok soalnya yaitu : perasaan, dan  persepsi Korea Utara yang terus-menerus merasa terancam oleh perkembangan Korea Selatan yang tumbuh kuat, dan sanksi internasional, mendorong persepsi ketidakamanan dan ketertindasan Korea Utara. Oleh karena itu dalam perspektif realist, menyatakan bahwa, yang membuat situasi perang tidak terelakkan justru pertumbuhan kekuatan lawan dan kekhawatiran yang ditimbulkannya khususnya bagi Korea Utara. Bagi Korea Utara perang menjadi alat terakhir yang dapat dipergunakan untuk mempertahankan diri dan menjaga eksistensi negaranya. Namun pada sisi lain perkembangan kemampuan nuklir Korea Utara dan perangkat persenjataan pengangkutnya yaitu rudal yang mampu menjangkau wilayah Korea Selatan dan  Amerika Serikat jelas akan selalu dilihat sebagai ancaman serius bahkan sangat serius oleh Amerika Serikat.  Oleh karena itu semua potensi tersebut  harus diminimalisir termasuk dengan sanksi internasional, bahkan kemungkinan dengan perang.  (Cf. Joseph S., Jr. Understanding International Conflicts, New York: Longman inc., 1997, h.4-16). Jika demikian, maka bisa pula dilihat adanya kemungkinan, bahwa yang memancing reaksi Korea Utara seperti saat ini, pada dasarnya adalah Amerika Serikat dan sekutunya.

Kebijakan Unifikasi

Sejak  berakhirnya perang dingin dengan ditandai bersatunya Jerman (unifikasi Jerman Barat dan Timur), tahun 1989, semula ada semangat dan harapan baru bahwa unfikasi atau integrasi Korea akan dapat segera terlaksana. Akan tetapi ternyata unifikasi Korea tidak berjalan, bahkan dengan perkembangan kemampuan nuklir Korea Utara, kawasan Asia Timur ini justru menjadi salah "hotspot" pemicu ketidakstabilan regional Asia pasifik. Sementara Asia Timur merupakan wilayah perkembangan ekonomi yang sangat dinamis dengan keberadaan Cina, Korea Selatan, Jepang dan Taiwan.

Masalah ini menjadi salah satu perhatian penting karena juga menyangkut kehadiran negara-negara besar kawasan yaitu Amerika serikat, Rusia dan Cina. Dimana Cina dianggap sebagai sekutu utama Korea Utara. Dari empat kekuatan ini tampak Amerika Serikat yang merupakan pemain kunci di wilayah ini. Oleh karena itu kebijakan dan tindakan AS sangat menentukan kestabilan dan unifikasi Korea. kehadiran negara-negara kawasan ini dapat mmpengaruhi arah unifikasi Korea melalui jalan damai atau perang.

Korea Utara yang saat ini diperintah oleh Presiden Kim Jong Un yang merupakan cucu Kim Il Sung pemimpin / pendiri Korea Utara, dengan suatu sistem yang dapat dikatakan sebagai rejim totalitarian.
Korea Utara hingga saat ini cenderung dilihat sebagai pemerintahan yang tertutup dan seolah-olah imune dari pengaruh hingar bingar gelombang demokratisasi dunia. Korea Utara juga tidak larut dalam liberalisasi ekonomi dunia. Korea Utara dianggap kurang terbuka dan ketika negara-negara ideologi komunis di Eropa Timur runtuh dan membuka diri, rejim Korea dibawah Kim Jong Il ayahnya Kim Jong Un justru makin memperketat pengajaran ideologinya. Oleh  karena itu Korea Utara sering disebut oleh Barat, sekutu AS, sebagai "The Old Hermit Kingdom".

Para pemimpin Korea Utara berpandangan bahwa keruntuhan negara-negara sosialis komunis tersebut lebih banyak disebabkan oleh tidak taatnya mereka pada ajaran ideologi sosialis komunis atau karena para pemimpinnya tidak taat ideologi, pemimpin negara menjadi kaum revisionis, (Research Institute For peace And Security: A Regional Approach to Confidence and Security Building in the Far east, 1994, h. 43). Dalam rangka memperkuat ideologi sosialis komunisnya itulah mereka menjalankan pengajaran disiplin ideologi termasuk kepatuhan total pada pemimpin tertingginya. Para pimpinan Korea Utara juga mengembangkan "positive self image" dengan slogan bahwa Korea Utara akan menjadi bangsa yang kuat (powerfull nation). Untuk mencapai negara kuat inilah pemimpin Korea Utara mengambil kebijakan "army first policy" sejak tahun 1999.

Bagi negara Korea Utara,  negara dapat menjadi negara powerfull atau negara kuat, berarti menjadikan negara Korea yang kuat, makmur dan besar (kongsong taeguk). Kebijakan ini digambarkan sebagai mode kepemimpinan yang mampu mengatasi semua masalah yang timbul dalam revolusi dan konstruksi  sosialis sebagai keseluruhan pilar utama militer, (The National Institute For defense Studies, Japan, East Asian Strategic Review 2000, NIDS, 2000, h. 150). Dengan strategi ini maka Korea Utara mampu mempertahankan komposisi personil militer yang besar, dan juga mampu mengembangkan berbagai teknologi senjata misil, roket, senjata kimia, bahkan senjata nuklir.

Walaupun kapabilitas nuklir Korea Utara masih bisa saja diperdebatkan keefektifannya, namun dengan berbagai percobaan dan tekadnya keluar dari kerangka perjanjian internasional rezim pembatasan nuklir,  tampaknya telah memberikan gambaran ancaman Korea Utara. Hal ini sangat merisaukan AS dan Korea Selatan. AS secara konsisten akhir tahun 1990an,  melakukan tekanan-tekanan agar Korea Utara tidak melanjutkan program nuklirnya, bahkan  melepaskan kemampuan nuklirnya.

Bagi Korea Utara kebijakan militer yang utama, mengakibat terkurasnya  hampir seluruh sumber daya ekonominya. Kegagalan panen atau pertanian sedikitnya selalu berakibat Korea Utara kekurangan bahan pangan yang serius. Disamping itu ada kesulitan-kesulitan ekonomi dan penganguran akibat ketiadaan investasi signifikan dalam pembangunan ekonomi dan industri.

Melihat kecenderungan ini maka pada masa pemerintahan  Bill Clinton, AS mencoba lebih positif dan mengupayakan pendekatan pada Korea Utara. AS menjalankan kebijakan "engagement and enlargement". Strategi ini secara retorik digambarkan sebagai upaya untuk menjamin kepentingan, keamanan AS dan saat yang sama mempromosikan kemakmuran domestik dan memperluas demokrasi di kawasan Asia Pasifik (termasuk didalam dan utamanya Korea Utara) (lihat Byung Joon Ahn, The United State In Asia: Defining A New role", dalam Chan Heng Chee (ed.), The New Asia Pacific Order, Singapore: ISEAS, 1997, h.131).

Salah satu respon AS, dalam menangani Korea, disamping mengupayakan negosiasi langsung dan juga dengan 6 pihak (AS, Rusia,Jepang, Cina, dan dua Korea), ASjuga melunakkan sikap dengan memperbanyak bantuan ekonomi. AS merespon kebutuhan-kebutuhan ekonomi Korea Utara cepat pada era 1990an dan awal tahun 2000an.. Oleh karena itu masing-masing pihak terjadi pelunakan. Korea Utara kemudian melunak dengan memberi akses pemeriksaan nuklir, mengerem pengembangan rudal dan kesediaan untuk tidak menjual teknologi rudalnya pada pihak lain. Melalui engagement policy ini misalnya Korea Utara mendapatkan komitmen penyediaan minyak/energi melalui Korean Peninsula energy development organization. Melalui kerjasama dengan Korea Selatan mengembangkan kawasan industri Kaesong, di perbatasan, bantuan makanan/bahan pangan, pembukaan ristriksi turisme antara Korea Utara dan selatan, dan kerjasama pengembangan kompleks Turisme Kumgang oleh Hyundai Group.

AS dan Korea selatan juga menahan diri untuk tidak terprovokasi melakukan respon berlebih terhadap perkembangan militer Korea Utara, sehingga tindakan Korea Utara tidak sampai membuat AS melepaskan diri dari pendekatan positipnya (engagement). Akan tetapi tampaknya upaya positip ini tidak menyurutkan langkah nuklir dan penguatan persenjataan Korea Utara. Bahkan Korea Utara mulai diyakini mampu membuat senjata nuklir dan sudah melakukan uji cobanya setidaknya 2 kali. Hal ini sangat merisaukan, dan Amerika Serikat mencoba menekan melalui sanksi-sanksi internasional terutama pada sisi ekonomi dan politik. Korea Utara terus ditekan dan diancam untuk merubah kebijakan senjatanya serta menerima paket kebijakan ekonomi yang lebih produktif dan terbuka. Hal inilah yang kemudian memancing gertakan Korea Utara untuk mengancam perang "thermonuklir" semenanjung Korea bahkan juga mengancam daratan AS.

Walaupun sebagian masih melihat hanya gertakan, tetapi jika tidak ditanggapi dengan tepat, setiap kesalahan sedikit saja perang Korea dapat pecah kembali. Hal ini akan membawa dampak ekonmi dan militer di kawasan Asia pasifik. Cina walaupun tampak tidak terlalu agresif mendesak Korea Utara, tetapi secara umumnya tidak menginginkan "kegaduhan militer" di sekitarnya. Cina sedang mengupayakan penguatan ekonomi yang sempat terguncang dengan pelambatan ekonomi dunia. Hal ini nampak pada menurunnya pertumbuhan umum ekonominya. Cina tampaknya masih mementingkan konsolidasi ekonomi dan kekuasaan sehubungan dengan proses transisi kekuasaan yang lebih muda di bawah kepemimpinan Xi Jin ping, yang merupakan tokoh muda dan  lahir pada era Mao Tze Tung.

Untuk itu ada baiknya agar Cina didorong lebih mengambil inisiatif dalam peredaan ketegangan di Semenanjung Korea, agar ada perubahan gaya kepemimpinan internal Korea Utara. Hal ini masih mungkin mengingat pemimpin Korea Utara Kim Jong Un masih sangat muda, masih banyak harapan untuk perubahan internal. Sementara pada saat yang sama perlu pelunakan pihak AS, Korea selatan dan sekutu untuk tidak terus menerus menebar sanksi kepada Korea Utara. Dengan demikian ada kesempatan-kesempatan untuk pendekatan kembali semua pihak yang terlibat dalam stabilisasi Semenanjung Korea.  Memang kemampuan militer Korea Utara bisa tetap berbahaya, namun kapabilitasnya masih jauh dibawah AS. Perang mestinya tidak perlu terjadi.


Jakarta, 10 April 2013

Andaru Satnyoto, Dosen Hubungan Internasional Fisipol UKI Jakarta.